18] Calon Istri?

135K 10.9K 211
                                    

"Terkadang, seseorang akan sadar dengan perasaannya ketika orang itu telah pergi."

_Lentera Humaira_

Pagi masih buta, namun senyum Chandra telah terbit sejak tadi. Suasana hatinya sudah cerah kembali ketika mendapat balasan dari Maira.

"Alhamdulillah, terimakasih telah membuka hati Maira untuk memaafkan hamba Ya Robb ...." do'anya.

Selepas sholat subuh lelaki itu tidak pernah lupa membaca Al-qur'an walaupun hanya dua tiga lembar. Barulah setelah itu ia akan bersiap-siap untuk ke rumah sakit.

"Chan, gimana keputusan kamu mengenai rencana Bunda? Soal perjodohan itu ... Bunda tidak memaksa, karena Bunda tahu, sesuatu yang di jalani karena terpaksa tidak akan baik." Ainun bertanya dengan hati-hati. Sambil menyentong nasi untuk anaknya yang lain.

"Masih aku pikirkan, Bun." Jawab Chandra sembari melahap sarapannya.

Ainun tersenyum hambar, mau sampai kapan anaknya ini memendam perasaan untuk sahabatnya? Jika tahu akan seperti ini, mungkin dulu Ainun akan melamar Maira terlebih dahulu sebelum Maira menerima amanah itu.

"Aku berangkat dulu, Bun," pamitnya, tak lupa pula ciuman hangat di kening ibundanya. "Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumussalam," jawab Ainun.

"Kak titip salam ya buat Kakak ipar," sambung adik Chandra yang suka usil.

"Kamu ini, sekolah yang bener." Chandra mengacak-acak rambut adiknya. Kemudian keluar menuju mobil, selanjutnya melajukan mobil membelah jalanan ibukota yang padat di jam berangkat kerja seperti saat ini. Untung rumah sakit tidak terlalu jauh dari rumahnya.

••♡♡♡☆♡♡♡••

Maira masih menatap wanita yang dibawa Arman kerumah. Dia cantik, seksi, putih, tinggi juga. Pantas jika suaminya lebih memilih wanita ini ketimbang dirinya yang selalu berpakaian panjang dan lebar seperti ini. Bahkan rambutnya hitam lurus, pasti selalu dirawat di salon. Lain halnya dengan rambut Maira yang hanya dia gelung seadanya saat memakai hijab.

"Mai, perkenalkan ini Clarissa, rekan kerja saya sekaligus ...," ucapan Arman menggantung.

"Perkenalkan, saya Clarissa rekan kerja sekaligus calon istri Arman." Wanita itu mengulurkan tangan seolah begitu bangga dengan statusnya yang pelakor.

Calon istri? Ya Allah ... hamba ini sudah sah jadi istri Mas Arman. Bolehkah hamba berbangga diri atas status itu? Dan hamba ingin bilang, jika hamba ini istrinya, dan tidak ingin dia masuk dalam kehidupan kami. Bolehkah itu? Bisiknya dalam hati. Kenyataannya sang suami tidak pernah menginginkan dirinya.


"Saya Maira, Pe-nga-suhnya Zhira." Maira menekankan, dia ingin tahu ekspresi Arman bila dia menyebutnya begitu. Bukankah itu yang di inginkan Arman?

Arman langsung mengangkat wajah menatap tajam mata Maira yang terlihat tenang dengan ucapannya. Mata Arman menyipit, semakin tidak mengerti dengan isi pikiran Maira. Bukankah dia mati-matian agar diakui sebagai istri? Lalu, kenapa sekarang dia seperti ini? Entah kenapa Arman merasa tidak rela perempuan ini menyebut dirinya pengasuh, harga dirinya seakan ikut jatuh.

"Maira! Kau--"

"Anggap saja seperti itu, sebentar lagi perempuan ini kan yang jadi istri, Mas. Jadi ... ya sudah," pungkasnya. Lalu menyerahkan Zhira ketangan Clarissa. Tapi, sungguh! Dia tidak rela anaknya bersama ibu lain. Namun apa daya? Ini keinginan Suaminya sendiri, bukan?

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang