40) Saling Diam, Dalam detak.

116K 8.7K 461
                                    


Jodoh itu layaknya tulang rusuk, kita tidak bisa memaksanya untuk lurus, sebab ia akan patah. Begitu pula cinta, sekuat apapun kita genggam jika memang bukan yang di takdirkan, ya tidak akan dibersamakan.

~Lentera Humaira~
-------------

Sudah sekitar satu minggu Zhira mendiami ruang VVIP dan hari ini rencananya akan di bawa pulang. Maka dari itu, Maira datang cepat dengan di antar Ilham.

"Kamu beneran gak papa aku tinggal?" tanya Ilham di parkiran rumah sakit. "Kia juga sedang sekolah gak bisa nemenin, kamu tidak apa-apa sendiri?"

"Iya tidak apa-apa Gus Ilham." Maira menekankan nama Ilham, meyakinkan lelaki itu jika ia akan baik-baik saja.

Hari ini Ilham hanya sekedar mengantar Maira kerumah sakit, tidak bisa menemani. Sebab harus mengurus beberapa kepentingan pesantren. Sebenarnya ia tahu Maira akan baik-baik saja. Tapi, dia khawatir mantan suaminya itu mencuri dan menawan hati perempuan ini lagi. Lagipula ini Ilham, pemikirannya tak sependek itu. Ia selalu melibatkan kuasa Allah dalam pemikirannya. Dia selalu berberpikir ....

Jodoh itu layaknya tulang rusuk, kita tidak bisa memaksanya untuk lurus, sebab ia akan patah. Begitu pula cinta, sekuat apapun kita genggam jika memang bukan yang di takdirkan, ya tidak akan dibersamakan.

"Supaya aku tidak khawatir lagi, coba bilang 'iya, Abang. Adek bakal baik-baik saja.' gitu." sejak kemarin lelaki itu tidak berhenti senyum-senyum sendiri usai mengusili calon istrinya ini, Ilham kembali membuat pipi Maira kemerahan seperti udang rebus.

"Tuh kan, mulai lagi deh," keluh Maira.

"Ya, kan biar aku tidak cemas lagi ninggalin kamu," balasnya. "Cepet bilang. 'Abang ... Adek akan baik-baik saja, tidak perlu khawatir.' gitu. Cepet bilang," paksa Ilham.

"Iiihh ... apaan sih, gak mau! Gus Ilham kok tiba-tiba aneh gitu?" Maira pura-pura bergidik.

"Ya sudah, aku di sini saja nemenin kamu, ya?!"

Maira makin cemberut, "iih, jangaaan ...! Kan harus ngurusin beasiswa santri. Ntar Umi marah loh," protes Maira.

"Makanya bilang dulu."

Maira semakin mengerucutkan bibirnya, kesal. "Iya, ABANG. Adek baik-baik saja. Abang tidak perlu KHAWATIR!" ucapnya pasrah meladeni candaan Ilham dengan sedikit penekanan di beberapa kata.

Sontak tawa Ilham pecah sebab Maira sampai sedikit menghentakkan kakinya. Mungkin karena kesal.

"Tuh kan malah di ketawain." Maira makin cemberut. Membalik tubuh membelakangi Ilham yang masih tertawa ngakak.

Ilham memegang perutnya yang mulai keram. "Ya sudah, Abang berangkat ya, Adek. Assalamu'alaikum," pamit Ilham.

Maira berbalik, sedikit tersenyum dan menjawab, "wa'alaikumussalam."

"Gak mau cium tangan Abang dulu?" Ilham mengulurkan tangannya.

"Ish! Bukan Mahram." jawab Maira cepat lalu meninggalkan Ilham di tempat parkir.

"Hahaha...." Ilham kembali tertawa. "Adek tunggu Abang ya, kalo sudah abang langsung ke sini jemput adek." teriak Ilham.

"Iya!" jawab Maira singkat yang sudah berdiri di pintu utama rumah sakit.

Dari balik tirai putih itu Arman menekan dadanya yang terasa sesak. Tangannya terkepal erat sampai kuku-kukunya memutih, Ternyata sesakit ini melihat orang yang dicintai bersama orang lain. Ternyata semarah ini rasanya. Ia tahu karma itu ada, sebab Arman merasa tertikam menyaksikan semua ini. Mungkin dulu Maira merasakan kepedihan yang sama, merasakan penderitaan yang sama. Semua harapan tinggal seujung kuku, semua impian hanya tinggal angan. Pencariannya selama ini percuma, sia-sia. Harapan dalam diamnya akan segera sirna.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang