2) Memilih Bertahan.

188K 13.9K 274
                                    

"Jodoh, Rejeki, dan Maut, hanya Allah yang menentukan. Di balik itu semua, manusia hanya bisa berencana dan Allah yang menentukan."

Lentera Humaira

Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian salah paham yang terjadi di rumah sakit, hawa itu masih ada. Rasa benci semakin subur terpupuk oleh rasa sakit yang seakan merejam hati. Perjuangan Maira belum terhenti sampai di situ, dia terus berusaha membuat Arman mencintainya. Setiap hari, setiap saat, tidak peduli rasa sakit, tidak peduli penghinaan yang dia terima secara bertubi-tubi mendominasi rasa cinta yang perlahan mulai terkikis. Satu hal yang pasti! Perempuan ini memilih bertahan.

"Mas, hari ini aku minta izin buat ngajak Zhira ke rumah Mama. Beliau bilang kangen banget sama Zhira," ucap Maira tanpa menghentikan aktifitasnya mengganti pakaian Zhira.

"Tidak perlu! Biar Mama saja yang kesini." kata yang keluar dari mulut Arman begitu dingin.

"Tapi, Mas."

"Berhentilah, membantah Maira!" seru Arman sedikit membentak.

Maira mengalah, dia mencoba acuh dengan sikap Arman yang terus berteriak dan membentaknya sesuka hati.

"Mas, aku tidak membantah. Makanya dengerin dulu aku mau ngomong Apa? Aku cuma mau nanya, bagaimana harus bersikap di depan orang tua, Mas? Kalo di depan orang tuaku kan sudah ada perjanjian dari awal jika kita harus terlihat bahagia. Nah, kalo di depan orang tua Mas, gimana? Apa kita tunjukkan saja kalo sebenarnya Mas tertekan dengan pernikahan ini." Maira sedikit membenarkan perihal pernikahan mereka, membuat sang suami membeo tanpa kata. Kenyataannya ikatan mereka di mata Arman hanya sekedar perjanjian, dan Maira hanya pengasuh.

Detik berikutnya Arman bersuara, "perjanjian itu tertulis jelas dalam kontrak bahwa hal yang sama juga berlaku pada keluargaku," ucapnya tetap fokus pada layar laptop di depannya. Mengacuhkan Maira yang asik bermain dengan Zhira. Lelaki itu tidak di kantor, di rumah, selalu saja pekerjaan yang diprioritaskan. Sebenarnya Maira tahu itu cara Arman melupakan masalalunya.

"Ya sudah kalo gitu, Mas aja yang bilang sama Mama kalo Mas gak ngizinin Maira ke sana. Aku mau menidurkan Zhira dulu. Assalamu'alaikum, Mas." Maira bergegas dari ruang kerja Arman, dia sengaja menemui Arman untuk memberitahukan hal tadi. Namun baru tiga langkah, ucapan Arman menghentikan Maira.

"Aku mau malam ini Zhira tidur di kamarku."

"Baiklah, Mas," jawab Maira singkat lalu membawa Zhira ke kamar utama, kamar yang biasa di tempati Arman dengan almarhumah istri pertamanya, kamar yang tak pernah berubah, kamar yang tak diizinkan seseorang menjamahnya, sedikitpun! Terkadang Maira bingung, apa selamanya sang suami akan hidup dengan masa kelamnya, tetap membiarkan almarhumah sang istri seolah masih ada? Foto pernikahan dan potret lain kebersamaan mereka masih terpanjang indah di kamar itu. Bukannya Maira tidak cemburu, hanya saja dia merasa tiada hak untuk itu. Jangankan memindahkan foto, kamar saja mereka terpisah.

Setelah membaringkan Nazhira di ranjang King size milik Arman Zhira kembali terbangun, begitu terus. Sudah tiga kali Maira menidurkan Baby kecilnya, saat di letakkan di kasur Zhira kembali terbangun.

Arman juga sudah kembali ke kamarnya, saat ini duduk di sofa dekat perapian dengan kaki menyilang, sejak tadi dia masih menunggu Nazhira tertidur sambil membaca beberapa surat kabar yang ada di meja. Beberapa kali ia juga mencuri pandang pada Maira. Dia sadar gadis itu begitu telaten mengurus buah hatinya, bahkan tidak sedikitpun mukanya menampakkan raut kesal ketika putrinya rewel.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang