33 Bright

267 28 0
                                    

Hari ini dimulailah Big Game yang sesungguhnya. Gladiator sejak dari tadi telah di penuhi para orang. Baik para peserta, ataupun para penonton. Sedangkan pertandingan dari beberapa cabang Game telah dimulai. Area lapangan Gladiator di setting agar dapat menampung semua cabang dalam Big Game ini.

Aku duduk di bangku penonton bersama teman Partyku. Untuk saat ini, hanya aku dan Clara yang belum mendapat giliran untuk bertanding. Sehingga sejak masuk kembali ke area ini, kami hanya duduk terus di sini.

"Wah, tadi itu pertandingan yang sengit. Beruntung aku bisa memenangkannya dengan singkat," gumam Torm dengan moncong berbulunya.

"Beruntunglah kalau begitu," sambungku.

"Kau juga harus lebih beruntung dari aku, Layria. Tunjukan hasil latihan dan pengalamanmu bersama kami. Kau harus menang di pertandinganmu nanti," Torm menyemangatiku.

"Terima kasih," aku tersenyum ramah padanya.

Clara yang tak sengaja mendengar percakapanku dengan Torm, mulai tertarik. Ia menyerongkan kepala agar bisa melihat kepala berbulu Torm.

" Hei, aku juga belum main. Kenapa tidak ada yang menyemangatiku," Clara angkat bicara.

"Bitch sepertimu untuk apa disemangati. Jika bukan karena Lisa, aku pasti telah membunuhmu," cetus Torm.

"Kau masih ingat soal itu ya?" Clara memajukan bibirnya.

"Itu sudah pasti. Kau pasti lupa, tapi aku sangat ingat," lanjut Torm.

Wajah Clara terlihat sangat kesal. Ia tak bisa lagi membantah apa yang dikatakan oleh Torm. Ia akhirnya memutuskan berdiri dari tempat duduk. Lalu mengibarkan sayap beningnya.

"Kau mau ke mana Clara?" tanyaku dengan nada risau.

"Sepertinya aku akan mulai bertanding. Dan juga, aku mulai tidak diterima di sini," matanya menusuk ke arah Torm.

Wuzh ...
Dengan cepat ia meluncur menembus angin. Bahkan karena cepatnya, membuat orang yang berdiri di sampingnya terjatuh. Aku sendiri, menyilangkan kedua tanganku agar terhindar dari debunya.

Tap ... tap ... tap ...
Sesaat dari itu, Lisa dan Rion berlari cepat ke arah kami. Wajahnya berkeringat. Entah itu karena lari mereka. Atau karena, mereka habis saja selesai bertanding. Nafas mereka juga terlihat tak beraturan.

Aku kembali menurunkan tanganku. Ketika Lisa dan Rion berdiri di hadapanku. Mereka sesaat mengatur pernafasannya. Mata mereka langsung tertuju pada Torm yang terlihat begitu santai menanggapi semua ini.

"Tadi ada apa?" tanya Rion.

"Clara, dia ..." aku kehilangan kata untuk menjelaskannya.

Mata Lisa kembali menusuk pada Torm. Tatapannya serasa lebih tajam dari pedangnya itu.

"Kalian berdebat lagi?" seru Lisa.

"Bukan masalah," Torm acuh menjawabnya.

Lisa hanya menghela nafas lagi. Ia pun duduk di tempat yang tadi di duduki Clara. Matanya terlihat lesu. Seolah ia habis menghadapi masalah yang cukup rumit.

"Kalau boleh bertanya, sebenarnya ada apa di antara Torm dan Clara?" sebuah pertanyaan meletus begitu saja padaku.

Semua pasang mata tertuju padaku. Bahkan Rion tak jadi ingin duduk mendengarnya. Sesaat tak ada yang menjawab. Bahkan Torm kembali acuh dengan pertanyaan itu.

"Bisa dibilang, mereka itu mantan kekasih yang sekarang menjadi musuh utama," jawab Rion. Senyum iblis terselip di bibirnya.

Torm hanya acuh. Namun wajahnya terlihat begitu kesal. Ia mencekam jari berkuku tajamnya pada bajunya. Aku sendiri sedikit tercengang dengan pernyataan itu. Aku sendiri tidak pernah menyangka hal itu. Walaupun aku telah menduga, Torm dan Clara sudah saling mengenal sejak dulu.

Lisa mengalihkan sesuasana dengan menatap sekeliling. Matanya mengarah ke seluruh penjuru Gladiator. Membuatku sedikit kebingungan dengan sikapnya. Rion tak terlalu memedulikan sikap Lisa. Ia mengambil tempat duduk tepat di depanku. Yang sedikit menjorok ke bawah ini.

"Ada yang aneh," gumam Lisa.

"Apa?" tanyaku.

"Biasanya, tiga pejabat tinggi hadir melihat pertandingan ini. Tapi sekarang mereka tidak ada. Bahkan, tempat duduk untuk para pejabat kosong," matanya mengarah pada deretan bangku kosong di ujung utara Gladiator.

"Tidak itu saja. Mia sebagai Diva hanya keluar sekali di pembukaan tadi. Padahal seharusnya ia terus bernyanyi hingga Game berakhir," Torm angkat bicara.

Mendengar ucapan yang dikatakan oleh dua orang di sampingku, membuatku ikut menyusuri seluruh area ini. Perlahan aku menyadari bahwa yang dikatakan mereka itu benar adanya.

"Ada yang tidak beres," desis Lisa.

Ketika mengamati seluruh area, mataku tertuju pada jam di depanku. Jam itu menandakan aku akan mulai bertanding. Wajah pucat karena ragu mulai berkecamuk. Aku bahkan harus memberanikan diri untuk berdiri. Lisa menatapku ketika tubuhku mulai terangkat. Senyum manis keluar darinya.

"Kau akan bertanding Ria?" tanyanya lembut.

"Iya," jawabku penuh semangat. Semua mata kembali melirikku.

"Wah, semangat ya Layria," lanjut Torm. Aku hanya tersenyum hangat.

Tanganku menggapai buka mantra tebal di atas sebuah bangku kosong sebelahku. Berat dari buku ini mulai tak berasa bagiku. Sejak kemarin Lumina meminjamkan buku ini padaku. Banyak mantra mudah namun kuat berada di dalamnya. Bahkan aku hampir tak dapat tidur semalam karena membacanya.

Aku mengucapkan kata tanpa suara sambil mengayunkan tangan pada mereka. Hingga akhirnya aku pergi berjalan turun menuju area di bawahku. Mereka melepasku dengan hangat penuh dukungan. Hanya Rion yang berwajah perengus menatapku seperti biasanya. Namun aku tak terlalu memedulikannya.

"Semoga aku bisa melakukan yang terbaik nanti," gumaman lembut keluar dari bibirku.

Menuruni anak tangga. Lalu berbelok jalan. Perasaan ragu dan takutku tadi hilang berkat semangat dari mereka tadi. Senyum tipis kupaparkan. Kepada area bising yang ada di hadapanku ini.

-

Wanita berambut ungu itu berlutut pada seseorang berpakaian tertutup di bawah kaca yang pecah. Wanita itu tak memedulikan pecahan kaca yang masih tercecer di sana. Yang mungkin saja melukainya. Ia hanya terpuruk dengan wajah seduh di sana.

Memakai gaun panjang berwarna lavender polos. Hanya ada beberapa hiasan berwarna emas di gaunnya itu. Rambutnya masih terurai lurus ke bawah. Tangannya mengepal pada atas pahanya.

"Tuan, saya siap bertanding," ujarnya pada orang di hadapannya.

Orang itu tak bersuara. Namun desis angin keluar dari balik topeng yang ia kenakan. Dari sana wanita itu mengerti apa yang orang itu maksud.

"Terima kasih Anda telah memilih lawan yang pantas untuk saya. Untuk itu saya permisi," lanjutnya.

Wanita itu akhirnya berdiri. Beberapa butir pecahan kaca menempel di gaunnya. Namun tak sampai melukainya. Ia mulai meninggalkan orang itu. Gaunnya kini terlihat semakin panjang dengan ujung bawahannya terseret di lantai.

Wanita itu masih berwajah sedih. Bibirnya berkecap seolah memanjatkan sebuah Doa. Matanya berbinar bagai kristal karena setetes air di sana. Ia hanya terus berjalan tanpa melirik ke belakang lagi. Karena dia tahu, orang itu telah menghilang dari tempatnya tadi.



To be contiued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang