بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Hati sebening embun, adalah hati yang mampu memaafkan tanpa syarat sebagai sekat. Senyum sehangat malaikat adalah senyum yang mampu merekah disaat kecewanya.
Lentera Humaira
Di ruangan sunyi itu tubuhnya begetar, hatinya kembali membeku atau bahkan telah mati, atmanya kian kosong. Sudah beberapa saat ia memandangi tubuh kaku yang terbaring diantara tiga brangkar yang berjejer rapi. Masing-masing terbaring jiwa tanpa nyawa, dengan wajah yang mulai memucat. Di sana, di pojok ruangan itu tangan Arman bergetar tak mampu membuka kain putih yang menutup tubuh wanitanya. Ya, Maira dinyatakan meninggal usai melahirkan pada pukul 14,55 WIB.
Perlahan namun pasti, kakinya yang gemetar tak mampu menopang beban tubuhnya hingga Arman terduduk dengan lutut yang menyentuh lantai. Tak hanya tubuhnya yang rapuh namun kakinya juga rimpuh. Tangan kokoh itu terkepal erat, menahan sesak di dada yang terus menghujam. Satu tetes air matanya yang luruh seketika di ikuti ribuan butir lainnya hingga bendungan itu pecah membentuk aliran sungai di mata elangnya. Miris, Arman yang kejam kini menangis.
"Kenapa?" tanyanya ketus entah pada siapa.
"Kenapa semua ini terjadi lagi? Kenapa Ya Allah?" Arman semakin mengepalkan tangannya.
Arman bangkit lalu membuka perlahan penutup wajah Maira. "Ya Allah." lelaki itu sempat membuang muka, tatapannya meremang sebab netranya dipenuhi genangan air mata. "Maira, sekarang kamu percaya kan? Bahwa takdir hanya ingin mempermainkanku. Kamu percaya, kan! Bahwa takdir tidak adil padaku?" wajah Arman berubah dingin, menyeramkan. "Maira, bangunlah! Kau suruh aku PERCAYA! Namun kau patahkan lagi kepercayaanku. MAIRA!! BANGUN!!" teriak Arman, dari segi manapun dia menolak Maira telah tiada.
Wajah teduhnya sudah tak lagi berbinar, semu merah muda di pipinya telah sirna, senyum hangat di bibirnya sudah musnah. Kenapa?
"Mai, bangun Sayang. Aku mohon. Bukankah kita sudah berjanji untuk membesarkan anak kita bersama? Bangun Sayang." Arman membelai lembut pipi Maira. Sedetik lembut lalu seketika dingin, lelaki itu seperti sedang dihadapkan dengan dua sisi dalam dirinya.
"Maira! Buka matamu, Maira!" sekali lagi Arman berteriak sembari mengguncang-guncang tubuh Maira yang sudah dingin. "MAIRA!!" teriaknya berulang kali lalu merengkuh tubuh pucat itu dalam peluknya.
"MAIRA!" Arman hanya bisa menangis memeluk tubuh dingin itu. "Maira!"
"MAI, BANGUN!!" teriaknya sembari terisak.
"MAIRAAAA!!"
Teriakan Arman yang menggema terhenti ketika tangan hangat nan lembut menggenggam erat tangannya. Lelaki itu membuka mata, napasnya tersenggal sesak sekali ia rasa. Peluh dingin sudah membasahi sebagian tubuhnya. Semua itu terasa nyata.
Perlahan namun pasti guncangan di dadanya berangsur normal tatkala senyum itu masih merekah manis di depannya. Arman membalas genggaman tangan kekasih halalnya lebih erat lagi.
Ya, saat ini Maira berbaring miring menghadap Sang suami. Mimpi itu kembali menyerang tidur lelap suaminya. "Mas tenang ya, aku ada di sini sama Mas." kembali Maira tersenyum hangat seperti malaikat. Lalu mengecup lembut kening Arman yang sudah berbaring miring mengikuti posisi yang sama dengannya.
Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut Arman, lelaki itu masih sibuk mengatur deru napasnya, tapi tangan Arman sudah menyusup ke bawah leher Maira, menjadikan lengannya sebagai bantal hangat untuk sang istri, kemudian mendekap kepala Maira di dada bidangnya. Lelaki itu bersyukur Maira masih berada di sampingnya. Ia bersyukur semua hanya mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...