27) Pertanda Buruk.

148K 10.3K 278
                                    

Terkadang, sesuatu yang teramat ingin kita lupakan. Justru hal itulah yang kian melaju menguasai pikiran, tanpa jeda.

Lentera Humaira

Semilir angin sepertiga malam serasa menusuk tatkala tetes demi tetes air wudhu' menyentuh kulit. Rasa gundah yang merayap menguasai pikirin perlahan mulai luruh, semuanya melebur bersama jatuhnya air. Derikan jangkrik mulai bersahutan, bernyanyi indah, terdengar jelas dari luar sana.

Awalnya Maira selalu memaksakan dirinya agar terbangun di penghujung malam, kini seolah menjadi rutinitas yang tidak bisa ia tinggalkan.

Pukul 02;30 dini hari. Seusai shalat istikharahnya Maira membuka mukenah, melipat, dan meletakkannya kembali kedalam laci. Entah kenapa kali ini ia benar-benar ngantuk gara-gara semalam tidak bisa tidur memikirkan lamaran yang datang padanya.

Maira merebahkan tubuhnya di kasur, irisnya tak lantas menutup kala do'a sebelum tidurnya usai di panjatkan. Kepelikan dalam hidup membuat Maira terkadang merasa lelah. Lelap mungkin salah satu jalan untuk menenangkan pikiran.

●●●

Pagi di bulan Februari berubah-ubah, kadang mendung, kadang cerah, terkadang berembun. Seperti pagi ini langit terasa gelap, awan mendung menghalangi bias cahaya mentari.

"Assalamu'alaikum ... Mbak Mai, sampean di panggil Umi, di dapur," kata santriwati yang bertugas piket membersihkan Dalem. (Rumah Kiyai)

Aktifitas Maira yang sejak tadi memangku laptop mengisi data ulangan para santri terjeda.

"Wa'alaikumussalam, baiklah. Syukron."

"Afwan, Mbak."

Maira menutup laptop kemudian meletakkannya di meja bergegas meninggalkan ruang tamu, menghampiri Umi Zulfa di dapur.

"Assalamu'alaikum, Umi."

"Wa'alaikumussalam, Maira tolong bantu antarkan makanan ini ke tempat pembangunan ya, para pengurus sedang sibuk mengajar kayaknya,"

"Baik, Umi."

Maira dan beberapa santriwan santriwati bergegas membawa rantang dan termos berisi makanan itu ke tempat pembangunan sekolah yang baru. Di sana ada beberapa mandor dan kuli yang sibuk bekerja.

"Eh, Neng Maira. Udah dateng aja," sapa salah satu mandor yang sejak tadi menjaga para pekerja.

"Iya, Pak Mandor. Makanannya sudah mateng, jadi saya antarkan kesini."

"Makasih, Neng."

"Afwan, Pak." Maira meletakkan makanan di pondok kecil yg di buat untuk istirahat.

Baru saja Maira ingin berbalik untuk pergi, namun dari jauh sana sebuah buldoser atau traktor memasuki area pembangunan disusul dua mobil jip dan satu mobil sport ikut memasuki lahan luas yang baru dibangun. Dari mobil jip tersebut keluar beberapa pria bertubuh kekar seperti algojo.

Seketika para pekerja menghentikan aktifitasnya, lalu berkumpul menghampiri orang-orang asing itu.

"Maaf, ada yang bisa di bantu?" tanya sang Mandor.

"Kami akan menggusur bangunan itu."

Para pekerja tercengang kaget.

"Apa?! Anda mungkin salah tempat. Yang saya tahu, tanah ini milik pesantren dan sudah di wakafkan pada pesantren. Atas dasar apa anda ingin menggusurnya?"

"Sayangnya ahli waris tidak mengatakan seperti itu. Dan kami punya surat kuasa atas tanah ini," cetus ketua algojo itu menunjukkan selembar surat kuasa. "Sebaiknya kalian menyingkir karena kami akan menggusur bangunan ini."

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang