50 Menetap Di masalalu

131K 9.9K 757
                                    

Terkadang, takdir yang kita pilih memaksa kita melangkah maju tanpa menyerah.

Lentera Humaira

Di rumah yang sama, dengan atap yang sama, bahkan di ruangan yang sama, keduanya sama-sama terdiam. Yang satu takut menyinggung, yang satu lagi begitu takut kehilangan. Namun keduanya juga berpegang teguh pada kemauan masing-masing.

Arman masih setia dengan keputusannya untuk melepas anak keduanya. Namun untunglah Maira lebih bertekad Kuat untuk mempertahankan anaknya. Dia berpikir, di luar sana banyak wanita yang begitu menginginkan buah hati namun tidak gampang memilikinya. Sedang Maira yang sudah mendapatkan tidak mungkin di sia-siakan. Apalagi ini dosa besar jika dilakukan.

"Mas, entar pulang kantor bawain Mai rujak buah ya," pinta Maira berharap.

Arman tidak menjawab, dia justru melenggang pergi tanpa berkata-kata.

Selalu seperti itu. Semenjak kehamilan istrinya, Arman jadi jarang berbicara. Dia memilih menuruti kemauan egonya yang menetap di masalalu. Bahkan sampai usia kandungan Maira memasuki bulan kesembilan Arman masih tidak menghiraukannya.

Bodohnya Maira bertahan untuk kesekian kali.

Padahal Arman berharap Maira menuruti kemauannya. Jangan pikir lelaki itu tidak sedih, setiap saat hidup Arman selalu dihantui kematian Fanya saat melahirkan dulu. Dia hanya tidak ingin kehilangan lagi. Setiap malam hatinya menangis, dan di balik kerasnya dia rapuh, dia hancur, dia takut. Sebenarnya Arman juga menderita.

Sudah sering kali Arman tidak pulang, sering kali pula ke luar kota mengurus bisnisnya. Padahal semua itu dia lakukan untuk lari dari kenyataan.

***

Siang hari yang awalnya terik, tiba-tiba berawan seiring datangnya awan mendung berwarna kelabu. Senja tidak terlihat sore ini. Langitnya sedikit gelap, persis seperti getirnya perasaan Arman ketika melihat Maira tengah berbincang hangat dengan si jabang bayi dalam perutnya, juga ditemani Zhira yang asik merangkai bunga.

Pemandangan yang mengharukan sekaligus menakutkan. Arman takut semua ini tidak bertahan lama.

"Zhira, bisa tolong ambilkan jam tangan di atas nakas, di kamar Papa?" Arman menarik perhatian kedua perempuan itu teralih padanya.

"Iya, Pa," jawab Zhira lalu melangkah masuk.

Kecanggungan itu kembali tercipta kala keduanya saling diam.

"Mas, beberapa hari ini anak kita tidak banyak gerak, Mas mau menyentuhnya tidak?" Maira memulai obrolan terlebih dahulu.

"Tidak," jawab Arman ketus.

Maira hanya cemberut, meski hatinya terasa sakit. "Sekali saja, aku mohon Mas."

Arman membisu, dari balik cadar istrinya terlihat jelas kekecewaan di mata sendu itu. Pelupuk matanya menjelma muara yang kini menampung sekian juga air mata. Namun Arman tidak sanggup menghapusnya. Pengecut! Ya! Arman sadar itu. Tapi mau bagaimana lagi? Jangankan menyentuh, melihat perutnya saja kejadian di masalalu Arman langsung berputar seketika.

"Aku mau keluar sebentar." Arman beranjak pergi.

Akan tetapi Maira masih kokoh mengikuti suaminya sampai ke parkiran. "Mas aku mohon jangan pergi. Aku butuh Mas Arman di samping aku. Sekali iniii ... saja. Aku mohon." Maira meraih tangan suaminya, dia memelas.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang