04. Pilihan

4.7K 778 76
                                        

Adriel keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya dengan rambut yang basah dan handuk putih melilit di pinggangnya.

Cowok itu menggunakan baju kaos hitam polos dan celana berwarna hijau army. Adriel duduk di sisi tempat tidurnya, merenungkan sesuatu yang terus mengganggunya.

Ini kesempatan bagus untuk membalas dendamnya.

Sesaat kemudian Adriel tersadar apa yang sedang di lakukannya. Adriel menggeleng seraya mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Jangan jadi brengsek, Adriel."

Adriel keluar menuju balkon, sekedar menghirup udara segar disana. Tangannya berpegangan di pembatas besi yang dingin. Udara malam ini begitu menusuk kulit, sepertinya akan hujan.

"Adriel!"

Tanpa perlu menoleh, Adriel sudah tahu jelas pemilik suara itu. Lelaki itu tak menyahut, menoleh pun tidak.

Kanaya, gadis yang tadi memanggil Adriel dari balkon kamarnya terus berceloteh, tak peduli Adriel mendengarnya atau tidak. "Makasih ya udah nungguin aku tadi."

Pada akhirnya, Adriel menoleh. Menatap gadis yang menggunakan piyama putih dan permen kaki di mulutnya itu. "Nah, gitu dong noleh kesini. Aku bisa ngeliat muka kamu 'kan, jadinya," celoteh Kanaya setelah mengeluarkan permen itu dari mulutnya.

"Adriel, kam--"

"Lo sedeket apa sama cowok itu?"

Ucapan Kanaya dipotong begitu saja oleh pertanyaan Adriel. Gadis itu mengernyitkan dahinya. "Co-cowok? Cowok siapa?" Tapi gadis itu diam-diam merasa senang. Ini pertama kalinya Adriel membuka topik pembicaraan dengan dirinya.

Adriel menghela nafas pelan. "Yang nemuin lo di lab tadi." Adriel sebenarnya tahu nama lelaki itu, namun menyebut namanya saja membuat Adriel geram.

"Ooh, Dave," gumam Kanaya sembari memasukkan permen kaki itu kembali ke dalam mulutnya.

Kanaya diam sejenak, lalu kembali berbicara setelah mengeluarkan permen itu dari mulutnya. "Dia sahabat aku dari SMP. Kalau masalah deket mah, nggak usah ditanya lagi. Hampir semua orang ngira kita pacaran. Intinya kita tuh deket banget, deh."

"Ehm..." gumam Kanaya. "Sebenarnya kita hampir pacaran, sih. Dia pernah nembak aku, tapi aku tolak," cerita Kanaya.

Jadi si brengsek itu suka sama cewek ini.

"Aku agak ngerasa bersalah si sebenernya. Padahal dia baik, perhatian, ganteng pula," ucap Kanaya, namun gadis itu buru-buru meralatnya. "Eh, tapi gantengan kamu kok."

Kanaya sempat terdiam dengan permen di dalam mulutnya, sampai gadis itu tersadar sesuatu. Ia tersenyum kemudian menoleh ke arah Adriel, membuat perasaan lelaki itu tidak enak seketika. "Kok kamu tiba-tiba nanyain David? Cemburu ya?"

Adriel mengangkat sebelah alisnya, kemudian mendengus geli. Cowok itu membalikkan badannya tanpa merespon ucapan Kanaya. Ia membuka pintu geser yang membatasi kamarnya dengan balkon, kemudian menutupnya kembali.

"ADRIEL! KAMU CEMBURU, 'KAN?" Suara melengking milik Kanaya masih terdengar, namun Adriel memilih menulikan telinganya.

Cowok itu keluar dari kamarnya, berniat pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika sampai di anak tangga terakhir, telinga Adriel menangkap suara tangisan yang berasal dari dapur.

Adriel kenal suara itu. Itu suara tangisan Mamanya.

Benar saja. Adriel mendapati Ibunya, Iren, sedang menangis di meja makan sembari memegang erat segelas air putih yang terisi setengah. Hati Adriel mencelos melihatnya.

Tsundere [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang