"Biarkan saja skenario-Nya yang menentukan arah hidupmu. Tidak peduli sesulit apapun itu. Asal tetap ada istiqomah di hatimu, Allah pasti akan tunjukkan jalannya."
~Lentera Humaira~
Arman bergeming. Dengan tiba-tiba dia menarik tangan Maira.
"Astaghfirullah," ucapnya cepat ketika tangannya tiba-tiba ditarik membuat tubuh Maira terjatuh disamping Arman dengan posisi kedua tangan bertumpu di dada bidang suaminya.
Sejenak tatapan mereka beradu dan saling mengunci. Debar dan desiran aneh tiba-tiba menyeruak didada keduanya.
Detik Berikutnya Arman langsung menghempas tubuh Maira hingga jatuh ke lantai.
"Astaghfirullah." Untuk kedua kalinya Maira beristighfar. "Kok Mas ngedorong aku sih?" Protes Maira.
"Siapa suruh megang-megang," jawab Arman seolah tanpa dosa.
Maira menggeleng. "MasyaAllah ... kan Mas sendiri yang narik tangan aku." Untuk kedua kali Maira memprotes perlakuan suaminya.
"Y-ya saya cuma mau kau duduk, bukan pegang sembarangan."
Maira menarik napasnya perlahan, sungguh! Menghadapi sikap Arman begini sepertinya Maira harus memperbanyak stok kesabaran. "Sabar Maira ini ujian," ucapnya perlahan. Terus membantahpun tidak akan ada guna jika berdebat dengan suaminya ini. "Ya sudah Mai duduk." Maira mengalah.
Lama terdiam, Arman maupun Maira tidak membicarakan apapun. Hanya suara gemerisik dedaunan yang diterpa hembusan angin malam. Maira mulai memeluk tubuhnya sendiri, dinginnya malam mampu menembus gamis panjang yang ia kenakan padahal hijab panjangnya sudah menutupi setengah badannya. Tapi, tetap saja terasa dingin. Menyadari itu, Arman berkata, " kalo dingin mending kau masuk saja, sana!" Usirnya.
Maira memutar wajahnya seratus delapan puluh derajat hingga pandangannya tertuju pas didepan muka Arman yang sudah mengalihkan pandangan pada sunyinya taman depan rumah. "Ya Allah tolong beri hamba kesabaran agar dapat bertahan dengan sifat suami hamba yang sulit di pahami. Hamba kira dengan diam dan tidak terlalu agresif bisa menarik perhatiannya. Namun tidak! Mas Arman justru semakin dingin terhadap hamba Ya Allah. Harus dengan cara apalagi hamba menarik perhatiannya?" Curhat Maira dalam hatinya. Ia masih tidak bergeming, pikiran dan hatinya masih berkecamuk.
"Maira! Aku bilang masuk!! " bentak Arman.
Maira terkejut, ia bangkit dari duduknya, memandang Arman tak percaya, meski terpaksa ia harus melangkah masuk.
Kini, Arman benar-benar ingin sendiri. Perlahan ia mengeluarkan dompet lalu membukanya, sesosok wanita cantik tengah tersenyum manis dalam foto yang terselip di dalam dompetnya. "Fan, sampai saat ini pertanyaan di kepalaku tidak ingin enyah." Jeda sejenak. "Kenapa? Kenapa secepat itu kamu pergi dariku? Kenapa secepat itu kamu meninggalkanku, Fan?" Selalu itu. Yang Arman pikirkan ketika mengingat Almarhumah istrinya.
Maira yang diam-diam mendengar dari balik tembok tidak terasa menitikan butiran bening dari iris mata sendunya. "Mau sampai kapan? Mau sampai kapan terus terdiam dalam pesakitan yang sama? Mau sampai kapan mengulang-ulang luka yang sama? Tidakkah kamu lelah? Andai saja kamu katakan, apa darinya yang tidak bisa kamu lupakan, aku bersedia berubah menjadi orang lain hanya untuk dapat kamu perhatikan. Tapi, sayangnya tidak. Jangankan menjadi orang lain. Bahkan jadi diri sendiri pun tak pernah kau lirik atau perhatikan sedikitpun, lalu aku harus apa? Aku harus bagaimana? Aku aktif, kamu risih. Giliran aku diam kau malah semakin dingin." Maira menghapus air matanya kasar, lalu melangkah cepat menuju kamar, setibanya di sana Maira langsung menghempas tubuhnya ketempat tidur. Saat ini Maira benar-benar ingin meluapkan isi hatinya. Ia menangis di sana.
"Apa kamu pikir, dengan menangis disitu semuanya bisa selesai?"
Suara itu seketika menghentikan tangisan Maira. Ia bangkit dari tidurnya, namun tidak berani menoleh. Dia menghapus cepat air matanya, kemudian berbalik. Sosok perempuan cantik, berpakaian rapi ala pemimpin perusahaan besar tengah berdiri di ambang pintu dengan Nazhira di gendongannya. Wajahnya lembut namun sifatnya tegas. "Mbak?! Mbak di sini?"
"Kenapa? Kamu keberatan aku dateng? Apa harus laporan dulu kalau mau ke sini? Apa saya tidak boleh merindukan ponakanku?" Perempuan itu langsung membombardir Maira dengan pertanyaan sembari berjalan menghampirinya.
Maira cengo tak mampu berkata-kata, perempuan itu benar-benar membuatnya bungkam.
"Kamu ini, jadi perempuan cengeng banget! Nih gendong anak kamu." Perempuan itu mengalihkan Nazhira ke tangannya. "Ingat! Zhira butuh perempuan yang kuat untuk jadi ibunya, mengerti?"
"I-iya, Mbak," Jawab Maira terbata-bata.
"Di mana Arman?" Tanya perempuan itu lagi.
"Mas Arman di balkon lantai dua, Mbak," jawab Maira.
Tanpa balasan lagi perempuan itu langsung menuju tempat yang Maira katakan. Setelah di sana dia benar-benar menggeleng tak percaya karena menemukan Arman tengah melamun, dan di tangannya terdapat foto almarhumah istri pertamanya. Perlahan ia mendekati Arman, tanpa segan ia menekan pemantik korek api lalu mengarahkan pada foto yang Arman pegang.
Awalnya Arman tidak sadar, dia terlalu larut dalam ingatan masalalu. Namun tersadar ketika api mulai menjalar hampir ke tangannya. Reflek Arman melepas fotonya ke lantai. Lelaki itu langsung naik pitam, darahnya seakan mendidih, tangannya pun terkepal erat. Melihat foto itu setengah terbakar "Berani sekali kau membakar foto istriku!!" Bentak Arman sambil menujuk muka si pelaku. Akan tetapi, kemarahannya langsung luntur ketika tahu orang dibalik itu semua.
"Kenapa? Kamu tidak suka?"
Arman terkejut bukan main melihat Kakak dari almarhumah Fanya ada di rumah. "Kenapa bisa disini?" Tanyanya agak sedikit sarkas.
"Ish!! Gak istri, gak suami sama aja." Jeda beberapa detik. "Emang Mbak harus izin dulu kalo mau kesini?" Tanyanya ketus lalu duduk di kursi panjang yang sejak tadi diduduki Arman.
"Ya! Ya bukan gitu. Mbak kenapa harus bakar foto Fanya? Dia itu adik Mbak sendiri, kenapa setega itu membakar fotonya?"
"Iya! Mbak memang sengaja! Dan mungkin, dia akan senang karena mbak membantumu mengikhlaskannya. Kamu fikir dengan terus seperti ini dia akan senang di sana? Kenapa kamu setega itu sama Fanya? Kamu tidak memikirkan ini sama sekali. Dengan kamu menyakiti Maira terus menerus, itu artinya kamu menyakiti Fanya tanpa henti. Maira itu amanah! Jika kamu tidak mampu melaksanakannya, setidaknya berhenti menyakitinya, Arman. Cerai sajalah."
Arman diam.
"Kalian bisa membohongi keluarga besar kita. Tapi, jangan harap kalian bisa membohongi saya dengan berpura-pura bahagia," ucap Vania sedikit membentak.
Kata-kata Vania membuat Arman bungkam. Mau seberapa keraspun ia memungkiri, semua tetap sama! Apa yang dikatakan Vania benar adanya, dalam hati kecilnya selalu terbesit keraguan di mana satu sisi dirinya tidak mau menerima Maira. Namun, di sisi lain ia harus memikirkan sang buah hati.
"Saya tidak bisa! benar-benar tidak bisa mencintai wanita lain. Saya sangat mencintai Fanya, tidak mungkin menggantikan dia dengan wanita lain." Kali ini Arman mencoba jujur.
Vania mendesah frustasi, ia tak habis pikir dengan pemikiran Arman. Memang! Almarhumah adiknya begitu beruntung karena bisa mendapat suami yang begitu mencintainya. Tapi, bagi dirinya Arman sangat keterlaluan jika sampai mengabaikan amanah dari Almarhumah Fanya. Sedang di luar sana ia sibuk mencari pelarian dengan wanita lain. Apa Arman selabil itu? Atau itu hanya trik Arman untuk membuat Maira menjauhinya?
"Oke! Kalau begitu. Kamu pilih! Mau menerima Maira? Atau, Zhira aku bawa pulang? Walaupun cucu Mama Papa tidak hanya Nazhira. Tapi, mereka masih mampu merawatnya," cetus Vania menekankan.
"Saya tidak akan membiarkan Mbak membawa putriku."
"Kamu pikir Mbak peduli," jawabnya lalu melangkah masuk.
____________________________________
Thanks yang udah mau sabar nunggu.
Maaf jika upnya terlalu lama😂✌
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Humaira ✔
Spiritual(Romance-Spiritual) Tahap Revisi. "Disaat kau merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah. Maka, bagaimana cinta terbalaskan, itu tak penting lagi. Karena yang paling penting bagimu saat itu adalah melihatnya bahagia, sekalipun bukan dengan...