23) Menyerah

153K 12.5K 413
                                    

"Cinta sejati adalah cinta yang dengan melihatnya saja iman kita bertambah kuat."

Lentera Humaira

       Pukul 02:04 WIB saat semua hamba terlelap dalam buaian mimpi, gadis itu masih terduduk di sana. Di atas sejadah dengan harapan yang telah patah, bersama remuk redamnya sang hati. Bibirnya tiada henti bermunajat, kristal bening itupun membentuk muara yang siap pecah membentuk aliran sungai, air mata tiada henti mengalir. Segala resah, gundah, dan lara ia adukan pada sang Pemilik Kehidupan melalui doa di keheningan malam.

       "Ya Robb ... jika memang ini sebaik-baik jalan yang Engkau tujukan untuk hamba, maka hamba ikhlas menerimanya. Tapi hamba mohon, tolong sampaikan permintaan maaf hamba pada Fanya. Sampaikan jika hamba tidak mampu menjaga amanahnya," ucapnya dengan nada bergetar disela tangis yang begitu pilu.

Lagi. Arman kembali mematahkan senyumnya. Mungkin, kali ini adalah batas takdir menyatukan mereka. Setelah ini tidak ada lagi yang namanya tangis kesedihan, entah ke mana, dan seperti apa Maira setelah keluar dari sini biarlah Allah yang menentukan arah langkahnya. Bukan Maira yang menyerah, tapi Arman yang memaksanya. Itu janji, janji dia tidak akan pernah pergi kecuali Arman sendiri yang memintanya.

Sehabis mengemas pakaian dan beberapa barang miliknya. Maira bergegas ke dapur, ini terakhir kalinya ia memasak untuk Arman, suaminya. Untuk kali ini Maira melarang ketiga pelayan itu membantu.

Lastri, Yesi dan Inah hanya memperhatikan Maira dari sudut dapur dengan air mata yang tiada henti menetes. "Jadi, Nyonya beneran mau pergi?" tanya Yesi seraya memeluk Lastri yang sudah sesenggukan.

Dengan susah payah Maira menarik sedikit sudut bibirnya, "iya, Mbak," jawabnya sembari menyajikan makanan di atas piring.

"Bagaimana dengan Zhira?" tanya Bi Inah.

Maira menelan ludah yang terasa mencekik tenggorokannya. Berat! Ya, berat sekali meninggalkan Zhira yang sudah seperti putri kandungnya sendiri. Jika bisa ia ingin sekali membawa Zhira pergi bersamanya. Tapi, apa haknya melakukan itu?

"Saya mohon ... setelah saya pergi, tolong jaga Zhira untukku." Perempuan yang biasanya selalu ceria dengan semu merah muda dipipinya kini seperti redup ibarat Lentera yang kehabisan sumbunya. "Lastri tolong bantu bawakan makanan ini ke meja makan ya, saya akan mengantar kopi ini dulu ke kamar Mas Arman," pinta Maira untuk terakhir kali.

Lastri menghapus air matanya, lalu mengangguk meskipun dalam kondisi masih sesenggukan.

"Terima kasih," ucapnya kemudian melangkah menuju kamar Arman. Sesampainya di sana, awalnya ragu, sampai akhirnya ia beranikan diri untuk menarik perlahan knop pintu, persis seperti dugaannya, Arman masih lelap dalam tidurnya. Tanpa basa-basi Maira meletakkan secangkir kopi itu di sana, ujung matanya menangkap sosok wajah yang selama ini ia harapkan, namun selalu mematahkan. Seulas senyum timbul dari bibir mungil perempuan itu. Arman terlihat polos dalam tidurnya, wajah yang tampan, hidung yang mancung, mata tajamnya kini tengah tertutup. Mungkin Maira akan sangat merindukan semua itu. Namun kenyataan kembali menariknya dari angan kilat yang sempat terbesit dalam benaknya. Lalu bergegas, hendak pergi sebelum Arman benar-benar terbangun.

"Mas, aku pergi. Maaf jika selama ini membuatmu marah, membuatmu kesal. Semoga setelah ini kamu bahagia dengan pilihanmu, Mas." Maira mengangkat wajah, menatap foto Fanya di dinding atas tempat tidur suaminya. "Fanya, maaf. Aku menyerah," ucapnya pelan, sangat pelan. Kemudian benar-benar pergi bersama tangis pilu. Bersama seonggok luka yang masih membekas dalam hatinya, juga bersama cinta yang masih melekat dalam hatinya. Cinta yang tumbuh sejak lama, jauh sebelum pernikahan terjadi, perasaan yang diam-diam Maira pendam.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang