29) Debar.

140K 10.4K 173
                                    

~Happy Reading~

Jodoh terbaik adalah dia yang dengan melihatnya saja surga terasa dekat. Cinta terbaik adalah dia yang mampu membuat cintamu pada Allah semakin bertumbuh.

_Lentera Humaira_

Beberapa menit yang lalu Maira sempat merasa penasaran perihal tamu yang datang. Pasalnya Umi Maryam kembali dalam keadaan panik.

"Umi, tamunya siapa? Kenapa Umi terlihat panik?" tanya Maira ketika Maryam kembali menemuinya di kamar.

"Hah? Tidak! B-bukan siapa-siapa," jawab Umi Maryam gelagapan.

Maira menatap curiga pada raut aneh di wajah Umi Maryam, seperti tercium bau kebohongan dari matanya. Tapi, ya sudahlah. Mungkin memang bukan siapa-siapa. Pikir Maira.

"Ka-kamu ke dapur saja, buatin teh ya, dua." Maryam menetralkan ekspresinya sebelum berucap. Setidaknya saat ini masih bisa mengalihkan Maira agar tidak bertemu dengan Arman.

Maira mengangguk meski ada kejanggalan dalam hatinya. "Baik, Umi."

Langkah Maira sudah terayun menuju pintu dapur, namun seketika terhenti lalu berbalik menuju ruang tamu yang sudah sepi. Seperti biasa, mungkin Ilham mengajak anak-anak bercerita di ruang bermain. Rasa penasaran masih menyita pikirannya. Dari balik jendela kaca Maira menatap punggung yang seakan tidak asing di indranya. Perempuan itu semakin mendekat, memastikan.

"Astaghfirullah."  Maira membekap mulutnya tak percaya. Darahnya seketika berdesir, jantungnya berdetak tak terkendali, seakan ada virus yang menjalar melalui aliran darah menuju sistem limbik dalam otak secara fungsional menekan segala perasaan menjadi kristal bening yang menuntut untuk ditumpahkan.

Oh Allah, jangan biarkan hati hamba mencintai lebih dari cinta hamba terhadap-Mu. Jauhkan hamba dari kemudharatan yang hanya kan berakhir dengan kesia-sian.

Maira tersentak kaget ketika tangan seseorang memegang pundaknya, ia menoleh dalam hitungan detik. Jika saja tangan orang itu tidak menutup mulutnya mungkin ia sudah beristighfar dengan keras. "Astaghfirullah, Umi," ucapnya, sangat pelan.

Maryam menarik tangan Maira membawanya ke dapur. "Umi kan sudah bilang kamu di sini saja. Ya sudah, kamu buat dulu tehnya, Umi mau mengambil sesuatu, nanti biar Umi yang antar teh itu kedepan."

Perempuan itu mengangguk, tanpa mempertanyakan yang sebenarnya ingin ia tanyakan.

Sudah beberapa menit minuman usai ia buat, tapi Maryam belum juga datang. Tiba-tiba ia teringat seorang anak kecil yang duduk di pangkuan mantan suaminya. Apa itu Zhira? Sekali lagi ia tak mampu menahan rasa ingintahunya. Padahal otaknya dengan keras mengatakan, "jangan!" Namun sudut terdalam hatinya memaksa untuk melihat. Sungguh! Kadang sistem kerja tubuh tidak singkron untuk selaras.

Dan dalam kebimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk melihat anak kecil itu. Setelah mengambil nampan, Maira langsung bergegas membawa teh itu keluar. Di ujung pintu, langkahnya sempat beku guna menghela napas terdalam untuk menetralisir debar yang berdentum hebat dalam dadanya.

Di luar sana, Maira sempat mematung. Mantan suaminya masih setampan dulu, masih suka membuatnya beristighfar. Meski tak serapi dahulu. Untunglah! Dia sedang sibuk memainkan Handphone-nya. Sedang anak itu sudah menyadari keberadaan Maira. Perlahan ia letakkan tehnya di atas meja, kemudian tersenyum pada anak itu di balik cadarnya. Ya Allah dia benar Zhira, bisik hati Maira.

Iris sendu Maira berkaca-kaca, ada binar sekaligus tangis bahagia terpancar di matanya ketika anak itu dengan manisnya membalas tatapan Maira dengan senyum hangat, sehangat senyum malaikat. Hingga tangannya tanpa sadar membelai lembut pipi putri yang teramat ia rindukan.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang