Sebelum lanjut baca, boleh tidak aku minta sesuatu? Please jangan Ada komen next kali ini. Tolong kasi aku Kritik Dan saran kalian.🙏
_______________________________________
~Happy Reading~Kekuatan seorang ibu ialah senyum anaknya. Dan kelemahan seorang ibu, ketika melihat senyum anaknya patah.
~Lentera Humaira~
Di rumah sakit Ilham langsung membaringkan tubuh Zhira di brangkar kemudian membantu para suster mendorongnya menuju ruang PICU, begitu pula dengan Maira yang tidak ingin melepas genggaman dari tangan Zhira sedikitpun. Air mata perempuan itu tiada henti menetes tatkala menatap peri kecilnya rapuh.
"Maaf, Ibu. Silahkan anda tunggu di luar," titah seorang dokter perempuan menepis tangan Maira lalu menutup pintu ruang pediatric intensive care unit.
"Ya Allah, selamatkan putriku," lirih Maira pilu, di tengah tangisnya.
"Mbak, maaf. Aku gak tahu kalau adek Zhira alergi kacang," sesal Adzkia karena tidak peka dengan pertanyaan Zhira beberapa menit lalu.
Maira memeluk erat Adzkia, karena sungguh ia butuh tempat untuk berbagi derita hatinya saat ini. Dia memang bukan darah daging sendiri, dia hanya anak yang beberapa bulan masa kecilnya selalu menemani hari seorang Maira.
Di belakang sana Ilham menatap lara Maira dan Adzkia, jika saja perempuan itu sudah halal untuknya maka tidak akan ia biarkan air mata mengalir sedikitpun dari muaranya. Karena sungguh! Kesakitan yang perempuan itu rasakan, Ilham merasakannya berkali-kali lipat. Kebaikannya pada Zhira sudah tidak dia permasalahkan lagi, sebab Ilham tahu calon istrinya tersebut begitu menyukai anak kecil. Apalagi Zhira pernah menjadi anaknya walau sesaat.
"Maira tenanglah, Zhira akan baik-baik saja." Ilham mengulurkan sapu tangan pada Maira. Setelah perempuan itu menerimanya, barulah dia meminta handphone milik Zhira yang ada pada Adzkia. "Dek, sini ponsel Zhira. Biar Aa' kabarin Papanya."
"Iya, A'." Adzkia menyerahkan ponsel Zhira yang sejak tadi ia simpan di saku gamisnya.
Ilham menjauh beberapa langkah dari Maira dan Adzkia berdiri. Kemudian membuka kontak, mengulir setiap nama hingga ia temukan nomer dengan nama 'My Daddy' Ilham yakin itu nama kontak dari ayah Zhira, sebab hanya ada empat nomer di situ, 'Bi Inah, Oma Aya, Tante Nad Nad. Segera Ilham menghubungi nomer itu. Sambungan pertama sempat sibuk. Di sambungan kedua barulah tersambung.
"Halo, Sayang. Kenapa?" sapa seseorang di seberang sana.
"Maaf, saya Ilham." pungkas Ilham mengatakan yang sebenarnya.
Hening sesaat.
"Apa? Lalu di mana Putriku? Berikan ponselnya pada Zhira!" nada suara Arman terdengar emosi.
"Maaf, tolong dengarkan saya dulu."
"Di mana Maira? Saya ingin berbicara dengan Maira. Serahkan saja ponsel itu padanya."
Ilham menjauhkan benda pipih itu dari telinganya tatkala suara terdengar semakin lantang di ujung telepon sana. Mungkin tidak ada salahnya jika Maira saja yang bicara pada Arman. Ilham berbalik melangkah cepat lalu menyerahkan ponselnya pada Maira.
"Mai, aku rasa Papanya Zhira akan lebih mendengarkan penjelasan kamu." Ilham menyodorkan ponsel itu pada Maira.
Perempuan itu terlihat ragu, mungkin tidak enak hati pada Ilham. Ia hanya tidak ingin mempermalukan dirinya sendiri di depan Ilham.
"Ada baiknya kalau kamu saja yang bicara padanya." Ilham meyakinkan Maira kalau dia begitu mempercayainya.
"Baik," ucap Maira pelan lalu menghapus sisa air matanya. Barulah setelah itu ia mengambil posisi berjarak lima langkah membelakangi Ilham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...