Jam yang tergantung pada dinding resort kamar milikku itu menunjukan waktu pukul tujuh malam. Keheningan malam dilengkapi dengan dinginnya hawa yang ada dengan cepat merambat menyelimuti ruangan ini. Aku menatap pantulan diriku yang berada dalam cermin sambil tersenyum. Pikiranku masih saja memainkan momen-momen dimana aku, Papa, Justin, Ryan dan Chaz ketika sedang bermain pasir di pantai belakang tadi sore. Seperti sebuah film yang sedang diputar oleh sebuah vcd player, pikiranku memflashback hal-hal yang baru saja terjadi. Seakan tidak luput, ia kerap memainkan momen-momen itu secara berurutan. Berawal dari kejahilan Papa yang membawa ku ke pantai, pembalasan manis yang aku berikan terhadapnya, dan berakhir dengan sebuah perang pasir yang sepertinya tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Sepertinya aku sudah lupa bagaimana rasanya sakit perut yang muncul ketika kita terlalu banyak tertawa, hingga tadi sore. Perang pasir yang terjadi tadi sore itu benar-benar menyenangkan. Kejadian tadi sore itu membuat aku sadar bahwa aku sudah lama tidak merasa senang seperti itu. Membuat aku sadar bahwa sudah lama sekali aku tidak menghabiskan waktu bersama Papa. Setelah sekian lamanya, belum pernah aku merasa sesenang dan sebebas tadi.
Bertingkah seperti anak umur lima tahun dan berlarian dengan bebas, dengan tawa lebar yang tidak luput dari wajah kami, lalu kami mengakhiri perang pasir itu dengan bahagia. Ini adalah kali pertama dimana aku merasa bahagia disini, di lingkungan baru ku. Justin yang biasanya selalu berakting menyebalkan semenjak aku bergabung dengan bieber crew ini sepertinya mulai berubah. Dan aku harap, tingkah Justin bisa menjadi lebih baik beberapa waktu ke depan.
***
"Truth or dare?" Seorang cowok dengan kaos biru dan rambut yang dikuncir tiga itu bertanya kepada seorang pemuda disampingnya. Aku melipat bibir ku rapat-rapat, mencegah tawa yang dari tadi ingin sekali keluar.
"Truth," Justin berucap dengan pelan, mengakhiri pertanyaan Chaz tadi dengan pilihan 'truth'. Justin dengan wajah yang dipenuhi oleh tepung itu akhirnya memutuskan untuk memilih 'truth'. Justin mungkin lelah juga, karena dari tadi botol kosong itu telah menunjuk ke arahnya dua kali dan dia memilih 'dare' yang berujung dengan semua tepung di wajahnya itu.
"You're such a pussy," Chaz berkomentar ketika Justin memilih 'truth'. Aku yakin Chaz sudah memiliki ide gila diotaknya yang seketika hilang ketika Justin memilih 'truth'. "Lame" Tambah Ryan sambil berdecak.
Aku, Justin, Chaz, dan Ryan sedang berada di ruang tv sekarang, terhanyut oleh permainan yang biasanya di sebut dengan 'Truth or Dare'. Aku pernah bermain permainan ini dulu, ketika aku masih berada di New York. Permainan ini bisa dibilang adalah sebuah permainan yang 'gila'. Well, as you can see we have to pick 'truth' or 'dare' if the bottle stopped in our position. 'Truth' and 'Dare' has consequences for both of them. Jika kita memilih 'truth', tentu saja kita harus menjawab pertanyaan yang dilemparkan oleh musuh, dan secara tidak langsung, rahasia kita terbuka. But if we choose 'dare', kita harus mengikuti semua permintaan gila yang di berikan oleh musuh. Hmm gila, bukan?
Untunglah dari tadi botol kosong itu belum menunjuk kearah ku, jadi aku belum pernah memilih truth or dare. Justin sudah memilih dare dua kali dan Ryan memutuskan untuk memilih truth sekali. Sedangkan Chaz? Well, dia memang gila. Tiga kali botol itu menunjuk kearahnya dan dia kerap memilih dare. He's crazy, I guess.
"Just ask the question already," Justin berucap sambil memutar matanya. Aku hanya menatap ke arah Chaz yang terlihat sedang berpikir keras.
"Are you a virgin? If you're not, who's your first time?" Senyum licik muncul di bibir Chaz ketika dia sudah melontarkan pertanyaannya untuk Justin. Justin terlihat menundukan kepalanya, mencoba menyembunyikan kedua pipinya yang sudah memerah itu. I kind of curious with the question, I mean Gita always told me that Justin such a sweet, humble, down to earth and innocent guy in the world. I wonder if he's a virgin or not.
"What kind of question is that?" Balas Justin masih dengan pipi yang merah dan wajah yang sedikit menunduk. "You picked the truth so, just answer my question," Balas Chaz sambil sedikit mengangkat kedua bahunya.
Justin terdiam, terlihat berfikir apakah dia harus memberitahukan kedua sahabatnya dan juga well...aku tentang sesuatu yang penting baginya.
"No, I'm not" Justin berucap sangat pelan, seakan dia tidak ingin siapapun yang berada di ruangan itu mendengar ucapannya barusan.
But I hear that. So, he's not a virgin? Wow. That's kinda surprised me. I mean, the way Gita said about this guy....as if he's so innocent and sweet, but in reality? He's not different. Just like another celebrities. Chaz dengan jahil membalas "I can't hear you, dude" yang berhasil membuat Justin memutar matanya (lagi).
"No, I'm not a virgin" Justin mengulang ucapannya, dengan volume suara yang lebih keras kali ini. "Happy now?" Tanya Justin kepada Chaz yang menatap nya dengan senyuman puas di wajah Chaz. "No, not yet. You haven't answered the other question" Balas Chaz sambil menggelengkan kepalanya yang diikuti dengan hembusan nafas berat dari Justin.
Selena, I guess.
"It's Selena," That's it. I'm right.
"Wow dude," Ucap Ryan dengan nada yang sedikit tidak percaya. "So you and Selena--" "Shut up" Seakan tidak ingin mendengar kata-kata lanjutan yang keluar dari bibir Ryan, Justin akhirnya memotong ucapannya.
"Okay okay, let's spin the bottle" Seakan tidak ingin memojokkan Justin lebih lama lagi, Chaz akhirnya berucap. Justin dengan cepat mengambil botol itu dan meletakkannya di tengah kemudian memutarnya. Putaran botol itu semakin melambat, mencari sasaran siapa yang akan menjadi korban selanjutnya.
Please jangan gue.
Jangan. Gue.
Aku menghembuskan nafas lega ketika botol itu berhenti. Dan botol itu berhenti tepat ke arahku. Wait what?
I just realized that the bottle stopped in front of me.
Damn.
"It's finally your turn, silly. Truth or Dare?" Justin menampilkan senyum lebar yang diikuti dengan senyum dua orang cowok di depanku. Aku kemudian berfikir, kalau aku memilih Dare, aku tau Justin bakal menyuruh aku melakukan sesuatu yang gila. I mean Justin is prankster. Kalau aku pilih Truth?
"Truth," I decided to picked truth dari pada aku harus melakukan sesuatu yang bodoh.
"Okay since you picked the truth..." "I wonder who's your first kiss?" Tanya Justin dengan ekspresi wajah yang ingin tahu.
Dang.
Aku terdiam sejenak, memikirkan apakah aku harus berbohong kepada cowok-cowok di depan ku atau tidak.
To be honest, I haven't got my first kiss. I'm not a western you know? I'm a half blood. Jadi aku tidak begitu terbawa dengan arus ke baratan milik papa. Mama yang berasal dari Indonesia juga selalu bilang kalau ‘first kiss’ itu adalah hal yang sangat penting, mama bilang aku harus memberikan ciuman pertama ku untuk orang yang benar-benar aku cintai. Dan aku mengikuti kata-katanya, sampai sekarang.
Not having a first kiss doesn't mean that I haven't had a boyfriend. Aku memiliki mantan, well walaupun hanya satu. Aku, bisa dibilang adalah orang yang pemilih. Mikayla said that I’m too picky. That’s why I only had one ex. Okay, Namanya Jason. Dia tinggal di New York, just like me. We used to have some classes together. And we were dating when I was fourteen. Benar-benar tidak ada keseriusan pada hubungan kami waktu itu, dan aku berpikir bahwa aku tidak benar-benar mencintainya. Aku hanya menyukainya, kurasa. But he has kissed me, once on my cheek. Does that count as first kiss? No. K.
"Omg," bisik Justin diikuti dengan ekspresi wajah kaget nya.
Aku mengerutkan keningku sebelum berkata "What?"
Justin menggelengkan kepalanya pelan "You haven't got your first kiss?" Tanya Justin tidak percaya.
Shit. How did he knows that?
"I didn't say that," Ucapku dengan suara yang sedikit keras, membela diri.
Justin tertawa kecil "You make it too obvious," timpal Justin yang kemudian diikuti dengan anggukan kepala dari Ryan dan Chaz.
Aku menunduk, mencoba menyembunyikan kedua pipiku yang aku yakin sudah semerah tomat. Bagaimana mereka bisa tau kalau aku.....uhh.
"Aww look at her cheeks" Ucap Chaz menggoda. Aku membawa ke dua telapak tanganku ke arah pipiku, dan mencoba menutupinya dengan tanganku masing-masing.
"Uhh stop teasing and let's continue the game," Aku memutar botol yang berada di depanku dan hap. Botol itu berhenti tepat pada Chaz. "Truth or Dare, Chaz?"
"I'm not lame, so dare" Balas Chaz dengan tatapan menyindir ke arah Justin yang tadi sempat memilih 'truth'.
"Dare? Okay.." Aku berfikir hal bodoh apa yang harus Chaz lakukan kali ini. Memang Chaz itu paling insane, dia sudah tiga kali memilih dare dan kali ini dia memilih dare lagi? Ohemgee. Aku benar-benar tidak habis fikir.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku mendapat sebuah ide gila yang harus Chaz lakukan "Kiss Ryan's cheek," Ucapku sambil tersenyum puas. Justin yang berada di depanku itu kemudian tertawa keras.
"What?!!" Chaz dan Ryan sama-sama menolak ketika aku meminta chaz untuk mencium pipi Ryan. Lol he picked dare so he should do it!
"You picked dare yeah so," balasku kemudian diikuti dengan tawa yang sudah tidak bisa aku tahan lagi.
Chaz bangkit dari tempatnya dan mulai mendekati Ryan. "Dude don't you dare,"
Ancam Ryan yang sepertinya tidak berlaku untuk Chaz. Chaz kerap berjalan dan mendekati Ryan dan.....
Cup.
Chaz mencium pipi Ryan dan berkata "mwaaaah". Omg he's so gay! Lol
Setelah mencium pipi Ryan, Chaz langsung berakting seperti banci dengan tangan kiri diperutnya dan tangan kanan yang melambai ke arah Ryan. Tingkah Chaz itu berhasil membuat tawaku dan Justin menggema di ruangan ini. Aku dan Justin benar-benar tertawa keras, sampai-sampai aku kesusahan mengatur nafasku karena tawa yang sejak tadi tidak mau berhenti. Justin terlihat sedang memegangin perutnya yang sakit akibat terlalu banyak tertawa.
Ryan kemudian membersihkan pipi kanannya dengan tangan, sambil membuat ekspresi jijik ke arah Chaz. "Eww dude I can't believe you did that," Ucap Ryan dengan ekspresi wajah yang sangat lucu. Membuat Chaz yang berakting seperti banci itu akhirnya tertawa juga.
Aku tersenyum ketika aku menyadari hari ini adalah hari yang benar-benar indah. I couldn't get any happier today. I totally love today.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair
Fiksi PenggemarHow it feels like if you happened to be Ryan Good's daughter? Yes, Ryan Good yang bekerja sebagai stylist dari seorang popstar yang selalu menjadi center of attention disemua penjuru dunia. And the worst, what it feels like to have to stay with Rya...