36 Stage Two

290 34 0
                                    

Aku berdiri di menara jam yang sama dengan hari itu. Rambutku berkibar tertiup kerasnya angin di sini. Mataku tertunduk ke bawah. Melihat riuhnya pertandingan di Gladiator Zeus itu.

Di belakangku terlihat dia. Orang yang membawaku ke tempat ini. Rasanya agak sinis, bila melihat warna mataku kini sama dengan orang itu. Terlebih, bila ia memakai wajahku sebagai topengnya.

"Kenapa kau masih memakai wajahku? Kau bisa mencari wajah lain kan, Siro," aku menyebut nama yang kubuat untuknya di akhir kalimatku.

Ia tersenyum di balik tudung putihnya. "Soalnya menarik, bisa mempermainkan gadis yang kau bawa itu ke sini," suara sinis keluar darinya.

Aku meraba kepalaku dengan jari-jemariku. Terasa kulitku yang lengket. Juga, rasa geli dari tusukan helai rambutku. Jari-jariku berhenti, ketika sampai di daun telingaku. Rasanya sedikit berbeda dari kemarin. Entah sejak kapan telinga runcingku ini menghilang. Berusaha mengingat hal itu membuatku hampir kehilangan akalku lagi.

"Sebentar lagi selesai bukan?" tanyaku membuka topik pembicaraan baru.

"Benar, terima kasih untukmu. Kau telah mau menjaga gadis bernama Layria ini hingga sampai kemari," serunya yang berdiri di belakangku.

Aku tersenyum dengan menutup mata. "Benar, aku tak akan lupa ketika aku merasakan menjadi seekor kucing berekor dua," aku mengarahkan sorot mata merah menyala ini ke arahnya. "Bukankah itu menggelikan," sinisku.

Ia justru tersenyum padaku. "Kau bisa bayangkan. Bagaimana susahnya aku harus memerankan dirimu," gumamnya.

Aku membalikkan tubuh. Menghadapnya yang sedang menatap lurus ke depan. Rambutku yang berkibar karena terurai angin langsung kupegang. Lalu kembali kuikat lagi dengan tali pita hitam yang selama ini kusembunyikan dari balik lengan bajuku.

Setelah selesai mengikatnya, langsung kujatuhkan kedua tanganku. Hingga terjatuh di samping pinggangku. Mata merahku kuangkat. Dan kutunjukkan padanya. Membuat senyum di bibirnya sempat menghilang.

"Kau tahu, aku telah lelah bertukar peran seperti ini. White Heart. Aku sekarang telah menjadi Black Heart dalam semalam. Dengan kekuatanku sekarang, aku bisa menghancurkanmu," ancamku dengan mengeluarkan kalimat yang tak kumengerti arti pastinya.

Ia kembalj tersenyum. Membaut suasana di antara kami semakin terasa tegang. "Lakukan saja, Alya," bisiknya.

"Aku sudah membawa Layria padamu. Sesuai perjanjian. Aku bebas dari tempat ini," entakku.

"Bukankah ini terlalu cepat untuk kau pergi?"

"Bukannya lebih cepat akan lebih baik," sambungku.

Senyum luntur di bibirnya. "Baiklah itu terserah kau. Pergilah!" pintanya.

Wuzh .... angin meniup tudungnya. Memperlihatkan wajah lain dari sana. Aku bahkan tidak tahu, sejak kapan ia mengganti topengnya itu. Tapi mata merahnya dan rambut putih silvernya masih sama dengan tadi.

Aku tersenyum ketika melihat wajah barunya itu dari 'White Heart sang Angin' ini. "Selamat tinggal Siro," ujarku sambil menyorotkan mata merah ini padanya untuk terakhir kali. Sebelum aku pergi menghilang darinya.

-

Aku duduk mencium lutut jauh di belakang Gladiator. Tatapanku suram tak berarah. Ingatanku melayang jauh, bila teringat pertandinganku dengan Daiyana tadi. Terlebih ketika mengingat wajah seduh Daiyana yang penuh ketakutan melihatku.

Di hadapanku telah terdapat dia. Orang yang sama, yang pernah mengantarkanku kemari. Ia juga masih berwujud sama. Tatapan berwarna hijau dan pakaian badutnya itu, tak mungkin bisa kulupakan.

"Hai Luct," sapaku padanya.

"Hai juga Layria, sepertinya kau terlihat suram sekali," jawabnya dengan bibir kucing hitamnya.

Aku tersenyum kecil. "Kau benar juga."

"Apa kau betah tinggal di tempat ini?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk sekali. "Benar, aku merasa hidupku kembali seperti dulu. Aku punya teman yang ada di sampingku. Kami bergabung dan bertarung bersama. Tapi semenjak aku mulai bertarung sendiri di sini. Ada ... yang ... berbeda padaku," jawabku dengan suara yang semakin serak.

"Hmm ... itu wajar saja. Semua orang di sini sama sepertimu," helanya.

"Tapi ada yang aneh terjadi padaku. Seolah aku sedang diikat dalam urusan yang besar," kepalaku kembali terasa berat.

Senyum tipis keluar darinya. "Kau ternyata menyadarinya ya Layria," serunya.

Aku langsung mengangkat kepala mendengar ungkapan Luct. Aku merasa baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ribuan tanda tanya muncul ketika aku melihat Luct di hadapanku. Mataku melirik setiap sudut tempat ini.

"Luct, kenapa kau di sini? Lalu, kenapa sekarang aku berada di tempat seperti ini?" tanyaku dengan nada tergesa-gesa.

Luct mengerutkan kelopak mata kirinya. Mulutnya sedikit terbuka. Memperlihatkan dua taring putihnya. Bola mata kanannya berputar berlawanan dengan sebelahnya.

Aku hanya menahan geli ketika melihat tampang yang ditunjukkan kucing hitam di hadapanku ini. Bahkan hanya melihat baju yang ia kenakan membuatku sempat ingin tertawa. Namun semua itu berat ketika memikirkan keluh kesalku tadi.

Ia menghela nafas panjang sebelum mulai berkata. Sambil menghapus raut wajahnya tadi. "Kau benar-benar tidak ingat?" aku menggelengkan kepala. Dia kembali menarik nafas. Namun kali ini lebih pajang. "Ayo ikut aku!" ajaknya.

Luct mendahului langkahnya. Dan berjalan menjauh. Dia sempat berhenti, dan melirik ke belakang. Melihatku yang masih diam duduk di sana sambil terus memperhatikannya.

Ia menganggukkan kepala dua kali. Menyuruhku agar segera berdiri dan mengikutinya. Aku sedikit lamban menelah kode dari Luct. Namun, aku tersadar dan langsung berdiri. Luct menggelengkan kepala melihatku yang baru mulai mengikutinya.

Luct kembali melangkahkan kakinya. Diikuti aku, yang berjarak tiga langkah darinya. Dalam batinku bergumam. "Aku kembali mengikuti langkahnya."

-

Jauh dari dalam bumi. Di dalam gua yang tak terjamah tangan dengan begitu mudahnya. Seorang Gadis berambut pirang keemasan termenung sambil melihat sekeliling dengan pasrah. Tak seperti biasanya, sekarang ia tak diizinkan untuk bernyanyi. Sehingga ia seharian hanya duduk di atas lantai gua. Tepat di bawah sebuah cahaya kecil lubang-lubang gua ini.

Matanya memfokuskan pandangan pada seseorang yang sedang mengelus kepala Hydra, si naga berkepala sembilan itu. Tangannya begitu lembut. Hingga membuat Hydra lelap begitu saja. Senyum orang itu begitu lembut. Dari sana, seolah muncul suara nyanyian penidur yang amat indah.

"Kenapa kau kemari?" tanya Gadis itu.

"Hanya mampir sebentar," jawabnya singkat.

"Benarkah? Aku tidak percaya," ketus Gadis itu.

Orang itu menghentikan aktivitasnya tadi. Ia lalu meninggalkan Hydra. Pergi berjalan mendekati Gadis berambut panjang itu. Mata merahnya menyala di tengah kegelapan. Cahayanya seperti silau dari pedang tajam seorang ksatria.

"Ada tugas kecil untukmu," ujarnya ketika tepat di hadapan Gadis itu. "Seyla," ia memanggil nama Gadis itu. Sehingga ia sesaat diam termenung.

"Kenapa aku harus mau mematuhimu?" tegasnya dengan suara yang agak meninggi.

Wajah datar sempat terpampang padanya, ketika ia mendekatkan wajahnya dengan wajah Seyla. Dan saat itu, senyumnya kembali membara. "Bagaimana kalau ini untuknya. Untuk kakak kesayanganmu. Si Kera Kuning," bisiknya.

Seyla tak berani menjawab langsung. Ia bahkan menurunkan pandangan dan bahunya. Sorot mata birunya mulai suram. Nafasnya juga terasa begitu berat.

Orang itu menghentikan senyumnya. Ia kini berbalik menjauhkan wajahnya dari Seyla. Tatapannya tak lagi menusuk seperti tadi. Bahkan warna merahnya juga telah hilang.

"Kumohon ... bantulah aku ... Seyla," gumamnya dengan nada bicara yang berbeda dari tadi.

Seyla langsung menganggukkan kepalanya sekali. Wajahnya masih tertunduk dengan raut suram. "Baiklah, kalau itu yang kau inginkan."

To be contiued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang