41 Groove Twisted

405 27 1
                                    


Mia hanya bisa duduk diam di sana. Suasana di sana membuat Mia tak bisa bernafas dengan tenang. Mata bulatnya terfokus pada gadis bergaun pengantin di hadapannya. Yang mat merahnya menyorot tajam padanya.

"Aku sudah mengikuti keinginanmu. Apakah kau sudah puas?" dia mengangkat kepalanya sedikit. "White Heart," ujarnya tajam.

Gadis itu tersenyum padanya. Senyum yang sangat lebar. Yang membuat Mia sangat kesal melihatnya.

"Kau hebat juga Mia. Tak salah aku menjadikanmu Diva Metro City ini. Kerja bagus," serunya sambil mengelus kepala Mia.

Mia mengeram kecil karena kesal. Sambil menyingkirkan tangan gadis itu dari kepalanya. Sesaat gadis itu sedikit terkejut dan melunturkan senyumnya. Namun ketika melihat wajah kesal dari Mia, ia kembali tersenyum.

"Dasar, kau tak harus kesal seperti itu. Seharusnya kau senang. Karena bisa ikut ambil dalam rencana besarku ini," lanjutnya.

"Rencana licik seperti itu... untuk apa aku senang dengannya...!!!" seru keras Mia sambil memelototi gadis itu.

Gadis itu menatapnya santai, "Kau cukup berani juga ya. Tapi keberanian seperti itu tak akan bisa melawanku. Kau tahu, hanya bisa mengumpat tanpa langsung bertindak tak akan bisa menyelesaikan masalah," tegas gadis itu.

Mia kembali bungkam sambil menundukkan kepalanya dan kembali mengeram kesal. "Aku sudah membantumu tadi. Jadi tolong bebaskan aku sekarang," gumamnya.

"Sayang sekali... tapi itu bahkan belum bisa kubilang sebuah bantuan," ujarnya dengan senyum iblis di bibirnya yang membuat Mia kembali mengeram kesal.

"Lalu... apa masih ada... yang harus kulakukan?" Mia menatap sinis gadis itu, "White Heart!?"

Gadis itu terdiam sambil melirik tatapan Mia yang tajam kepadanya. Jari telunjuk kanannya main-mainkan lapisan tipis dari gaun pengantin yang ia kenakan. Sedangkan tangan kirinya, terlipat di depan dadanya.

"Masih ada banyak tugas yang harus kau jalani sebagai Diva. Baru setelah itu kau akan kubebaskan," ujarnya. "Aku sudah memulangkan pejabat di Metro City ini. Jadi sekarang kau tak bisa mengelak lagi dariku, Diva..." lanjutnya dengan mata merah menyala itu.

Mia kembali terpojok. Ingatannya kembali beberapa hari yang lalu. Ketika rombongan para peri tanpa sayap mendatanginya. Dan membuatnya mengikuti semua permainan ini. Yang membuat Mia tak habis pikir. Kenapa dia bisa dengan mudah menerima semua permainan licik ini.

"Kau telah memulangkan pejabat di sini. Aku sudah memutilasi jalannya Big Game tadi. Itu bukannya sudah cukup. Memang apa rencanamu?" tanya Mia.

"Itu belum cukup. Bahkan itu belum masuk tahap pertama dari rencanaku," jawabnya.

"Lalu apa rencanamu? Apa ini ada hubungannya dengan gadis bernama Layria itu?" hujat Mia.

Gadis itu sesaat bungkam. Mata merahnya kembali menyorot di tengah kegelapan. Membuat suasana di sana terasa tegang. Bahkan Mia sendiri begitu berat untuk bernafas di sana.

"Aku hanya ingin, mengembalikan apa yang telah hilang dari dunia ini karena keegoisanku. Salah satunya adalah, menjadikan dunia ini bebas dari kesedihan. Sesuai yang Ia harapkan," ujarnya dengan nada melengking yang agak berat.

"Hanya itu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya. Bahkan jika aku harus menghancurkan dunia ini. Aku... tidak akan keberatan... "

-

Di sebuah ruangan, tiga orang duduk saling berhadapan satu sama lain. Di hadapan mereka, terdapat sebuah teko berisi teh hangat dan tiga bekas cangkir yang masih terisi penuh dengan teh hangat.

"Ngomong-ngomong, ke mana White Heart?" seorang pemuda bertopeng badut membuka pembicaraan di antara mereka.

"Ah... dia pasti masih sibuk mengurus urusannya. Kau abaikan saja dia Luct, dan nikmati sesaat kedamaian ini sebelum berakhir," ujar wanita dengan rambut berwarna-warni itu sambil mengangkat sebuah cangkir.

Wanita itu menyuguhkan cangkir itu pada pemuda bertopeng tadi. Namun di tolak olehnya. Sehingga wanita itu kembali menaruh cangkir itu ke atas meja.

"Tapi, dia sangat nekat. Ia bahkan memulangkan pejabat di Metro City agar bisa menguasai tempat ini. Bukankah itu namanya gila," ujar seorang gadis bermata hijau itu. "Benarkan Pierot, Rusali?" ia menatap dua orang di hadapannya secara bersamaan.

"Iya, seakan ia menghancurkan jalan cerita yang lurus. Menjadi sebuah cerita yang berbelit. Siapa juga yang mau membaca cerita itu nanti," seru Rusali sambil mengibas-kibaskan rambutnya.

"Cerita bodoh yang sebaiknya segera di akhiri. Atau bahkan lebih baik di hancurkan," lanjut Luct.

Gadis itu tersenyum lebar. Sambil memajukan badannya ke depan, "Tapi nyatanya kalian mengikuti alur cerita gila yang dibuatnya hingga sekarang. Apakah kalian tidak masalah dengan hal itu?"

"Mau bagaimana lagi Cindy, kami bisa apa?"

"Lagian, menyaksikan ending tak terduga dari cerita membelit yang tak masuk akal ini cukup menarik. Benarkan... Rusali?" Luct melirik wanita di hadapannya. Membuat wanita itu mengangguk pelan. Dengan senyum yang tersirat di wajahnya.

Cindy menarik lagi tubuhnya. Ia menghela nafas panjang. Sambil mengangkat cangkir berisi teh. Yang selanjutnya ia serut di bibirnya.

"Tapi Cindy, bukannya kau juga saat ini masuk dalam permainan gila ini?" tanya Rusali padanya.

Cindy sesaat terkejut. Ia langsung menaruh cangkir yang ia pegang kembali ke atas meja, "Mau bagaimana lagi. Bahkan aku pun tak berdaya, "senyum kecil keluar darinya, "Lagi pula kalian benar. Mungkin cukup menarik melihat ending dari alur cerita permainan ini. Bukankah begitu, wahai para peri tanpa sayap," matanya tersorot ke depan.

Empat pasang mata itu tertuju pada Cindy. Bahkan Rusali menyengir lebar menanggapi sikap Cindy tadi.

"Kalo begitu anggap saja. Kau tokoh sampingan dalam cerita gila ini," desis Luct dari balik topengnya, "Dan jangan menyesal bila nanti akhirnya sangat mengecewakan."

Cindy melebarkan senyuman, "Tentu saja tidak akan ... kakak," jawabnya.

-

Aku duduk di sebuah tepian jurang. Entah sejak kapan aku mengenakan gaun putih polos ini. Mataku memandang tanah kosong di bawahku yang tertutup kabut. Di belakangku terdapat sebuah pohon tanpa daun. Yang dahannya tertiup angin.

Anak perempuan itu kini duduk di sampingku. Bekas lukanya sama banyaknya ketika kami bertemu hati itu. Wajahnya masih lugu dan datar tak berekspresi.

"Dahulu kala ada dua anak yang berbeda dimensi ruang dan waktu bertemu di sini. Dulu ini bukan apa-apa. Selain ruang yang kosong dan gelap," ujar anak itu.

"Apa yang mereka lakukan di sini?" tanyaku.

"Masing-masing dari mereka dipanggil dengan suara. Dan ingin lari dari kehidupan mereka yang menyakitkan. Lalu..."

"Lalu?"

"Lalu, setelah mereka bertemu. Dan sedikit bercerita dengan nasib mereka. Mereka akhirnya bersepakat untuk membuat sebuah dunia tanpa kesedihan. Dan terciptalah dunia ini," jelasnya.

Aku meliriknya sedikit, "Siapa dua anak yang kau maksud itu?"

"Kenapa aku harus menjawab pertanyaan yang telah kau ketahui jawabannya?"

Aku menundukkan kepalaku. Sesekali mengedipkan mataku. Hingga sebuah senyuman muncul dari sana.

"Salah satu dari mereka... aku... bukan...?"






To be continued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang