11] Mulai Khawatir

147K 11.3K 93
                                    

Sebelum baca silahkan play 👆video di atas biar lebih tambah baper.😂

___________________________

"Aku! Aku yang seringkali di patahkan.
Aku yang seringkali di acuhkan. Serikali pula ku coba bertahan, meski aku tahu, semua yang aku lakukan akan tampak salah di matamu.
Terlalu banyak aksara indah mampu tercipta ketika melihat senyummu. Namun ribuan bait kata seolah usang tak bermakna. Kau menjadikannya semu tak berarti. Kau ingin aku bagaimana? Ketika aku terlalu dekat kamu risih. Lalu, ketika aku menjauh kau semakin cepat melangkah, meninggalkanku tanpa mau tahu. Seharusnya aku sadar dari awal, kau ingin aku pergi tanpa harus kamu repot untuk menghindar. Namun aku berpura tak menyadarinya, dengan harap, suatu saat dapat terbalas meski lambat. Pernah! Mencoba untuk menyerah. Sayangnya. Berulangkali aku kalah, kalah pada perasaan yang tak seharusnya ada. Kalah pada perasaan yang salah."

Maira masih saja melamun di depan meja riasnya, memikirkan banyak hal yang membuat hatinya terasa sesak. Pandangan kosong itu entah tertuju kemana. Sekian detik pertanyaan dalam kepalanya semakin berkecamuk. Sesakit itukah mencintai Arman? Sampai kapan? Apakah suatu saat dapat terbalas? Semua itu belum juga Maira dapatkan jawabannya.

Sudah tiga hari semenjak kedatangan Vania di rumah ini Maira jadi sedikit senggang, sebab Kakak dari almarhumah sahabatnya itu benar-benar mengambil alih Zhira. Kecuali kalau anak kecil itu sangat rewel barulah Maira bisa berlama-lama dengan putrinya. Arman juga sedang tidak di rumah, sudah dua hari sang suami ke luarkota mengurus bisnisnya.

"Non," panggil seseorang, namun Maira tetap tak bergeming.

"Non." Sekali lagi panggilan itu menggema. Orang yang tak lain adalah Bik inah itu berinisiatif untuk menepuk pundak Maira. "Non Maira!" Seru bik inah sedikit keras.

Maira terkejut dengan tiba-tiba lamunannya buyar entah kemana? "Astaghfirullah ada apa, Bik?"

"Itu, Non." Bik inah terlihat ragu menyampaikan sesuatu.

"Kenapa?

Bik ina menghela napas panjang sebelum mengatakannya. "Non Vania sudah membawa Non zhira dari rumah ini," ungkapnya.

"Apa? Kok bisa, Bik?" Maira bangkit dari posisi duduknya di depan meja rias. "Memangnya Mas Arman mengizinkannya?"

"Bibik juga tidak tahu, Tuan kan masih diluar kota, Non."

"Tidak! Zhira tidak boleh pergi dari rumah ini." Maira langsung bergegas lari dari kamarnya, berlari ke kamar Zhira. Namun bik inah benar, Nazhira sudah tak lagi berada di kamarnya. Dengan cepat Maira menuruni tangga menuju ke luar. Tapi, sayang! Mobil Vania sudah menghilang dari parkiran rumahnya. Itu artinya Vania benar-benar membawa Nazhira. "Mang! Mang Ujang!" Teriak Maira.

"Iya, Nya?"

"Di mana Kak Vania?" Tanya Maira khawatir.

"Non Vania pergi keluar sama Nona kecil, memang kenapa, Nya?"

"Ya udah, kalo gitu Mang Ujang bisa anterin saya cari mereka?" Pinta Maira dengan wajah cemas. Saat ini dia benar-benar takut Vania akan memisahkannya dengan Zhira. Jujur Nazhira sudah begitu melekat dalam hatinya, sudah seperti belahan jiwanya. Jika anak itu tidak ada di rumah ini untuk apa keberadaannya.

"Maaf, Nya. Saya harus ke luar kota menjemput Tuan Arman di kantor cabang. Non tahu sendiri kan kalo Tuan Marah bisa-bisa saya di pecat," ucapnya sungkan.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang