23 Big Game

453 43 1
                                    

Aku juga tak akan lupa kenapa aku bisa berada di sini. Tentang kesepian itu. Di mana tak ada orang yang mengerti diriku. Yang tak pernah mendengar suaraku. Yang berusaha mencabut sayapku. Agar aku tak bisa menggapai mimpiku. Dan yang membawaku ke lubang gelap.

Di sanalah aku membuat sebuah dunia. Dunia di mana ada yang menghargaiku. Yang akan menerima diriku yang sebenarnya. Dunia di mana aku bisa berbuat sesukaku. Termasuk bermimpi. Hal yang selalu aku lakukan. Namun tak boleh kulakukan oleh mereka. Mereka yang menganggapku hanya boneka mereka.

Apakah kalian telah puas mempermainkanku? Bagaimana bila aku yang mempermainkan kalian? Dengan wajah polos lugu yang selalu kalian perdaya? Tapi kalian pasti menyadarinya. Bahwa aku memperdaya kalian dengan masuk ke dalam dunia ini.

Aku mengulurkan tanganku. Mengeluarkan mainan-mainan kecilku sambil terus bergumam.

"Hai, ayo ikut! Ke dunia tanpa kesedihan!" ujarku pada mereka.

Tertawa kecil sendiri di tengah kegelapan. Hingga air mata ini bercucuran sambil terus tertawa. Melihat lucunya dunia itu. Yang telah menyia-nyiakanku.

-

Kami telah berjalan cukup jauh. Hingga kaki kami lelah. Sampai akhirnya kami sampai di depan gerbang itu.

"Gladiator!" hela Torm.

"Kita sudah sampai. Gladiator Zeus, area Big Game di adakan setiap tahunnya," jelas Lisa.

"Besar ya?"

Sebuah Gladiator berbentuk lingkaran telur. Dari luar telah terlihat berapa luas tempat itu. Temboknya hampir setara menera Eiffel di Paris. Sedangkan luas seluruh Gladiator hampir seperlima dari kota yang luasnya sama dengan benua Australia ini. Itu pendapat orang-orang di tempat ini. Memang besar, karena Gladiator ini adalah area Big Game yang di ikuti hampir semua orang di dunia ini.

Aku memakai kemeja putih. Dengan rok merah yang tidak terlalu panjang hingga ke lutut. Rompi merah marun dengan pita hitam ini. Rambutku masih terurai. Walaupun kusisipkan penjepit kecil agar tidak berantakan.

Entah mengapa penampilanku tidak sesuai dengan elemenku. Namun aku adalah tipe penyihir mantra. Jadi elemen tidak terlalu berpengaruh padaku. Aku bisa mengeluarkan sihir berelemen lain dengan mengucapkan mantra. Elemen hanya digunakan apabila sihirku hilang. Atau tenagaku habis.

Aku merogoh ke dalam tas samping ini. Mengambil kartu poin dan formulir milikku dan yang lain. Selanjutnya aku membagikan itu kepada yang lain kecuali Alya. Seban, hanya Alya yang akan tinggal di sini.

"Kalau begitu kami akan masuk. Kau tak masalahkan Alya?" tanya Lisa.

"Tenang saja Lisa."

"Satu lagi, Alfonso akan ikut denganmu. Dia tidak bisa masuk karena bukan peserta," lanjut Lisa.

"Oke, setelah kalian masuk kami akan menuju bangku penonton untuk melihat kalian," jawab Alya.

"Jaga dirimu Alya," ujarku.

"Sudahlah, kalian segerah masuk sana! Aku dan Alfonso bisa jaga diri. Benarkan?" Alya melirik Alfonso.

"Tentu, berjuanglah master," lanjut Alfonso.

Aku melepas tas samping itu. Lalu menyerahkan pada Alya yang ada di sana

"Alya, tolong bawa tas ini. Aku tidak bisa bertanding bila membawanya," ujarku.

"Oke, baiklah. Berjuanglah Layria," pandangannya.

Lisa tersenyum pada mereka. Begitu pula aku. Juga mereka yang membalasnya. Lisa mengisyaratkan kami untuk mengikutinya. Dan kami mengangguk mengerti.

"Sampai jumpa," bisik Rion sambil memegang kepala Alya. Alya tersipu kecil dari balik tudungnya.

Aku berjalan mengikuti kerumunan orang yang menuju gerbang utama Gladiator itu. Sesekali aku melihat ke belakang. Terlihat Alfonso, Siro, dan Alya yang tersenyum dari balik kerumunan pada kami. Mereka perlahan menghilang. Bersama masuknya kami ke gerbang itu, dan mereka yang di telan orang-orang itu. Menghilang dan tak dapat terlihat lagi.

"Mereka telah masuk," bisik Alya.

"Benar," jawab Alfonso.

Alya tersenyum kecil, membuat Alfonso kebingungan.

Bazzz ... buk ...
Aliran listrik kecil menyerang Alfonso. Membuatnya terguling ke bawah. System Alfonso semua eror. Sehingga ia tidak dapat apa-apa dan mati saat itu juga. Jepretan listrik masih menyala dari dirinya. Di saat itu ia tidak melihat Alya dan Siro yang menatapnya sambil tersenyum.

"Selamat malam robot kecil."

-

Atap Gladiator ini terlihat bagai langit biru yang cerah. Walaupun sebenarnya itu adalah layar besar yang menyorotkan lampu dan memunculkan gambar. Membentuk perisai yang tak menempel di ujung bangku penonton.

Di sana, semua orang berkumpul di tengah area yang di kelilingi bangku-bangku penonton yang masih kosong. Mata semua orang saat ini tertuju pada satu titik. Tepat di ujung atas sebelum perisai, sebuah panggung kecil berada. Seperti piring terbang tipis yang melayang di atas mereka. Di sana terlihat seseorang yang menjadi pusat perhatian.

"Siapa dia?" tanyaku.

"Dia sebenarnya adalah Diva kota ini. Namun dia dan semua orang lebih suka menyebutnya Idol di Metro City," jawab Clara.

Tersenyum riang. Memakai wujud manusia hewan. Telinganya cukup lebar dan berbulu lebat yang lembut. Begitu pula ekor besar dan lebat itu. Rambutnya cukup panjang namun ditali pita. Corak warna semuanya adalah paduan dari biru dan merah muda serta sedikit ungu.

Memakai dress bawahan pendek berwarna utama ungu. Bawahan tak sampai menutupi paha. Dan bahunya. Namun lengannya hampir menutupi pergelangan tangan. Terakhir kesan mewah terlihat dari hiasan rambut dan sepatunya itu.

Dengan mata berwarna indigo dan senyumnya itu ia menyapa mereka. Membuat sebagai orang di sini berteriak histeris.

"Semua, aku Mia. Salam kenal desu!!" teriaknya dengan riang dan kedipan mata.

-

Dari sorak sorai yang di bawa Diva itu. Alya, masih berdiri di luar. Namun perlahan mulai berjalan ke arah memutari Gladiator itu. Di tangannya terlihat Alfonso. Sambil terus berjalan ia memasukkannya ke dalam tas yang diberikan Layria padanya.

Ia terus melangkah. Hingga ia sesaat berhenti di suatu tempat. Tempat yang cukup sunyi. Berbeda dengan tempatnya tadi yang di penuhi banyak orang. Di sini justru tak ada siapa pun. Kecuali mereka.

Tepat di hadapan mereka bersandar di tembok Gladiator. Dua orang bertopeng menghalangi jalan Alya. Yang satu memakai topeng badut. Satu lagi memakai topeng mata berbulu dengan warna mencolok sama dengan rambutnya.

"Kau lama White Heart!" ujar si topeng badut.

"Apa perpisahannya telah usai?" lanjut yang satunya.

"Maaf ... ayo kita mulai permainannya!"

Mereka tersenyum senada. Alya melanjutkan langkahnya, diikuti Siro yang terbang di sampingnya. Lalu kedua orang itu. Mereka ikut berjalan memutari Gladiator itu.

To Be continued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang