Part 13: Sand Fight

1.4K 62 0
                                    

“DAD!! PUT ME DOWN!!” Teriakku histeris setelah sempat terdiam selama beberapa detik. Papa hanya tertawa lebar dan terus berlari menuju ke arah pintu belakang Resort, dimana Pantai itu berada. Aku masih dengan usahaku berusaha turun dan keluar dari dekapan papa itu. Dan papa, masih dengan gelak tawanya menggendengku dan berlari ke arah pantai.

“Not until you touch the water,” Jawabnya dengan tawa puas diwajahnya. Dia bilang dia gak akan menurunkan aku sampai aku menyentuh air? 
Itu artinya……..He’s gonna put me on the water?!

“DAD, NO!” Seruku lagi ketika Papa tidak juga berhenti berlari. Sekarang aku bisa melihat pasir pantai dari mataku. Dan melihat air pantai yang biru itu menggulung dengan indah. Dan tiga orang laki-laki yang sedang berlarian sambil menyerukan nama mereka satu sama lain. 

Justin.

Chaz.

Ryan.

“Shit,” Aku mengumpat dalam diriku pelan. Sepertinya usahaku dua hari belakangan ini akan berakhir sia-sia. Usahaku untuk menghindari dari cowok itu seperti nya akan sia sia. 

Thanks, Dad. 

Teriakan ku sempat terhenti ketika melihat ketiga cowok yang berada di depanku itu dengan celana pendek selutut dan dada bidang yang tidak ditutupi satu helai benang pun itu memberikan tatapan heran sekaligus puas ketika melihat Papa yang dengan sangat ambisius menggendong dan membawaku berlari hingga ke Pantai belakang. 

Mereka shirtless.

I repeat, Shirtless.
Okay.

Well, I didn’t know that Canadian boys are hot.

What.
Did I just think that.
Yes. 

Aku berhenti menatap ketiga cowok itu ketika aku baru menyadari bahwa sekarang Papa sedang mengambil ancang-ancang untuk melemparku ke arah air pantai yang terhampar luas di depanku. “DAD, NO NO!!” Aku segera berseru ketika Papa mulai menghitung mundur dari tiga.

“Three….” Ucap papa mulai menghitung sambil mulai mengayunkan tubuhku. “DAD PLEASE DON’T” Aku mulai berteriak tidak karuan ketika Papa tidak menggubris perkataanku dan malah meneruskan hitungannya dalam mundur. “Two….” 

“NO!” Aku mempererat tanganku pada leher Papa dan terus memohon-mohon agar Papa merubah pikirannya. Tetapi sepertinya Papa teguh dalam pendiriannya. Dia benar-benar tidak mengubris perkataanku dan mulai mengayunkan tubuhku lebih kencang lagi.

“One!” Seru Papa ketika hitungan mundurnya itu berakhir. “DAD PLEASE, I LOVE YOU!” Ucapku lalu memejamkan mataku cepat. Dan mempererat peganganku pada leher Papa lebih erat lagi. Masih dengan memejamkan kedua kelopak mataku, aku menunggu air pantai yang dingin itu menyentuh tubuhku. 

Satu menit berlalu.. aku belum merasakan tubuhku menyentuh air pantai 

Dua menit.. dan tubuhku belum juga menyentuh air pantai itu

Dan ketika menit ketiga nyaris berlalu, aku memutuskan untuk membuka kedua mataku. Aku bisa melihat Papa dengan tawa yang sudah terlukis di bibirnya itu menatapku puas. “You think I’m serious when I said that I’m going to put you into water, hun?” Tanya Papa sambil mencoba menenangkan dirinya dari gelak tawa yang sudah lama sekali tidak aku dengar. Tawa khas milik Papa yang benar-benar sudah lama sekali tidak aku dengar. Aku tersenyum melihat Papa dengan gelak tawanya dan senyum lebar yang terlukis dibibirnya itu. Aku baru sadar bahwa sudah lama sekali aku tidak mendengar gelak tawa Papa yang khas itu. Aku menghembuskan nafasku lega lalu tersenyum lebih lebar lagi ketika Papa berbicara seperti itu. Itu artinya Papa akan mengurungkan niatnya untuk melemparku ke air pantai, bukan?

“I think you’re serious Dad,” Ucapku membalas perkataan Papa. “And thanks God you’re not,” Tambahku lagi lalu tersenyum lebar ke arahnya. Aku kira Papa benar-benar akan melemparku ke Pantai, well as you know my dad is real prankster. He can do anything he wants. He can goes crazy and stuff. That’s why I thought he’s gonna put me in the water. Tapi untunglah Papa mengurungkan niatnya itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika tubuhku sampai menyentuh air pantai yang dingin itu. Pertama, jelas air pantai itu dingin dan aku sangat malas mengganti pakaianku jika Papa benar-benar menaruhku di air pantai. Dan yang kedua, aku pasti akan benar-benar terlihat seperti orang bodoh di depan ketiga cowok itu. 

“Well, I’m serious” Balas Papa lalu diikuti dengan senyuman menyeringai di bibirnya. That smirk. 

Butuh waktu beberapa detik bagi otakku untuk mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Papa. So, he’s serious? That means…….

“DAA-“

BYURRR

Suara khas air pantai diikuti dengan suara dentuman keras yang beradu ketika Papa melempar tubuhku ke Pantai. Basah. Aku benar-benar basah kuyup sekarang. Seluruh pakaianku basah sekarang. Bukan, bukan pakaian. Tapi seluruh tubuhku sudah menyentuh air pantai sekarang. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki ku mengenai air pantai. Beberapa detik berlalu, dan aku masih diam di tempatku merasakan sensasi kaget bercampur kesal sekaligus. Papa memang gabisa di tebak banget, sih. Maksudnya apa coba tadi bertingkah seperti dia mengurungkan niatnya itu dan belum juga lima menit berlalu, Papa langsung melemparkan tubuhku ke dalam air secara tiba-tiba. 

Aku berusaha berdiri dari tempatku lalu merapikan rambutku juga membersihkan pasir-pasir yang sudah berada di beberapa helai rambut milikku. Aku menatap ke arah Papa kesal lalu sedikit memajukan bibirku, cemberut. Bukannya merasa bersalah Papa malah meneruskan tawanya itu sambil memegangi perut. Kemudian aku takut-takut mengedarkan pandangangku ke arah Justin, Ryan dan Chaz. Please, jangan bilang mereka bertiga sedang menatap ke arahku. Aku menghembuskan nafas panjang ketika kedua mataku menangkap ketiga cowok itu. Dan ya, mereka sedang menatap kearahku sambil tertawa kecil. Eh, maksudku Chaz dan Ryan. Mereka berdua menatapku dengan tawa kecil dibibirnya. Sedangkan Justin…..well dia tersenyum lebar sambil menatapku. Senyum indah yang biasanya berada di majalah-majalah yang dibeli Gita. Senyum yang seakan hanya dia berikan untukku. Justin benar-benar tersenyum lebar, sampai-sampai barisan giginya yang rapi itu terlihat. Aku tau benar dia sedang mencoba menahan gelak tawanya. Terlihat jelas dari raut wajahnya. Sepertinya memang benar ketika orang-orang bilang bahwa senyum itu adalah hal yang menular. Karena aku sedang mengalaminya sekarang. Aku tersenyum balik kearah Justin. Padahal aku sama sekali tidak berniat untuk membalas senyumnya itu. Entahlah, mungkin karena senyum Justin yang benar-benar indah sampai-sampai aku tidak bisa menahan diriku untuk membalasnya. Sungguh, senyum itu terlukis bergitu saja. 

Aku kembali menjatuhkan pandanganku kepada Papa lalu menaruh kedua tanganku di depan dada. “You will pay for this, Dad” Ucapku, mencoba keras untuk tidak tersenyum ketika melihat raut wajah Papa yang begitu senang di depanku. Papa kemudian mengambil beberapa langkah mendekatiku, “Sorry hun, but it’s just fun teasing you” Ucap Papa lalu mengacak rambutku pelan, membuat rambut ikalku menjadi tidak beraturan. 

“I hate you” Aku berucap sambil tersenyum lebar. Tentu saja aku hanya bergurau. Papa kemudian membalas perkataanku dengan senyuman lebar diwajahnya. Kemudian aku duduk kembali ditempat tadi aku mengenai air pantai, lalu mengambil segenggam pasir pantai yang basah di dalam tanganku. Papa mengerutkan alisnya ketika melihat tingkah ku itu. Aku hanya terdiam sambil menunduk, menahan tawa yang sudah ingin pecah di wajahku. “Kelsey, you okay?” Papa kemudian menghampiri ku. Lalu menundukkan tubuhnya sedikit, agar bisa melihat wajahku yang menunduk itu. Karena aku tidak menjawab, Papa berucap lagi “Kelse-“

Pluk

Aku melempar pasir pantai basah yang sudah berada ditanganku tadi ke arah Papa dan tepat mengenai kaos putihnya itu. Aku tertawa ketika melihat ekspresi wajah Papa. Papa bolak-balik menatap ke arah ku dan kaosnya dengan tatapan kaget. Aku tertawa lebih keras lagi ketika aku melihat Justin, Chaz dan Ryan sedang memegangi perutnya dan gelak tawa terhias di bibir mereka. 

Tawaku sempat terhenti ketika ketiga sosok laki-laki itu berjalan mendekati tempat ku dan Papa. Justin menampilkan senyum seringainya yang khas ke arahku ketika mereka sudah sampai ditempatku. 

Aneh.

Aneh bagaimana semua bisa berubah dalam jangka waktu yang singkat. Aku dan Justin sama-sama saling menghindar dua hari lalu dan sekarang? Cowok itu malah menyeringai ke arahku, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Bertingkah seperti semuanya tidak pernah terjadi. Seperti tidak ada malam dimana dia meminta maaf kepadaku dan berakhir dengan pelukan itu. Seperti tidak ada kecanggungan yang terjadi dua hari lalu. 

He’s so confusing, I swear. 

Justin mencondongkan sedikit tubuhnya, mengambil sesuatu dari bawah dan menggenggamnya di tangannya. Pasir. Justin melempar pasir basah yang ada di genggamannya itu ke arah Papa. Merasa sesuatu mengenai punggungnya, Papa membalikkan wajahnya dan menatap Justin yang sudah menampilkan senyum puas di wajanya. Papa memberi tatapan what-the-hell-are-you-doing-bro ke arah Justin yang membuat tawaku muncul lagi. Justin hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. 
Oh, how I love the way he smiles. 

What.

Papa kemudian memberi sebuah kode ke arah Justin yang membuat Justin menatapku sambil menyeringai. Yep, he’s smirking at me. Justin kembali menatap Papa dan menganggukan kepalanya, tanda setuju dengan Papa. Kemudian Justin memberi kode ke arah Ryan dan Chaz melalui matanya. Entahlah apa maksudnya, aku juga tidak tau. Sungguh. 

Kemudian Justin, Chaz dan Ryan mencondongkan tubuh mereka dan mengambil pasir pantai di genggamannya. Well, Papa juga begitu. 

Wait what?
Fuck no.

“NOW!” Papa berseru dan melemparkan pasir itu ke arahku. Diikuti dengan pasir pasir lainnya yang mengenai rambut dan pakaianku. Takut pasir-pasir basah itu mengenai mataku, buru-buru aku memejamkan mataku. Aku bisa mendengar gelak tawa milik Papa, Justin, Chaz dan Ryan yang membahana. 

That’s it. Laugh.

Aku pelan-pelan membuka mataku karena sepertinya tidak ada tanda-tanda pasir pasir itu akan mengenai tubuhku lagi. Butuh beberapa detik untuk mataku menyesuaikan gambar yang sedang ditangkapnya. Aku mengedipkan kelopak mataku beberapa kali ketika aku merasa ada sesuatu yang mengenai kepalaku.

Aku memejamkan mataku lagi ketika satu buah pasir baru saja mendarat tepat di kepalaku. Uhhh. Aku membuka kedua mataku lagi, dan melihat siapa yang baru saja melempar pasir itu. 

“JUSTIN !!” Aku berseru sambil menatap cowok didepanku itu yang masih saja tertawa. Diam-diam aku memperhatikan wajahnya. Cara dia tertawa. Hidungnya sedikit berkerut ketika dia sedang tertawa, matanya yang hampir terpejam, dan dilengkapi dengan barisan giginya yang rapi merupakan sesuatu hal yang benar-benar……indah. 

I need to make them pay this. Right now.

Aku kemudian mengambil satu genggam pasir dengan tangan kananku dan segera melemparnya ke arah cowok di depan ku itu. Tawa Justin terhenti seketika, ekspresi wajahnya juga berubah. Dia pura-pura memberi tatapan kesalnya ke arahku yang gagal karena senyum diwajahnya muncul lagi. 

Chaz, Ryan, dan Papa juga mengambil pasir di tangan mereka masing-masing dan saling melemparkan pasir-pasir itu satu sama lain. Aku dan Justin yang menyaksikan pertunjukan yang benar-benar jarang terjadi ini akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan mereka. 

“SAND FIGHT !” Chaz berucap masih sambil tertawa dan melemparkan pasir-pasir itu tidak ber arah. Tawaku, Papa, Justin dan Ryan kemudian menyusul tawa Chaz ketika Chaz mengatakan kalimat itu. Sand-fight? Lmfao Chaz, you’re nuts. 

Ini benar-benar menyenangkan, sungguh. Aku benar-benar menikmati setiap detiknya. Detik dimana kami melemparkan pasir yang basah ke arah satu sama lain, dimana suara tawa kami bercampur, dimana kami tertawa terhadap diri kami sendiri. Ini memang hal bodoh, tentu saja. Melemparkan pasir ke arah satu sama lain. Hal bodoh sekaligus menyenangkan. It’s just, I don’t know fun. 

I’m having ‘Sand Fight’ with the biggest popstar and his bestfriend, and my dad right now. Justin, as Justin Bieber cowok yang baru aku temui kurang dari satu minggu dan kedua sahabatnya yang baru aku temui beberapa hari lalu. Dan papaku yang benar-benar…….entahlah kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan papa. Papa bisa menjadi sangat gila, dan bisa menjadi sangat serius ketika dia mau. Oh, bagaimana aku mencinta Papa. Hanya Papaku yang bisa aku anggap seperti sahabat sendiri, hanya Papa yang bisa mengerti perasaanku, dan hanya Papa yang mau bermain perang pasir seperti ini. 

Kami masih terus tertawa dan melemparkan pasir-pasir itu. Aku sempat berhenti melempar pasir-pasir itu dan menyaksikan papa, Justin, Chaz, dan Ryan melemparkan pasir-pasir mereka. Aku tersenyum ketika melihat tubuh kami sudah ditutupi oleh pasir pantai. Tawaku menjadi lebih lebar lagi ketika melihat wajah kotor mereka. Kami benar-benar terlihat senang. Aku ingin sekali momen momen seperti ini diabadikan. Momen dimana kami bisa tertawa lepas, dimana kami bisa melupakan kenyataan dunia yang begitu pahit, momen dimana kami bisa berlarian seperti anak umur lima tahun, dimana kami tidak perlu memikirkan masalah-masalah yang ada. 

“Why do you stop? Leggo silly!” Ucap seseorang yang tiba-tiba berada disampingku lalu melemparkan pasir yang ada ditangannya ke arahku lalu berlari, semakin menjauh dari pandanganku. “Beaver !” Seruku sambil tersenyum lalu berusaha mengerjarnya. Dengan badan yang sudah di penuhi pasir kami berlarian dan terus melemparkan pasir-pasir itu masih dengan tawa yang menghiasi wajah, kami mencoba melupakan dunia sejenak. 

***

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang