37 Tanpa Nalar

331 28 5
                                    

Aku pernah bermimpi. Mimpi yang sangat indah. Ketika aku berharap. Dikelilingi teman yang selalu memujiku. Mendukungku, dan mendorongku maju ke depan. Tapi sayangnya itu hanya mimpi. Dan ketika aku terbangun. Semua itu tidak ada. Dan pada akhirnya. Aku hanya menangis. Meratapi nasibku ini.

-

Aku mengikuti langkah Luct, yang membawaku menjauh menyusuri setiap lorong di Gladiator. Kakiku terasa pegal dan sedikit kaku. Apa ini efek dari pertandingan tadi.

Aku mengamati setiap alur dari ekor hitam Luct. Sesekali aku sempat teringat tentang teman satu Partyku yang masih ada di dalam area itu. Aku terus memikirkannya. Yang membuat perasaan cemas dan gelisah muncul dari lubuk hatiku.

“Luct, kita mau ke mana?” tanyaku.

“Cukup ikuti saja aku,” jawabnya tanpa melirik ke belakang.

Aku mengangguk pelan. “Baikalah.”

Mataku mulai berbinar, ketika melihat kaca-kaca yang berhamburan di sekelilingku. Memantulkan cahaya warna-warni yang indah. Aku sempat berpikir, sejak kapan kaca-kaca ini melayang memutariku.

“Kau masih ingat, aku pernah menyebut dunia ini sebagai dunia Paralel. Kau ingat?” suara rusuh keluar dari kumis kucing itu.

Aku mengangguk sekali. “Ingat.”

Luct melirikku sesaat. Sebelum ia berlarian kecil dengan ke empat kakinya. Menuju sebuah celah yang ada di depannya.

“Tunggu!” teriakku, sambil mengejar langkahnya.

Luct berlari begitu cepat menuju jelah itu. Membuatku sedikit terengah-engah mengejarnya. Suaraku tadi serasa tak sampai padanya. Rambut hitamku mengurai di terpa angin yang kubuat. Keringat juga ikut bercucuran di tubuhku. Kakiku yang pegal juga kini hampir tak terasa lagi.

Luct akhirnya berhenti. Ia tepat berhenti di depan celah itu. Aku ikut memberhentikan larianku juga. Dengan masih terengah-engah, aku membungkukkan badan sambil mengambil nafas. Aku melihat sosok diriku sendiri di depan sebuah kaca. Terlihat sekali, wajah pucat tampak dengan jelas di hadapanku.

“Tenangkanlah dirimu Layria,” ujar Luct.

Aku mengangkat sedikit kepalaku. Terlihat Luct yang sedikit menyengir kepadaku. Mata hijau bulatnya tak banyak berubah. Masih terasa tajam. Sama dengan hari ketika aku bertemu dengannya.

Aku kembali menegakkan tubuhku. Membiarkannya berdiri siap sejajar. Wajah tegas kupaparkan padanya. Aku sudah lama mengabaikan kakiku yang mati rasa ini. Dengan rasa yang tak kuingat lagi. Kutatap lurus Luct. Dan berjalan selangkah, demi selangkah ke arahnya.

Luct membalikkan badan, lalu berjalan masuk ke dalam celah gelap itu. Begitu pula denganku, yang ikut ditelan hitamnya kegelapan ini.

-

“Hai ...”

“Hai ... juga ...”

Suara menggema di tengah kegelapan. Membuat hatiku yang suram semakin terpuruk.

“Mau kuceritakan sebuah kisah?” tanya suara itu lagi.

“Apa?”

Suara hening sesaat bergemuruh.

“Kau tahu, ada tiga dunia di alam ini,” bisiknya lembut.

“Tiga dunia? Apa?” rasa penasaran menghantuiku.

“Yaitu ... dunia yang kau tinggali, yang sekarang tempati, dan dunia yang kau pijak ini,” lanjutnya.

“Ha ... jadi ini juga sebuah dunia. Tapi ... kenapa sangat gelap?” tanyaku.

“Benar, ini dunia pembatas antara duniaku dan duniamu. Tentu saja ini kosong dan gelap. Karena tak ada yang menempatinya,” jawabnya.

“Lalu, kenapa kau ada di sini?”

Suara hening tanpa jawaban kembali terdengar di sini.

“Kau sendiri kenapa di sini?” ia berbalik bertanya.

Aku menundukkan kepala. “Ada seseorang yang mengajakku,” jawabku hening.

“Aku pun,” sambungnya.

Aku merenung sesaat. “Jika benar ada dunia lain seperti yang kau katakan. Entah mengapa aku ingin ke sana?”

“Kenapa?”

“Karena aku merasa, aku tak diinginkan lagi di duniaku saat ini,” jawabku.

Dia menghela nafas panjang. “Itu sebabnya kita sama,” helanya.

“Apa?”

“Hai, kau masih di sana?”

“Iya, aku di sini. Lalu ada apa?”

“Bukan apa-apa, aku tak dapat melihatmu. Jadi, aku berpikir sedang bicara sendiri,” jawabnya.

Aku menyengir kecil. “Aku pun tak bisa melihatmu. Tapi, maukah kau membantuku?” tawarku.

“Apa?”

“Bantulah aku membuat dunia gelap ini. Menjadi dunia indah. Di mana, orang seperti kita bisa hidup tanpa ada rasa sedih. Dan selalu bahagia,” seruku.

Keheningan kembali memuncak.

“Bagaimana jika dunia yang penuh dengan fantasi. Sehingga orang yang masuk ke dunia ini bahagia. Dan bebas menjadi apa yang mereka inginkan,” sahutnya.

“Tentu, boleh ...” ujarku.

Kebahagiaan memuncak di dalam hatiku.

“Kalau begitu, ayo kita mulai ...”

“Membuat dunia tanpa kesedihan ...”

“Dengan dihuni karakter fantasi ...”

“Yang akan menyenangkan ...”

“Tanpa penghalang ...”

Kalau begitu ayo ikut, ke dunia impian kita.

To be continued

Wingless (World with Fantasy Character) Tamat✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang