28) Pertemuan.

143K 10.8K 194
                                    

_Selamat Membaca_

Suasana yang mengharukan tengah menyelimuti ruang keluarga dengan nuansa putih, perempuan yang tengah menangis di hadapan kedua orang tuanya itu adalah Maira. Dengan di antar Ilham dan Adzkia akhirnya ia bisa melepas kerinduan pada mereka yang selama ini telah ia kecewakan. Dan ini kali kedua perempuan berstatus janda itu menyambangi rumahnya. Setelah sebelumnya tidak bertemu lantaran--Toni dan Lyra--kedua orang tuanya tidak di rumah.

"Ayah, Bunda, maafin Maira. Selama ini Mai selalu membuat kalian resah," ucapnya dengan derai air mata yang terus mengucur membasahi kain yang menempel menutupi sebagian wajahnya.

"Ayah sama Bunda mengerti apa yang terjadi sama kamu itu berat. Tapi, sesulit apapun itu kami tetap orang tuamu, Nak. Kami tetap akan menerima apapun keputusan kamu," ucap lelaki berkumis itu menggenggam erat tangan putrinya.

"Ayah benar, Mai. Seharusnya kamu tidak perlu menutupi semuanya. Seharusnya kamu pulang. Dan tidak tinggal di rumah orang. Itu tidak akan baik untuk nama baik Ayah." Lelaki berwajah tegas yang duduk di sofa tunggal samping Ayah Bundanya itu adalah Ahlan kakak kandung Maira. Tengah menatap ragu pada Ilham.

"Iya Bang, maaf. Maira salah." Maira menunduk dengan posisi masih bersujud di depan orang tuanya.

Karena tidak tega melihat Maira di pojokkan, Ilham ikut bersuara." Afwan, Akhy. Sebenarnya Maira tidak serta merta tinggal di rumah kami tanpa melakukan apapun. Dia bekerja sebagai guru di pesantren, insyaAllah nama baik Maira dan keluarga tetap aman. Karena di mata tetangga sekitar, Maira adalah saudara kami yang berprofesi sebagai pengajar," tutur Ilham hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Kakak Maira.

"Tapi, tetap saja. Seorang perempuan tidak baik tinggal di tempat orang asing."

Ilham mendesah pelan kekhawatiran kakak lelaki Maira ini sangat besar. "Untuk itu saya Ilham Malik Hanafi putra sulung Kyai Hafidz Hanafi ingin menyampaikan iktikat baik saya untuk mengkhitbah  putri bungsu keluarga ini," lontarnya tanpa ragu.

Sontak semua mata tertuju pada Ilham yang tetap tenang dengan ekspresi berkharismanya, kecuali Adzkia yang memang sudah tahu watak Kakak pertamanya ini.

Maira, perempuan itu tercengang dengan tekat Ilham yang serius ingin memperistrinya. Padahal jika boleh jujur, Maira merasa sangat tidak pantas dengan lelaki sebaik ini.

Mengapa laki-laki setampan dan semapan ilham bersikeras mempersunting perempuan yang jelas sudah pernah menikah? Pemikiran itu bersarang di otak Ahlan membuat pertanyaan kembali tercetus.

"Atas alasan apa kamu ingin seorang janda menjadi istri?" Ahlan menatap intens penuh selidik.

"Agamanya, akhlanya, tutur katanya, dan caranya menghormati orang tua saya," ucapnya dengan tegas tanpa ragu.

Semua orang Akhirnya membisu.

"Itupun jika Maira berkehendak menerimanya, saya beserta keluarga akan melakukan lamaran secepatnya."

Bukan menjawab, kedua orang tua Maira justru saling melirik satu sama lain, mungkin ada sesuatu yang mereka ragukan atas pernyataan tidak di masuk akal untuk mereka yang hanya keluarga sederhana. Dan lagi, sudah cukup mereka menerima lelaki yang dikira dapat mensejahterakan hidup sang anak justru menjerumuskan pada lubang derita.

Sang ibu menarik pelan tangan Maira, membawanya agar duduk di tengah mereka. "Maira, sebelumnya Ayah sama Bunda sudah salah memilih pasangan untukmu. Untuk kali ini, keputusan di tangan kamu, apapun yang kamu pilih, kamu tetap Humaira putri Bunda yang selalu kami sayang." Dengan senyum haru merekah indah ibu jari wanita itu mengusap air mata di pipi putrinya, sedang tangan yang satu lagi menggenggam erat tangan Maira, menyalurkan energi positif melalui sentuhan hangatnya.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang