~Happy Reading~
Tiada keterpaksaan jika semua hal sudah kita niatkan karena Allah. Tidak akan ada penyesalan jika segala sesuatu sudah diniatkan karena Allah.
Lentera Humaira
Baru saja Lira ingin melangkah ke dapur, namun suara deru mobil membelokkan langkahnya untuk tahu siapa yang datang.
Cukup lama Lira berdiri di teras menunggu siapa yang akan turun dari mobil hitam itu, hingga akhirnya seorang gadis yang sudah ia kenal keluar terlebih dulu, disusul seorang ikhwan berpeci putih dengan koko berwarna abu-abu muda. Siapa lagi jika buka Gus Ilham, Ning Adzkia serta satu pemuda yang tidak Lira kenal, menghampirinya.
"Assalamu'alaikum, Tante." salam Adzkia riang.
"Wa'alaikumussalam, Eh Ning Kia. Saya kira siapa yang dateng. Mari silahkan masuk, Ning, Gus, Dan …?" Lira menunggu jawaban lelaki yang masih asing itu.
"Saya Irham adik pertama Gus ilham, salam kenal, Tante." lelaki itu menyalami tangan Lira.
"Adik?"
"Iya, Tante. Aku sama A' Ilham baru saja menjemputnya di Bandara. Sudah lima tahun A' Irham kuliah di Al Azhar," sambung Adzkia.
Lira ber-ohria sembari mengangguk paham. Setelah memastikan Mereka duduk, wanita itu melangkah masuk untuk memanggil Maira.
"Mai," panggil Lira sambil mengetuk pintu kamar anak perempuannya, pelan. Belum Maira membuka pintu, Lira sudah terlebih dulu membuka pintu, kemudian masuk. Hatinya sempat terenyuh ketika mendapati sang anak melamun dengan cucuran air mata mengalir di pipi yang terpantul jelas di cermin. Tatapannya kosong tertuju pada benda mati di permukaan meja rias.
Tanpa diperintah, kaki setengah renta itu terayun mendekati putrinya, menepuk pelan pundaknya.
Maira tersentak, dengan cepat menghapus air matanya. "Bunda? Ada apa?"
"Kenapa kamu nangis?"
Pertanyaan itu membuat Maira mengusap wajahnya kemudian tersenyum. "Tidak, Bunda. Mai cuma kelilipan."
"Apa yang masih kamu resahkan?"
Maira menggeleng, "tidak ada."
"Seseorang bisa membohongi dunia dengan topeng apapun. Tapi, seorang anak tidak akan bisa membohongi ibu yang sudah mengandungnya sembilan bulan."
Lira mendekap Maira dalam dadanya. "Tidak perlu khawatirkan apapun, kuasa Allah di atas segalanya. Allah selalu tahu yang terbaik untuk hambanya. Allah … lebih dekat dari urat nadi. Kamu percaya itu, bukan?"
"Tentu, Bun."
Sang Bunda tersenyum menangkup kedua pipi Maira kemudian mengecup keningnya lembut. "Astaghfirullah," ucapnya seakan mengingat sesuatu.
"Kenapa, Bun?"
"Bunda ke sini mau ngasi tahu kalo di luar ada Gus ilham dan adik-diknya."
"Gus Ilham?"
"Iya." jawabnya. "Temuin dulu gih, Bunda mau buat minum dulu."
Baru tiga tapak sang Bunda melangkah Maira kembali berkata. "Bunda, mengenai lamaran Gus ilham sama Chandra …."
Maira memejamkan mata sebelum kembali berucap, "insyaaAllah, dengan mengharap ridho Allah, Mai siap menerima lamaran Gus Ilham."
Berat.
Berat sekali rasanya membuat keputusan dengan kemauannya sendiri, karena jawaban dari istikharahnya belum Allah pastikan, mimpinya masih samar. Tapi, keadaan sudah memaksanya untuk memilih. Jika tidak Arman akan terus kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...