35) Lamaran.

126K 9.7K 257
                                    

~Happy Reading~

"Neng Maira, bagaimana? Apakah Neng Maira bersedia menerima khitbah dari Gus Ilham?" tanya Ustadz Hasan-sepupu Umi Zulfa-yang menjadi juru bicara pada pertunangan ponakannya, menggantikan Kiyai Hanafi yang berhalangan untuk hadir.

Sebelumnya Kiyai Hanafi sudah siap untuk hadir, namun kedatangan seseorang yang mengaku pemilik sah akta tanah wakaf mengurungkan niatnya untuk datang. Jadilah Ustad hasan yang harus menggantikannya.

Tepukan lembut di tangan Maira mampu merangsang otaknya untuk kembali pada kenyataan yang terjadi di depan mata.

"Bagaimana? Kamu bersedia tidak dikhitbah oleh Gus Ilham?" bisik sang bunda dengan nada yang sangat pelan. Pasalnya saat ini semua pandangan menghunus tepat pada Maira duduk. Lira tersenyum ketir pada semua tamu yang wanti-wanti atas jawaban Maira.

Lira kembali mengeratkan genggamannya pada tangan Maira. Mengisyaratkan Maira untuk segera memberi jawaban.

Umi Zulfa, Ning Adzkia, Gus Irham, Ustadz Hasan beserta istrinya, dan juga Gus Ilham tengah menunggu jawaban Maira dengan perasaan khawatir. Acara sakral yang hanya dihadiri dua keluarga itu terasa sedikit canggung dengan keterdiaman Maira.

"Bismillahirrahmanirrahim," Maira angkat bicara, memejamkan mata setelah menyebut nama Allah, kemudian kembali berucap. "InsyaaAllah, aku bersedia."

Semua orang mendesah lega campur bahagia, kecuali Ilham, lelaki itu seakan tidak puas dengan jawaban Maira. Ia merasa ada sesuatu yang masih mengganjal di hati perempuan yang berhasil mengalihkan cintanya dari cinta masalalu-ustadzah Annisa-santri putri yang juga dicintai Gus irham, adiknya. Meski yang lain tidak menyadarinya, tapi Ilham begitu tahu jika ada keterpaksaan dari nada itu.

"Alhamdulillahi robbil 'Alamin, dengan jawaban yang membahagiakan dari Neng Maira, Maka dalam kurun waktu tig-"

"Dua Bulan," potong Ilham tegas.

Kali ini semua tatapan heran beralih pada Ilham. Karena dalam perbincangan awal, akad nikah akan di laksanakan setelah tiga Bulan dari masa khitbah.

"Ilham, sampean yakin?" tanya Ustadz Hasan memastikan.

Ilham mengangguk dengan tetap menyelami tatapan terkejut dari Maira.

"Menunda terlalu lama tidak akan baik," ucapnya selagi menunggu ekpresi dari perempuan yang duduk dua meter di depannya. Namun Maira hanya membisu. Padahal ia berharap, jika memang ikatan ini akan menyiksanya, akan ada penolakan terlontar dari lisan perempuan itu, tapi tidak.

Antoni tersenyum haru, "terima kasih Gus Ilham sudah berkenan mengkhitbah anak kami."

"Tidak, Om. Justru saya yang berterima kasih telah menghadirkan Bidadari Dunia seteduh Maira." kata Ilham membuat Lira meleleh, terharu.

Sedang Maira bergerak tak nyaman di tempat duduknya. Bukan apa-apa. Ia hanya merasa tidak enak hati dengan kebaikan Ilham yang ternyata cuma ia balas dengan kepalsuan. "Maaf, Gus Ilham saat ini aku hanya memaksakan hati untuk siap. Tapi, sungguh aku ikhlas. Dan dengan keikhlasan ini, aku akan berusaha menerimamu dengan perlahan. Dengan izin Allah, dengan ridho Allah. Akan ku usahakan untuk mencintaimu karena Allah." Maira kali ini bermonolog dengan perang batinnya sendiri.

"Baiklah!" Ustadz Hasan mencairkan ketegangan antara Maira dan Ilham. "Berarti dua bulan dari sekarang, kalian harus menyiapkan mental, karena setelah tangan Gus Ilham menjabat tangan Ayah Neng Maira, saat itu Arsyi Allah bergetar, ketika akad berkumandang dengan lantang maka seperti dalam Alqur'an Allah akan mengikat kalian dengan dua istilah kata yang tertulis di Kalam ilahi, ميثاقاغليظا yaitu ikatan yang kokoh atau perjanjian yang teguh. Jadi, setelah ikrar terucap jangan pernah kalian rusak ikatan itu kembali." pesan Ustadz Hasan.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang