"Oke. Kalo gue bisa rekrut sepuluh anggota cewek, gue masuk klub ini, dan lo gak boleh protes lagi," ujar Ezra tanpa ada keraguan sama sekali.
Semua yang ada di sana langsung tercengang menatap Ezra, tak terkecuali El yang sedikit terkejut mendengar ucapan gila cowok itu.Jika memang semudah itu, tentu saja sekarang klub basket mereka tidak kekurangan anggota. Sebenarnya memang banyak cewek yang ingin daftar menjadi anggota tim basket mereka, tapi tidak punya kemampuan sama sekali. Para senior bisa saja melatihnya, tapi itu akan memerlukan waktu yang lama dan hanya membuang tenaga karena kebanyakan, cewek-cewek itu hanya ingin dekat dengan para anggota basket cowok, terutama dengan Rafa.
"Asal lo tau, kita gak asal aja nerima anggota," tegas El memecahkan keheningan yang tercipta sesaat tadi.
Ezra mengangkat salah satu alisnya sambil memandangi El.
"Kita punya persyaratan dan kriteria untuk jadi anggota klub basket ini. Hal itu juga gak mudah buat semua cewek pada umumnya," jelas El.
Ezra mengangguk. "Lo yang kayak gini aja bisa, gimana cewek lainnya," balas Ezra.
El mendelik lebar kepada Ezra, selain itu semua tatapan mereka yang ada disana hanya mengarah pada El, karena mereka tahu betul jika perkataan tadi pasti menyinggung El. Namun El malah membalas pandangan mereka satu per satu dengan tatapan yang membunuh.
"Yang kayak gini itu gimana maksud lo?!" geram El setelah kembali menoleh pada Ezra.
Ezra memandangi El dari bawah ke atas, kemudian menjawab, "Ya, lo."
"Gue kenapa?!" balas El sedikit membentak.
"Kalo mau bertengkar nanti aja, sekarang kita butuh kepastian dari lo, Zra. Gimana?" lerai Rafa mencoba menghentikan perdebatan itu agar tidak berlangsung lama dan malah membuang waktu saja.
"Seperti yang gue bilang. Gue bakal ngerekrut sepuluh anak buat klub cewek," jawab Ezra santai.
"Kalo gak ada yang sesuai sama persyaratan?" tanya Zea, salah satu anggota klub basket cewek.
"Gue pilih seadanya dan gue sendiri yang latih mereka," jawab Ezra yakin.
Zea mengangguk puas dengan jawaban Ezra, lalu ia menoleh pada Dito menunggu keputusan sang ketua.
"Oke. Gak ada salahnya lo coba," tukas Dito.
"Sepupu lo gila," bisik El pada Rafa yang berada di sebelahnya.
|•|•|•|
Satu jam sudah berlalu, El sudah mulai lelah bermain basket. Sekarang El memang harus mengakui kondisi tubuhnya hari ini sangat tidak fit, apalagi perutnya yang beberapa kali mengeluarkan suara bentuk protes, benar-benar harus diisi secepatnya. Kemudian El berjalan ke tepi lapangan dan duduk di bangku panjang untuk beristirahat sejenak.
"Nih," ujar Rafa dengan tangan yang mengulurkan minuman mineral pada El.
El menerima botol tersebut dan meneguknya hingga tersisa setengah botol.
"Udah laper ya?"
"Pakai ditanya lagi. Ini gara-gara lo," jawab El yang kesal karena pertanyaan bodoh itu.
Rafa tersenyum lebar dan mengacak rambut El, lalu berkata, "Ya udah sana ganti baju lo. Kita pulang sekalian mampir ke warteg depan."
Perlakuan seperti barusan selalu sukses membuat jantung El berdegup kencang. El berusaha menutupi rasa gugupnya dengan mengalihkan pandangan untuk mengambil tasnya dan bergerak untuk menuju toilet. Namun, dering ponsel Rafa membuat El kembali menoleh pada cowok itu.
"Kenapa Re?"
"Udah selesai sih, barusan."
Kemudian Rafa tiba-tiba menatap El, sementara yang ditatap hanya mengangkat kedua alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elvina [COMPLETED]
Teen Fiction-Elvina Allya Cewek tomboy yang biasa dipanggil El sedang menghadapi kasus friendzone. Dia selalu mengorbankan apapun demi kedua sahabatnya yang saling suka. Meskipun itu membuatnya berkali-kali menangis seorang diri dikamar. - • - "Lo pi...