" Semuanya udah beres. Sekarang gue butuh refreshing."
Dara mematut wajahnya di depan meja rias. Memperhatikan baik-baik wajahnya secara keseluruhan. Hal yang belakangan ini jarang Dara lakukan. Kantung mata yang menghitam karna tidur terlalu malam. Sebenarnya kantung mata Dara menghitam setiap saat. Karna cewek itu mengalami insomnia akut sejak SMP.
Bibirnya pucat. Sudah jelas karna anemia yang Dara alami. Tentu saja hal itu disebabkan oleh tidurnya yang tidak teratur. Dulu Dara sempat meminum obat tidur tanpa resep dokter. Itu membuat Dara ketergantungan hingga efeknya semakin terasa saat ini.
Dalam satu hari Dara sering tidak tidur sama sekali. Kadang juga Dara bisa tidur siang dan itupun tidak lebih dari satu jam. Entah sejak kapan ini semua dimulai. Bisa jadi sejak Dara menyaksikan pertengkaran hebat mama dan papanya dulu. Saat cewek itu masih duduk di bangku kelas 6 SD.
Saat itu Dara tengah belajar untuk persiapan Ujian Nasionalnya. Semua masih terekam jelas di ingatan Dara bagaimana bunyi vas bunga terjatuh dan bunyi tamparan yang begitu menyesakkan dada.
" Kamu nggak bisa bawa dia kesini! Dia bukan anak kita!" Farah berteriak histeris. Dara tidak mengerti apa permasalahan mama dan papanya hingga membuat Farah harus berteriak penuh emosi pada malam hari seperti ini.
Dara berusaha mengabaikan suara ribut tepat di samping kamarnya. Cewek itu memasang headphone kemudian kembali melanjutkan bacaannya tanpa memutar lagu.
" Dia anak saya! Ini rumah saya, jadi saya berhak membawa siapapun kesini!" giliran Fadli yang berbicara lantang. Bahkan saat Dara memakai headphone pun suara itu terdengar jelas.
Membuka headphone dan meninggalkan bukunya, Dara berjalan mengendap ke arah dinding yang menjadi pembatas antara kamarnya dan kamar orang tuanya. Suara ribut itu semakin terdengar jelas.Benda-benda berjatuhan, Farah semakin gencar menangis histeris dengan mulutnya yang meracau tak jelas.
Jantung Dara berdetak cepat. Ia mulai mengerti kondisi saat ini. Walaupun tidak tau penyebabnya, yang jelas mama dan papanya tengah bertengkar hebat. Dengan jantung yang tak karuan, Dara semakin menajamkan indra pendengarannya. Berusaha mendengar lebih dari apa yang kedua orangtuanya bicarakan. Memang tidak sopan, tapi rasa penasaran dapat mengambil alih pikiran seseorang.
" Aku nggak setuju!" Farah berteriak dengan suara yang bergetar karna tangisnya. Tanpa Dara sadari, air matanya menetes. Dara ingin berhenti mendengar ini semua. Tapi justru kakinya tidak bisa bergerak sedikitpun.
Perlahan tangis itu semakin menjadi. Dara menangis dalam diam. Menangisi kedua orang tuanya yang tidak peduli padanya. Dara terduduk di lantai, memeluk kedua lutut yang ia tekuk. Wajahnya ia sembunyikan diantara lutut. Menahan sebisa mungkin isakan yang mendesak keluar.
Kedua orangtuanya mungkin tidak peduli jika Dara menangis histeris sekalipun. Mereka terlalu egois. Racauan Farah semakin tidak jelas. Juga Fadli semakin gencar berteriak lantang. Mereka berdua tidak peduli jika Dara atau bu Ani sekalipun mendengar.
Kepala Dara berdenyut hebat. Telinganya semakin panas mendengar bunyi pertengkaran di samping kamarnya. Entah sudah berapa banyak benda yang pecah di dalam sana. Dara takut, Dara ingin pergi. Tapi seolah seluruh tubuhnya beku, Dara tetap pada posisinya.
" Minggu ini dia akan tinggal disini! Saya tidak peduli jika kamu tidak setuju, ini rumah saya. Jadi saya berhak membawa siapa saja kesini! Termasuk selingkuhan saya sekalipun!" Usai mendengar papanya berbicara seperti itu, Dara berdiri lalu secepat ia bisa, Dara berlari keluar kamar.
" Papa!" Dara berteriak memanggil papanya yang berjalan cepat menuju pintu utama. Tangisannya semakin menjadi. Dengan wajah berantakan, Dara berlari mengejak papanya. " Papa!" teriak Dara sekali lagi. Tapi tetap saja Fadli melanjutkan langkahnya. Bahkan pria itu tidak menolehkan kepalanya sedikitpun.
" Papa.." Dara menarik lengan kemeja yang dipakai papanya. Membuat pria itu menoleh dan menatap datar Dara. " Papa harus pergi Dara!" Ucap pria itu menarik paksa tangannya. Dara tersentak dan sedikit mundur dari pijakannya.
Tak menyerah, Dara meraih kembali lengan papanya. Memeluk erat-erat agar Fadli tidak dapat menariknya lagi. " Papa mau kemana? Jangan tinggalin Dara sama mama.." Ucap Dara memohon. Wajahnya berantakan dengan rambut yang menempel karna air mata. " Papa cuman sebentar! Sana masuk!" Balas Fadli lagi-lagi melepas paksa tangannya.
" Papa..." Dara semakin erat memeluk lengan kekar Fadli yang terasa dingin.
" Papa bilang masuk Dara!" Lagi-lagi Fadli membentaknya. Tapi Dara tidak peduli. Ia tetap memeluk lengan papanya tanpa berniat melonggarkan pelukannya sedikitpun.
" Nggak mau.." Ucap Dara masih dengan tangis yang belum sepenuhnya reda. Fadli dengan kasar menghempaskan tangan Dara membuat cewek itu mundur beberapa langkah. Dara menatap nanar Fadli, tapi Fadli justru menatap Dara dengan sorot penuh amarah.
Plaakk!
" Papa bilang masuk, ya masuk Dara!"
Dara merasakan panas menjalar di pipinya. Merambat perlahan menyisakan jejak lima jari Fadli yang baru saja menamparnya. Bagaimana dengan jelas suara itu terekam di memorinya. Juga sakit yang menyesakkan dada. Bukan sakit di pipi yang membuat Dara meneteskan air matanya lagi. Lebih kepada rasa kecewa yang semakin bertambah pada papanya.
Dengan kasar Fadli meninggalkan Dara yang sekarang terduduk pasca ditampar papanya. Fadli tidak berbicara apapun setelah itu. Pria itu meninggalkan Dara menuju mobilnya di garasi.
Tidak lama kemudian Dara merasa silau di matanya saat lampu mobil Fadli menyorot tepat di wajahnya. Kemudian mobil itu keluar dari pekarangan rumah mewah yang terasa sangat sepi.
Perih di pipi Dara disamarkan oleh sakit hatinya. Melihat Fadli yang pergi begitu saja setelah menampar Dara untuk pertama kalinya. Kadang Dara berpikir, bagaimana seseorang seperti Fadli bisa menjadi ayahnya?
Air mata itu sudah berhenti menetes. Dara sadar, sebanyak apapun ia meneteskan air matanya, tetap saja Fadli atau bahkan Farah tidak akan peduli. Jadi ia memutuskan untuk berhenti menangis, menghampus kasar air mata di pipinya.
Kemudian ia berdiri meninggalkan halaman rumah untuk masuk ke kamarnya. Farah masih berteriak histeris. Bu Ani terlihat panik melihat wajah kacau Dara. Tapi Dara tidak peduli apapun saat ini.
Menulikan telinga, Dara membanting pintu kamarnya. Cewek itu masuk ke kamar mandi, menghidupkan shower yang memancarkan air dingin. Ia duduk di bawah shower itu. Tanpa pergerakan yang berarti, Dara menikmati guyuran air dingin bahkan saat jarum jam menunjuk angka 2 malam.
Dara tidak memikirkan apapun, tidak pula merenungkan apa yang ia alami saat ini. Dara hanya menatap kosong dinding di depannya. Dengan piyama yang basah kuyup, Dara terdiam di bawah guyuran air dingin hingga satu jam lamanya.
Bahkan saat keesokan harinya, Bu Ani menemukan Dara pingsan dengan shower yang masih hidup. Dara tidak terlalu jelas mengingat itu semua.
Tapi satu hal yang masih sangat membekas hingga saat ini yaitu, tamparan Fadli cukup untuk menyadarkan Dara bahwa tidak ada satupun orang yang peduli padanya kecuali Anggara, kakeknya.
-0o0-
Cowok itu menatap datar wajah seorang perempuan yang lebih pendek darinya. Sedangkan si cewe mendongak agar ia bisa melihat wajah si cowok.
" Jadi gimana?" Tanya cewek itu memastikan.
" Apa yang bisa gue dapetin?"
" Dendam lo bakal tersalurkan, mungkin?"
" Gue nggak punya dendam sama dia."
" Yakin? Bahkan setelah lo tau nyokap dia yang ngancurin keluarga lo?"
Rahang cowok itu mengeras. Berusaha untuk tidak melampiaskan amarahnya yang tiba-tiba tersulut hanya karna ada yang membahas keluarganya. Dengan kedua tangan yang mengepal di samping tubuhnya, cowok itu menjawab
" Gue terima."
Kini giliran cewek itu yang tersenyum licik. Otaknya menyusun banyak rencana agar dendam yang keduanya miliki bisa mereka lampiaskan pada orang yang sama.
Tunggu aja..
Lucha, 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucha || END ✅
Novela JuvenilHighest rank #22 in quotes [210119] *** Berawal dari pertemuan di depan gudang yang tidak disengaja. Alfy dan Dara terus terjebak pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mereka terjebak drama yang mengharuskan Alfy berperan sebagai pacar Dara dalam w...