Sesungguhnya cara tercepat melupakan masa lalu adalah dengan terus melangkah ke depan. Jangan pernah menoleh kebelakang.
~Lentera Humaira~
Delapan bulan yang lalu, ketika semuanya masih bahagia dengan kehidupan masing-masing. Ketika Maira masih bekerja sebagai guru TK seperti biasa Maira akan duduk dipost satpam untuk menunggu jemputannya datang.
"Maira," panggil seorang wanita dengan suara yang begitu lembut.
"Loh, Fanya. Ngapain kesini? Sendirian lagi! Emang suami kamu kemana? Kenapa gak minta anterin suami atau siapa?!" Maira membombardir wanita yang tengah hamil besar itu dengan pertanyaan. Yang di tanya hanya tersenyum sambil memegangi perutnya.
"Suamiku lagi kerja Maira, tapi, kenapa kamu nanyain suamiku? Hayoo ...," goda Fanya, entah kenapa wanita itu selalu berusaha mengenalkan Maira dengan suaminya.
"Iihhh... apaan sih Fan? Siapa juga yang nanyain suami kamu? Aku cuma nanya kenapa kamu kesini sendiri? Ngapain? Kalo ada apa-apa sama kamu dan bayi kamu gimana? Kenapa sih kamu gak pernah dengerin aku? Jangan pergi kemanapun sendirian, Fanya!" cerocos Maira diakhiri penekanan dipanggilannya.
Fanya tersenyum, sifat cerewet sahabatnya ini tidak pernah berubah, sedikitpun!
"Tidak usah khawatir Humairaku tersayang. By the way, gak papa kok meskipun kamu nanyain suami aku, bahkan kalo kamu mau kita bisa jadi kakak adik," ucapnya tanpa beban.
"Maksudnya?" Maira menyipitkan sebelah matanya.
"Ya ... kamu nikah sama suami aku! Dan aku bisa dapat surga, dapat adik juga, dan kita akan selalu bersama." Senyum Fanya makin merekah ketika mengucapkan kalimat itu. Mata Maira menyipit, bibirnya merengut.
"Sinting! Edan! Gak waras!" maki Maira, mendengar perkataan konyol sahabatnya itu. "Banyak jalan menuju surga. Tanpa harus merelakan suami buat wanita lain. Kamu kejedot apa sih? Aneh banget. Dimana-mana itu, setiap wanita pasti sakit hati liat suaminya sama wanita lain. Ini malah mau ngawinin suami sama sahabatnya. Aneh! Tunggu deh," ucap Maira meraba sekitar dahi, kepala dan menilik dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Ngapain?"
"Tunggu biar kuperiksa siapa tahu lagi terluka, sakit atau apa!"
Fanya tertawa lepas.
"Tuh kan, Malah ketawa. Udah ah gak usah ngomongin kawin-kawin segala."
Fanya masih tetap tertawa namun detik berikutnya tawa itu berubah menjadi kesedihan. Wajahnya seketika murung, perlahan ia mulai sesengukan. Maira yang berada di sampingnya pun khawatir.
"Fan, kok kamu nangis? Kenapa? Ada yang sakit? Apa udah waktunya keluar? Tuhkan makin aneh?!"
Di tengah tangisnya Fanya malah tertawa mendengar rentetan pertanyaan dari Maira. Gadis itu tiada henti mengoceh, sungguh! Lucu sekali di mata Fanya, gadis ini benar-benar tulus, hatinya sebening embun. Padahal baru beberapa tahun dia mengenal Maira, dia dulu satu universitas, satu jurusan juga dengan Fanya.
Maira, bagaimana caranya mengatakan padamu jika aku dan kandunganku bermasalah. Bagaimana? Jika semua yang ku dengar tadi dirumah sakit benar-benar terjadi, bagaimana dengan putriku? Apa kamu mau menjadi ibu pengganti untuknya? Fanya masih berkutat dengan batinnya.
"Fan, malah bengong. Sepertinya kamu lagi kurang enak badan. Pulang gih, ntar suami kamu marah tahu istri tercinta gak ada dirumah."
"Gak mau! Aku mau nemenin sampe Pak Dokter jemputan kamu dateng."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...