13] Sisi Lain Seorang Arman.

145K 10.9K 121
                                    

"Tuhan, perihal perasaan. Hamba tidak tahu bagaimana sampai sejauh ini menguasai hati. Perasaan ini terlanjur melekat dalam jiwa hamba hingga buta ketika sesuatu yang berharga itu Engkau ambil kembali, hamba melupakan batasan bahwasanya tiada tempat berpulang kecuali pada-Mu. Kepergiannya membuat luka yang teramat dalam, sampai menutup mata hati hamba. Dia terlalu indah, terlalu sempurna, bahkan untuk menerima orang lain pun takkan bisa. Hamba mohon hadirkan seseorang, untuk dapat membuka hati hamba yang terlanjur terjebak dalam cinta yang telah usai."

_Arman Ar Rasyid_

Dua puluh menit sudah Chandra menunggu Maira membuka mata. Namun Lenteranya itu tetap redup. Seusai memeriksanya tadi, ia masih enggan untuk beranjak dari kursi samping ranjang Maira.

Bik inah, Lastri, dan Yesi juga masih menunggu.

Chandra sudah tidak memikirkan lagi akan semarah apa Arman padanya. Jika tahu kalau dirinya yang datang.
Yang pasti! Dia harus memastikan sendiri sahabatnya baik-baik saja fisik maupun batin. Rasa khawatir itu tidak akan membuatnya tenang. Itulah sebab mengapa Chandra tidak berpikir ulang untuk datang kerumah seorang Arman yang di kenal sebagai monster kutub. Demi Maira apapun akan Chandra lakukan agar Lenteranya itu tetap bersinar.

"Dok, gimana keadaan Non Maira?"

"Tubuhnya sangat lemah. Kemungkinan dari pagi Maira belum makan apapun." Jelasnya, melihat jam di pergelangan tangannya. "Ini sudah terlalu larut, saya permisi dulu. Jika Maira bangun, pastikan dia makan dan meminum obatnya ya, Bik," jelasnya.

Mungkin sebaiknya Chandra pergi sebelum terjadi suatu prasangka yang lebih parah lagi. Tidak seharusnya ia memaksakan kehendaknya pada Maira, bukan tidak sadar dengan keegoisannya. Hanya saja, Arman tidak bisa dia percaya sama sekali.

"Iya, baik Dok," jawab bik inah.

"Saya permisi dulu, Assalamu'alaikum ...." pamit Chandra.

"Wa'alaikumussalam," jawab mereka bersamaan.

Tak lama setelah Chandra keluar, Arman masuk ke kamar Maira dengan baju tidurnya, kemudian duduk di sofa. "Bik, di mana dokternya?"

"Sudah pulang, Tuan." Jawab mereka serempak.

Arman hanya manggut-manggut tidak mempermasalahkan siapa dan dari rumah sakit mana dokter itu. Sepuluh menit kemudian Arman memperhatikan ketiga pelayan itu. "Kalian tidurlah. Saya yang akan menjaga Maira," ucapnya ketika melihat wajah ngantuk mereka.

"Yang bener, Tuan? Ya sudah kalo gitu mah Lastri pamit dulu atuh," kata Lastri penuh semangat karena saat ini ia sudah benar-benar lelah.

Bik inah dan Yesi pun menyusul setelah berpamitan pada Arman.

Entah ada angin apa Arman pindah duduk di samping ranjang Maira. Memperhatikan wajah Maira yang biasanya merona merah muda kini pucat, kesedihan tampak jelas di wajah teduhnya. Keceriaan itu seolah sirna dalam sekejap. Sebesar itukah, cinta Maira pada putrinya? Tiba-tiba dada Arman berdesir ketika melihat butiran bening muncul dari sudut mata gadis itu. Maira menangis dalam lelapnya. Makin lama, makin deras hingga tubuhnya sedikit berguncang karena sesengukan. Gumaman kecil timbul dari bibirnya yang pucat. Sangat kecil! Namun masih bisa Arman dengar jika perempuan ini tengah memanggil nama anaknya.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang