8) Cahaya Temaram

146K 12K 232
                                    

Aku bertahan. Karena pada dasarnya bertahan adalah suatu keharusan dalam berjuang. Meskipun pada kenyataannya, hanya akulah yang mempertahankan.

_Humaira_

Saat kata tak mampu menerjemah rasa, dengan apa harus tersalur perasaan yang menguasai relung jiwa? Saat lisan tak mampu menyampaikan, apakah perlakuan dapat menafsirkan? Karena terkadang, ada beberapa hati yang tak peka akan rasa.

Dalam keterdiaman yang tak seharusnya, hati Maira menerka, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara pada Arman. Meski ia tahu bahwasanya sudah terlalu banyak penolakan Arman yang tak langsung di utarakan dengan lisan. Namun apa benar, jika keadaan tak kan bisa membalikkan hatinya? Harus berapa lama lagi ia harus berlomba dengan waktu demi mencipta rasa yang tak bertahta.

Akan tetapi inilah Maira. Gadis bodoh yang menyia-nyiakan pria yang begitu mencintainya demi anak sekecil Zhira yang bahkan tak mengerti jika ia bukan ibunya.


Apa harus? Demi sahabat rela mengorbankan kebahagian sendiri? Mungkin orang akan berpikir seperti itu, tapi bagi Maira semua itu rahasia takdir-Nya.

Ya Allah, semoga hamba mampu bertahan tanpa harapan, gumam hati Maira.

Hari ini perempuan itu benar-benar ingin tahu jika ia diam, seorang Arman akan tetap cuek atau akan merasa tidak nyaman? Untuk itu, hari ini Mai akan mencoba untuk diam meski keinginannya berceloteh begitu kuatnya. Saat inipun meja makan terasa sunyi. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu menguasai kesunyian. Keduanya sama-sama diam.

"Siang nanti, tidak usah membawa makanan ke kantor. Aku ada rapat direksi. Jadi, tidak usah membawa makan siang. Mungkin, aku akan makan siang bersama mereka." Arman membuka suara. Ya! Armanlah yang memulai percakan memecah kesunyian itu.

Sebenarnya Maira sedikit terperangah, namun ia kembali menunduk, lalu mengangguk perlahan. Jika di lain hari mungkin ia akan menolak mati-matian agar Arman tetap makan makanannya. Tapi, kali ini ia ingin menjadi maira yang manis dan penurut, tidak banyak bicara. Mungkin dengan begini, Arman bisa menyukainya. Menurut Maira.

Arman mengangkat wajah, ekor matanya melirik kearah Maira yang diam tidak seperti biasa. Memang benar dia tidak suka gadis cerewet. Hanya saja, kali ini ia merasa Pengasuh anaknya ini terlalu aneh, atau apakah dia sudah mulai terbiasa dengan tingkah agresifnya? Cerewetnya? Sampai-sampai diamnya Maira begitu aneh.

"Nya, Non Zhira sudah bangun. Sekarang lagi sama Bibik," ucap Yesi memberita tahu Maira.

"Iya, Mbak. Sebentar lagi Mai ke sana, tolong buatin susunya ya Mbak," pinta Maira sembari tersenyum.

"Baik, Nya."

"Kalau begitu saya berangkat." Arman yang ketus dan angkuh seperti biasa akan bangkit lalu berangkat begitu saja.

"Tunggu, Mas," panggil Maira.

Arman menghentikan langkahnya, senyum miring tiba-tiba tersungging di bibirnya. Dia begitu yakin Maira si cerewet ini tidak akan lama berdiam diri tanpa bicara. "Ada apa?" sarkasnya.

Maira meraih tangan Arman lalu menciumnya. "Mas, hari ini May mau minta izin buat ngadirin acara istighosah di panti asuhan. Biasanya sih sebulan sekali, cuma semenjak nikah, Mai tidak datang sama sekali. Aku bol--"

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang