37) Senyum Yang Patah.

120K 8.8K 149
                                    

~Happy Reading~

Ketika hati tak mampu menangkal pasang surut derita yang tak berkesudahan. Maka Rasa syukur adalah penawar untuk mencairkan kebekuan.

Lentera Humaira

Saat ini kenyataan membawanya berada di tempat ini, di pinggir jembatan sungai yang membentang menghubung dua sisi jalan yang terputus aliran sungai. Di mana airnya tengah bergemuruh deras sebab hujan baru saja reda.

Tatapannya menerawang kosong pada deras arus sungai yang mengalir tanpa jeda, persis seperti hidupnya. Derita yang tiada henti mendera, juga pasang derita yang enggan surut. Haruskah ia menyerah? Jika air itu saja mampu menerobos segala sesuatu yang menghadangnya, kenapa dia tidak?

Arman Menendang beton pagar jembatan lalu membalik tubuhnya tidak lagi menghadap ke sisi sungai. Enam hari sudah ia meninggalkan putrinya bersama Maira.

Kenapa? Kenapa harus jatuh cinta lagi? Kenapa di saat semua telah berakhir?

Tiba-tiba otaknya menengingat sesuatu. Ya, seminggu ini Dava menyuruhnya mendatangi seseorang. Arman merogoh kunci mobilnya, melesat masuk kemudian melajukan mobilnya ke tempat itu.

Sepuluh menit kemudian ia telah sampai di sana. Sebuah masjid yang tidak terlalu besar, namun begitu bersih dan asri. Pada kenyataannya Arman tidak memiliki pertemuan apapun ke luar kota. Itu hanya alibinya agar Zhira bisa dekat dengan Maira, dan lagi kenyataan tentang pernikahan perempuan itu membuat Arman tidak konsen terhadap pekerjannya hingga menimpakan semua urusan kantor pada Dava.

"Assalamu'alaikum, permisi Ustadz." Arman menyapa seseorang yang tengah sibuk memotong rumput di halaman masjid.

"Wa'alaikumussalam, eh, Nak Arman kok balik lagi?" lelaki yang sering di panggil Ustadz Khotib itu menghentikan aktifitasnya kemudian berjalan ke teras masjid di ikuti oleh Arman.

"Sebenarnya saya belum sampai ke rumah, Ustadz."

"Tidak pulang? Kenapa atuh?"

Keduanya kini tengah duduk di teras. "Saya merasa gelisah Ustadz, rumah saya terasa seperti menyimpan banyak kenangan yang membuat hati tidak tenang." tatapan Arman berselancar kosong pada jalan raya.

Lelaki berpeci putih itu menyunggingkan seulas senyum. "Itu karena kamu berharap pada selain-Nya."

Arman menoleh sekilas. "Saya sedang berusaha mengikhlaskannya Ustadz."

"Saya tahu apa yang Nak Arman rasakan. Tapi cobalah berharap sepenuhnya pada Allah. Segencar apapun kamu mengejarnya, jika memang bukan takdirmu maka tidak lain hanya kepahitan yang akan Nak Arman dapat. Setiap tulang rusuk tidak pernah tertukar dari pemiliknya. Bisa saja di awal kita bersama orang lain, menikah, punya anak, namun pada akhirnya berpisah. Itulah hidup, Allah ingin kesakitan di masa lalu menjadikannya pembelajaran untuk lebih baik di masa depan.

"Ketika hati tak mampu menangkal pasang surut derita yang tak berkesudahan. Maka rasa syukur adalah penawar untuk mencairkan kebekuan." Ustadz Khotib kembali tersenyum, auranya begitu menenangkan. Seolah ia tidak mengenal yang namanya amarah.

Mungkin inilah bedanya orang yang senantiasa bersyukur dengan yang kufur, bahkan egopun takkan mampu mempengaruhinya. Arman jadi berpikir, sudah sejauh ini ia lupa dengan Sang Pencipta. 

Ustadz Khotib menepuk pelan pundak Arman lalu berkata, "Allah selalu membersamai orang-orang yang senantiasa bertafakur pada-Nya. Kembalilah, Nak. Biarkan Allah menunjukkan jalannya untukmu."

Hati Arman berdesir hebat, dia malu, malu pada Allah karena telah merasa berkuasa padahal tidak ada artinya apa-apa dibanding dengan kebesaran-Nya. Allah maha Agung, Allah pemilik semesta. Tidak ada sedikitpun di diri manusia untuk disombongkan.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang