Jika alasannya adalah cinta, maka kau akan merasakan yang namanya kecewa. Tapi, jika alasannya adalah Allah, maka akan selalu ada Cinta.
_Lentera Humaira_
Arman, Maya, dan Nadia sudah menunggu di ruangan tempat Maira di rawat. Hingga beberapa menit kemudian kesadaran Maira mulai kembali, perlahan kedua matanya terbuka. Sekali lagi air mata menetes dipipinya. Entah kenapa setiap kali melihat itu hati Arman bergetar. Perasaan apa itu? Ia seolah merasakan kesakitan yang sama. Padahal Arman yakin Zhira baik-baik saja bersama sang nenek.Maya mengusap lembut pipi Maira sembari tersenyum ia berkata, "jangan nangis sayang, Zhira pasti pulang kok. Kamu tenang ya, sayang."
Maya dilema antara senang dan marah. Senang karena ia tidak salah memilih menantu. Marah kenapa menyetujui rencara Vania jika akhirnya bukan dekat dengan Arman, Maira justru sakit. Maya sempat terkejut mendengar pernyataan Vania jikalau status anaknya hanya di atas kertas. Jika saja Vania tidak menunjukkan materai yang berisikan surat perjanjian antara Maira dan Arman. Mungkin Maya tidak akan percaya. Sayangnya bukti itu nyata dan benar adanya. Minggu lalu ketika Vania tinggal di rumah Arman, dia Diam-diam mencuri surat kontrak itu tanpa sepengetahuan Arman lalu mengembalikannya seperti semula sebelum Arman pulang. Anaknya terlalu bodoh memakai tanggal lahir Almarhumah Fanya sebagai kunci berangkasnya. Itulah mengapa Vania dengan mudah mendapatkan surat itu.
"Mas Arman janji akan membawa Zhira pulang. Dimana Zhira, Ma?" Ucap Maira terbata lemah.
"Iya sebentar lagi Zhira pulang. Kamu istirahat ya biar cepat sembuh," hibur Maya.
Arman keluar dari ruangan itu berharap sesak di dadanya dapat terurai, ingin sekali ia merutuki hatinya yang tidak mampu menerima perempuan sebaik itu. Tidak mampu bersahabat dengan masalalunya. Arman mengusap wajahnya, menijat pelipisnya yang seakan pening.
"Berhentilah menetap di masalalu, Kamu perlu melangkah ke depan untuk memulai semua dari awal."
Maya mengusap kepala anaknya.Arman duduk di kursi besi hitam yang berjejer panjang di koridor. Otaknya mencerna apa yang Mamanya katakan. Dan semua itu benar. Selama ini, ia membiarkan dirinya terkurung dalam sangkar masalalu yang kelam.
"Dia cuma manusia biasa yang memiliki titik jenuh. Akan ada saat dimana ia akan berhenti dan menyerah."
Arman mulai mengerti arah perbincangan mereka. Apa mungkin ibunya tahu? Bagaimana mungkin? Tidak! Ia harus memastikan maksud sang Mama. "Apa Mama tahu sesuatu?" Tanya Arman tajam.
Maya tercekat, anaknya ini tidak boleh tahu yang sebenarnya. Sebisa mungkin Maya mengembalikan ekspresi wajahnya yang terkejut agar tak terlihat gugup.
"Tahu sesuatu? Apa?" Bukan menjawab Maya kembali bertanya.
"Tidak! Bukan apa-apa."
Mungkin itu hanya perasaan Arman, Mamanya tidak mungkin bisa tahu. Tapi, hatinya tidak akan bisa tenang jika belum memastikan sesuatu.
"Ma, Arman pulang sebentar. Vania sudah menghubungiku, sebentar lagi dia akan membawa Zhira ke mari. To-tolong jaga Maira sebentar."
"Dengan senang hati, Nak. Oh iya, bilang sama Bik inah bawakan makanan rumah yang paling enak kesukaan Maira."
Arman tidak menjawab, lelaki itu hanya mengangguk. Lalu beranjak pergi ke tempat parkir.
Tidak butuh waktu lama Arman untuk bisa sampai di rumah. Dalam waktu sekejap ia sudah berada di kamarnya. Membuka brankas secepat kilat, mengacak acak map yang berisi berkas penting. Kemudian bernapas lega melihat surat bermaterai itu masih aman. Sejauh ini, tidak ada yang tahu tentang berkas itu kecuali dirinya, Maira dan Vania yang tanpa sengaja melihat semuanya. Setelah memastikan semua aman. Arman pergi ke dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...