49. Egois.

129K 9.7K 526
                                    

Biarkan masa lalu tertata rapi di sudut terdalam hatimu. Jadikan semua kepahitan itu sebagai muhasabah untuk memperbaiki diri. Beranjaklah, raih bahagia yang Allah siapkan di masa depan.

Lentera Humaira

Tiga bulan berlalu seperti danau yang mengalir tenang mengikuti arus sungai. Selama percakapan tentang buah hati tidak terlontar, selama itu pula badai tidak pernah datang. Dan lagi, Maira sudah bosan mengungkit hal yang pada akhirnya membuat Arman marah besar. Jujur, Maira teramat menginginkan keturunan. Namun yang terjadi, sang suami justru menuding dirinya ingin menggeser posisi Nazhira. Astaghfirullah, tidak bisakah suaminya itu berpikir realistis? Zhira saja menginginkan adik. Maira harus bagaimana menyembuhkan trauma suaminya yang satu itu?

"Pagi, sayang." Arman yang baru keluar dari ruang ganti langsung meraih tengkuk Maira lalu mengecup hangat kening istrinya. "Tumben pagi-pagi gini masih di kamar? Biasanya sudah nemenin Bi inah?"

Maira tidak menjawab, dia masih sibuk merapikan kerah dan memasang dasi suaminya.

Arman mencoba menyelami mimik wajah sang istri yang terlihat lesu. Wanitanya itu tidak banyak bicara seperti biasanya, kenapa?

Maira terperanjat kaget, matanya membulat sempurna ketika tiba-tiba sang suami menangkup kedua pipinya.

"Kok diem?" tanya Arman lagi.

"Gak papa, Mas. Cuma habis sholat subuh tadi aku lemes banget," jawab Maira jujur.

"Ya sudah hari ini gak boleh kemana-mana istirahat di rumah ya," perintah Arman sambil membelay lembut kepala Maira.

Wanita itu menggeleng. "Tidak perlu khawatir, mungkin cuma masuk angin biasa. Lagian, aku udah janji mau nganterin Zhira liat sekolahnya."

"Batalin, biar Mas yang ngomong sama dia."

"Gak usah, Mas. Aku gak papa kok," tolak Maira.

"Baiklah, aku izinin asal jangan lama-lama. Paham?"

Kelembutan Arman membuat Maira menarik kedua sudut bibinya sembari mengangguk. Lalu keduanya berjalan ke ruang makan, usai sarapan barulah Arman berangkat. Begitupun Maira, wanita itu kini membantu Zhira bersiap-siap untuk mendaftar di sekolah pertamanya.

***

Bagaikan bunga, senyum Zhira sudah mekar ketika sampai di gerbang sekolah barunya, mata bulat nan indah itu kini berbinar menerawang melalui jendela mobil. Hingga pada satu titik pandangannya seolah terkunci pada suatu objek, bahkan saat mobil itu kini melaju memasuki area parkir pandangannya masih tertuju pada sesuatu di belakang sana.

"Zhira lihat apa?" tanya Maira ketika mobilnya sudah terparkir sempurna.

Anak itu keluar terlebih dahulu, kemudian di susul Maira. "Kakak yang di sana menangis, Bunda." Zhira menunjuk seorang anak laki-laki di tama, duduk sambil menenggelamkan wajah diantara kedua lututnya. "Kita samperin ya, Bunda."

Maira mengangguk sembari tersenyum lembut. Mengikuti Zhira yang sudah lebih dulu menghampirinya.

"Kakak, Kakak kenapa?" Zhira langsung berjongkok di sampingnya.

Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya menatap Zhira sesaat sambil sesenggukan. "Jangan dekati aku! Pergi!" tolaknya kasar, kemudian mendorong tubuh Zhira.

Sebelum pantatnya menyentuh tanah, untunglah seorang wanita menahan punggung Zhira. "Alvin!" bentak wanita itu pada Si anak. "Maaf ya, Kak Alvin tidak bermaksud buat dorong kamu. Saat ini dia sedang sedih."

Zhira mengangguk sambil tersenyum mendengar penjelasan wanita itu.

"Maaf ya, Mbak. Ponakan saya memang sedang terkena musibah besar. Ibunya baru saja meninggal, saya harap Mbak mengerti," ucapnya pada Maira.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang