53. Malaikat kecil.

104K 8.5K 443
                                    

Masalalu adalah kenangan abadi yang tak perlu diratapi pun disesali, karena masa depanlah yang sejati. Sebab di akhir sebuah cerita, Allah menyiapkan klimaks termanis jika kita mampu membiarkan kepahitan itu berlalu.

~Lentera Humaira~

Untuk pertama kalinya bagi Maira dia merasakan bagaimana sakit dan sulitnya melahirkan. Lihat saja, sejak tadi tidak berhenti merintih menghela dan menghembuskan napasnya berkali-kali, tak jarang dia menggigit bibir agar tidak berteriak, selain berdzikir hatinya juga berucap meyakinkan diri sendiri kalau dia mampu.

Sore tadi tepatnya pukul tiga sore ketubannya pecah bersamaan dengan rasa sakit dan ngilu di perut yang menjalar ke punggung akibat kontraksi pertamanya. Setelah itu dia masih harus berjuang menahan rasa sakit di tengah macetnya Ibu Kota. Namun tak patut disangkal bahwa ia benar terharu dengan suaminya yang sampai rela menggendong di tengah keramaian sampai dirinya tiba dengan selamat di rumah sakit yang saat ini Maira tempati. Perasaannya campur aduk antara gugup dan bahagia menunggu kelahiran bayi dalam rahimnya.

Arman yang berada di sampingnya harap-harap cemas. Jika bisa dia ingin sekali menggantikan derita sang istri saat ini juga. Ketika genggaman tangan Maira mengerat saat itu juga kejadian yang terjadi pada Fanya kembali berputar. Lelaki itu memejam, menghalau kejadian kelam yang membuat hati nuraninya gelap. Lalu kembali menatap Maira. Ya, dialah perempuan yang harus jadi pusat perhatiannya saat ini.

Di ruang bersalin itu, ruangan VK di mana Maira dapat merasakan tingkat demi tingkat kontraksi atas bukaan yang dialaminya, membuatnya ingin menjerit namun ia tahan. Di bukaan ke lima Bunda Lira dan Maya datang beserta keluarga yang lain. Mereka bergantian menjaga perempuan yang tengah berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan malaikat kecilnya. Para dokter pun sudah bersiap-siap.

Beberapa jam berlalu, Maira sempat menitikan air matanya ketika melihat Lira tersenyum hangat sambil tiada henti memijit punggung bagian bawahnya yang terasa ngilu, sekarang ia dapat merasakan betapa besar perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya ke dunia. Alangkah meruginya jika seorang anak sampai menyakiti perasaan sang ibu.

Maira menggenggam erat tangan Lira. "Bunda, Maira minta ma-"

Secepat kilat telunjuk Lira sudah menempel di bibir Maira. "Tidak, tidak perlu minta maaf. Setiap ibu akan melakukan hal yang sama untuk anaknya," ucap Lira lembut.

Sedang Maya ikut terenyuh melihat kehangatan ibu dan anak itu. Karena kadang dia merasa gagal mendidik anaknya yang sampai memiliki sifat keras seperti Arman. Maya mengedarkan pandangannya mengingat Arman, lelaki itu belum kembali ketika tadi izin keluar entah ke mana.

"Arman belum kembali, Mama akan mencarinya sebentar," pamit Maya.

"Tidak usah, Ma. Aku yakin Mas Arman akan segera kembali. Dia tidak akan membiarkanku berjuang sendiri," ujarnya sambil melenguh sebab lagi-lagi merasa mulas serasa diiris karena otot perutnya meregang.

"Kamu yang kuat ya, Sayang. Mama yakin kamu bisa. Padahal jika kamu mau, sekarang juga kita lakukan operasi caesar ya, Nak." Maya memegang puncak kepala Maira dengan sayang. Menyalurkan semangat pada menantunya tersebut.

Maira menggeleng cepat. Seberapa besarpun sakitnya, dia tetap ingin melahirkan dengan normal. Ingin merasakan sakit yang haqiqi, yang tidak semua orang bisa merasakan.

"Dok, memang tidak apa-apa anak saya lahir normal?" tanya Maya pada dokter yang sejak tadi bolak balik memeriksa perkembangan Maira dan bayinya.

"Tentu, Ibu. Kami mengizinkan Mbak Maira lahir normal dengan prosedur karena Kehamilannya sehat, dan bayi-bayi tidak berisiko mengalami komplikasi. Bayi-bayinya juga tidak berbagi plasenta yang sama. Bayi pertama tidak sungsang, semua bayinya sehat, dan berkembang sebagaimana mestinya. InsyaaAllah, doakan saja biar lancar." ucap salah satu dokter. "Ibu tidak usah khawatir, dalam kasus ini tim medis yang mendampingi banyak kok, termasuk satu orang dokter kandungan Mbak Maira, bidan, perawat, dan dua orang dokter anak. Jika diperlukan kami juga ada dokter spesialis anestesi." Dokter itu tersenyum seperti biasa untuk menenangkan keluarga pasien.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang