'sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholehah.
(HR, Muslim 1467).'
"Arman, Arman. Heran ya gue sama lo. Kurang apa sih Maira? Udah cantik, sholeha, pinter masak, rajin ibadah. Masih di sia-siain. Kenapa nggak jadi istriku aja tu cewek. Pasti gue kepkepin gak bakal pernah gue lepas," ucap Dava menghampiri Arman lalu mengambil rantang dari meja sahabatnya.
Arman berhenti sejenak dari aktifitas mengetiknya. "Lagian katrok banget sih hari gini masih ngirim makanan ke kantor," oceh Arman mendapati perempuan yang dianggapnya pengasuh itu masih saja mengiriminya makanan rumah.
"Lah, kenapa? Justru yang seperti itu wajib dipertahanin."--Dava membawa rantang bermotif bunga itu ke sofa--"Thanks Bro, kapan lagi gue dapat makanan enak plus gratis kayak gini."
"Halah lebay, cuma makanan gitu aja seneng lo." ledek Arman meremehkan.
Dava tertawa mengejek, dalam hati dia menyumpahi sahabatnya semoga suatu hari Arman menyesal dan termakan omongannya sendiri karena sudah meremehkan wanita sholeha seperti Maira. "Gue sumpahin lo cinta mati sama dia. Gak ada syukurnya ni orang sudah dapat pelengkap iman menuju surga yang begitu baiknya."
"Mana bisa lo mengklaim kebaikan seseorang hanya dari yang terlihat di mata lo!" Arman tidak terima.
Dava menggeleng, kepergian Fanya sudah mengubah Arman menjadi manusia dingin yang tak berperasaan. Padahal dulu lelaki itu sangat ramah dan hangat.
"Bro, dalam sebuah hadist tertulis, 'sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita sholehah. (HR, Muslim 1467).' dan insyaAllah Maira termasuk golongan wanita dalam hadist tersebut," jelas Dava. "Dari pengamatan gue dia baik, cantik, dan sholeha, hanya saja lo mandang dia dari segi sensitif lo. Jika saja dia bukan istri sahabat sendiri, sudah gue tikung tu cewek," lanjutnya pelan, dan entah kenapa masih bisa di dengar oleh Arman.
"Tenang saja kalau Zhira sudah tidak butuh, akan gue kasi dia cuma-cuma buat lo," balas Arman ketika mendengar gerutuan pelan Dava.
Dava yang sudah duduk di sofa mendengkus. "Sembarangan kalo ngomong! Memangnya Maira barang, apa? Pas sudah tidak dibutuhkan mau di buang gitu aja. Gila lo Bro!"
Arman hanya diam tidak memperdulikan ocehan Dava lagi. Orang lain tidak akan pernah mengerti apa yang ada dia rasakan, betapa kehilangannya, bagaimana luka yang ditorehkan takdir padanya. Yang pasti Arman marah, marah pada takdir-Nya.
***
Di kediaman keluarga besar Arman Maira sedang asik mengajak Zhira bermain bersama mama dan juga Neneknya arman. Mama Arman sempat marah besar karena melarang Maira datang ke rumahnya. Dan mau tidak mau Arman mengizinkan Maira pergi. Mereka tertawa bersama ketika berhasil membuat wajah polos nan imut itu tertawa.
"Wah, sekarang adek Zhira udah makin pintar, makin besar, makin cantik," puji Mama Arman.
"Iya, dong Oma. Kan minum susu tiap hari," ucap Maira membantu Zhira menjawab Omanya.
Neneknya Arman sekaligus Buyut Zhira yang tengah duduk di samping Maira tersenyum lalu mengusap pelan pundak istri dari sang cucu--Arman.
"Assalamu'alaikum, Nenek, Tante. Boleh aku masuk?" tanya seseorang di ambang pintu menunggu izin tuan rumah untuk masuk.
"Wa'alaikumussalam, eh, Dokter ganteng udah dateng, mari silahkan masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...