34 Enemy

309 32 2
                                    

"Aku bukan Alya. Tapi aku adalah Black Heart," cetusku dengan keras.

Aku masih tak mengerti, kenapa aku mengatakan hal itu dengan ekspresi seperti ini. Namun saat ini, aku sendiri tak dapat mengendalikan otak dan hatiku. Bahkan gerak tubuhku sulit kukendalikan. Apa ini rasanya menjadi peri tanpa sayap yang seutuhnya?

Rion menenggak nafasnya. Ia berusaha menenangkan dirinya sehabis tadi melihat kejadian itu. Tubuhnya ia tegakkan. Dadanya ia majukan. Dengan tatapan tegas dan berwibawa ia menatapku. Matanya begitu tajam menusukku.

"Apa yang sebenarnya terjadi. Kau mempermainkanku ya?" Rion menanyakan hal itu dengan begitu lantang.

Senyum iblis kecil terselimut dariku. Aku memainkan rambuku yang terurai ini. Mendengar pertanyaan itu dilontarkan oleh Rion. Aku berusaha untuk tidak ambil pusing dengannya.

"Aku tidak suka menyembunyikan rahasia seperti yang lainnya. Baiklah akan kukatakan," ujarku. Senyum padaku terasa semakin lebar. Sebesar perasaan gaduh di hatiku ini. "Kau tahu, yang kau serap tadi bukanlah kekuatanku. Melainkan segel padaku. Yang membuatku menjadi peri tanpa sayap yang terlemah," tegasku.

Wajah Rion sesaat tercengang. Ia tak tahu harus mengeluarkan raut wajah seperti apa lagi. "Apa maksudmu?" pertanyaan kembali terlontar padanya.

Aku menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu. "Kau tahu, alasan para peri tanpa sayap tidak bisa mengeluarkan sihir karena apa?"

"Haa ... ? Apa maksudmu?"

Aku melengkung tanganku kiriku ke belakang. Lalu perlahan tangan itu menarik tangan kananku ikut dengannya. "Aku, bukan ... kami tak bisa mengeluarkannya dikarenakan kekuatan kami disegel. Alasannya agar tidak digunakan untuk melawan-Nya."

"Apa?" Wajah Rion kembali tercengang. "Jangan bilang kau menggunakanku untuk membebaskan sihirmu. Lalu kau ingin memberontak pada-Nya?"

"Bukan aku, tapi kami," jawabku. Senyumku mulai menipis. "Lagi pula, kami tidak menyebutnya sebagai pemberontakan. Tapi sebuah penyelamatan. Bukan untuk kami. Tapi seluruh orang di dunia Fana ini."

"Tentu saja tidak. Kalian adalah para penjaga. Tugas kalian adalah menjaga tempat itu," nada bicara Rion terdengar tinggi. "Jika kalian melakukan ini. Bisa saja, dunia ini akan hancur ..."

"Aku terkejut kau bisa menebaknya dengan cepat," lanjutku. Aku perlahan kembali melebarkan senyumku. Lalu mata merahku kembali menusuknya. "Tapi bukannya karena dunia ini, kau terpisah dengan adikmu?"

Wajah Rion begitu kaku mendengar perkataan itu. Ia bahkan hampir kehilangan keseimbangan mendengar suaraku yang berasa berat tadi. "Iya ... tapi ..." nada sumbang keluar darinya.

"Terima kasih Rion. Berkat kau, aku bisa mendapatkan kekuatanku yang sesungguhnya. Aku memang telah mengincarmu sejak lama. Dan kau pasti telah tahu itu," ucapku.

"Ini mustahil, walaupun ... ini ..."

Aku membalikkan badan, lalu berjalan beberapa langkah ke depan sana. Namun aku memutuskan berhenti sesaat untuk kembali melirik Rion. "Jangan kau katakan ini pada siapa saja. Karena, bila bisa menjauhkan kau dengan adikmu. Maka melakukan hal yang lebih buruk lagi itu mudah bagiku," seruku.

Rion hanya tertunduk menahan kesal di sana. Tangannya mengepal, menandakan ke tidak berdayanya tadi. Bahkan ia menggigit bibirnya untuk menahan amarah.

Aku kembali berjalan lurus. Dan tak lagi melihat Rion yang jauh dari sana. Mata merahku bersinar dalam kegelapan. Menyorot jalan lurus namun gelap di depanku. Senyum kesenangan karena hal tadi berseri di depanku.

Namun hatiku sedari tadi terus bergumam. Dengan kata yang sama. "Apa yang telah kulakukan. Aku benar-benar bodoh."

-

Aku berhadapan dengan seseorang di hadapanku. Seorang wanita dengan paras cantik dan lembut bila dilihat dari sini. Gaun berwarna silver. Rambutnya panjang terurai berwarna ungu pucat. Sejak aku melihatnya masuk ke area ini, terlihat sekali wajahnya yang sedang sedih. Apakah dia sedang baik-baik saja?

Sesuatu mendekati area pertarungan ini. Aku tak tahu ia sebenarnya apa? Tubuhnya sama dengan manusia normal. Tapi kepalanya berbentuk seperti sebuah TV. Dari layarnya, tertayang gambar wajah yang sedang tersenyum. Ia mengangkat kedua tangannya 90 drajat.

"Daiyana ... apakah kau siap?" suara serak keluar dari orang itu.

"Iya, saya siap," nada seduh yang lembut keluar darinya.

Daiyana? Apakah itu nama wanita itu? Kalau benar, entah mengapa aku sepertinya tak asing dengan nama itu.

"Layria? Apakah kau siap?" ia berbalik menanyaiku.

"Iya, aku siap!" ucapku lantang. Mendengar nada bicaraku itu, Daiyana sedikit melirikku.

"Kalau begitu, bersiap ..." orang itu menurunkan sedikit tangannya. Bersamaan dengan tubuhnya yang sedikit tertunduk.

Aku mencekam tongkat kayuku ini. Kristal merah pada tongkat ini, mulai kembali bersinar. Warna kelap-kelipnya, memantul dimata Daiyana.
Daiyana sendiri tak membawa apa pun. Selain sebuah buku yang ia pegang dengan satu tangan kanannya. Tatapannya mulai terkesan tegas. Walaupun wajah seduhnya masih tampak.

Tangan kiri orang itu naik ke atas. Suasana tegang mulai berselimut di antara kami. Aku mencondongkan tongkatku ke samping atas. Sedangkan Daiyana membuka buku itu. Lalu ia taruh di hadapannya. Ke posisi yang tepat untuk biasanya orang membaca.

Aku melirik tangan orang itu. Yang sedikit bergetar, lebih rendah dari pada tadi. Dari sana, aku diam-diam memejamkan mataku. Di dalam hati, aku membisikan sebuah mantra yang sudah kupelajari.

"Mulai ...!!!" suara keras mengagetkanku dan juga Daiyana.

Tak ingin membuang waktu banyak, aku memutuskan untuk memulai pertandingan ini terlebih dahulu. "Keluarlah 'Petir Merah' milikku. Aku Layria memanggilmu. Datanglah," sebuah kalimat mantera keluar dari mulutku.

Bazh ... dari kristal merah itu, keluar kilatan berwarna merah berbentuk petir. Awalnya hanya sebuah jepretan kecil. Namun satu detik berlanjut, jepretan itu membesar. Hingga membentuk bola berekor. Yang terlontar ke arah Daiyana.

Melihat trik kecil yang kukeluarkan, Daiyana tak terlalu ambil pusing. Ia seperti telah dapat membaca. Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar seranganku sampai ke dirinya. Sehingga, ia masih sempat memikirkan sebuah mantra yang tepat untuk menghalaunya.

"Perisai tak terlihat. Lindungilah aku," bisiknya dengan lembut.

Traang ... bola petir merah berekor itu tertahan oleh sesuatu. Seperti sebuah gelombang, yang menombok antara diriku dan Daiyana. Namun, tembok itu tak terlihat. Tembok itu menghancurkan seranganku. Sehingga bola tadi, menjadi percikan kecil yang teruap angin.

Dari balik tembok yang ia sebut sebagai 'Perisai tak Terlihat' itu, Daiyana tersenyum padaku. Senyuman lebar yang menggetarkan hati orang yang melihatnya. Matanya semakin sipit. Dan binar-binar air mata berkaca di matanya. Membuat seolah Duel ini terasa begitu dramatis.

"Sayang sekali, pemula sepertimu tak akan bisa mengalahkanku. Camkan itu," gertaknya dengan suara sumbang yang begitu bulat.

Aku berusaha menahan rasa kesalku. Namun itu justru membangunkan rasa ketakutanku. Tanganku mulai gemetar memegang tongkat ini. Rasanya aku ingin lari dari area ini. Tapi, aku berusaha menahannya.

Di saat seperti ini, aku kembali mengingat pertempuranku sebelumnya. Teringat begitu berani dan tanpa ragu aku memegang tongkat ini. Namun sekarang, ke mana sesosokku saat itu? Aku justru berbanding terbalik dengan hari itu. Bahkan aku berharap, sosok gelap misterius yang sepintas kulihat itu kembali muncul. Ke mana semua itu di saat aku memerlukannya?

"Siapa pun, bantu aku," bisikku dalam hati.

To be contiued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang