51. Beranjak Dari Masalalu.

126K 9.5K 609
                                    

Jika ingin mengakhiri sebuah kepahitan, bukankah kita butuh pemanis untuk menjadi penawarnya. Untuk beranjak dari masalalu, bukankah kita butuh tangan dari masa depan untuk menggenggam tangan kita?

Lentera Humaira

Sebuah cafe yang juga memiliki fasilitas outdoor itu tengah beroperasi lancar seperti biasa. Suasananya begitu tenang dengan alunan musik klasik yang mengalun merdu dari dalam sana, tema alam dengan rerumputan dan bunga yang menghias area kafe terlihat begitu asri, membuat seorang lelaki semakin termenung memikirkan mimpi buruk yang semalam dialaminya. Siapa lagi jika bukan Arman.

Arman berpikir tentang egoismenya mungkin sudah menyakiti perasaan sang istri. Tapi mau bagaimana lagi? Arman benar-benar mencintai Maira, dia tidak ingin terjadi sesuatu yang dapat membahayakan keselamatan Maira. Apakah Arman salah jika berpikir demikian? Atau caranya yang salah? Sedang di masalalu dia sudah mengalami hal serupa yang dia takutkan.

"Saran gue, lo pulang sekarang. Sudah dua hari kan lo gak pulang. Kasian Maira terus-terusan nanyain lo, Bro." Dava membawa dua cangkir kopi yang dia buat sendiri—di kafe milik teman SMA mereka yang bernama Nino.

Sebelum meminumnya, Arman menilik kopi tersebut. "Lo yang buat?" tanya Arman menatap curiga.

"Iya, memang gue yang buat. Kenapa, takut tanpa gula lagi? Hahaha ...." Dava terbahak. "Kali ini plus gula kok. Tenang aja." Dava menepuk lengan sahabatnya. 

Arman menyeruput pelan kopi buatan Dava. "Tidak enak." protesnya. "Takarannya kurang pas, kalau Maira yang buat rasanya beda. Memiliki cita rasa yang khas."

Dava mencebik. "Halah! Bilang aja lo kangen bini lo. Pake acara ngina kopi gue lagi. Gini aja, saran gue lo pulang sekarang habis itu kalian pisah lagi aja, kesel gue lama-lama sama lo. Bro, pikirkan bagaimana akhirnya kalian bersatu lagi, pikirkan bagaimana Allah masih ngasi kesempatan kalian bersama. Masa cuma gara-gara ini lo mau nyakitin perasaan Maira lagi? Perkara jodoh, Rejeki, dan MAUT itu Allah yang menentukan. Kita mah bisa apa?" Dava menekankan kata Maut.

"Gue tahu, tapi gue kecewa dia sudah menghianati kepercayaan gue."

"Gak usah egois, lo pikir permintaan aneh lo itu gak nyakitin perasaan dia? Kalo gue jadi Maira, udah pergi dari dulu gue nyari laki baru yang gak egois dan pengecut kayak lo."

Plak!

Kali ini tangan Arman sudah melayang menggeplak tengkuk Dava, dia benar-benar kesal dengan mulut rombeng sahabatnya ini. Tapi Dava benar dengan ucapannya.

"Oke! Ini saran terakhir, lo datengin Ustadz Khotib. Mungkin lo bisa dapet pencerahan dari beliau."

Ustadz Khotib? Iya, kenapa Arman sampai lupa. "Oke! Kalo gitu gue pergi dulu." Arman langsung bangkit dari duduknya. "Bye!"

"Biasakan Assalamu'alaikum, bukan Bye," protes Dava.

Arman berhenti sejenak. "Iya! Wa'alaikumussalam," jawabnya.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang