Sebelas

24.7K 1.1K 9
                                    

"Sedang....memikirkanku?"

Lisa menghela nafas tanpa menjawab ia sudah tahu siapa seseorang yang menyapa nya ini, ntah mengapa belakangan ini lelaki yang sedang menatapnya ini sering berada disekitarnya.

"Kkak ngapain dsini? Bukannya kakak gak masuk kelas ini ya?" Tanya Lisa yang sedikit risih.

Bukan apa apa tapi karena kesalahapahaman ia jadi brtengkar dengan Jisoo gara gara lelaki ini dan sekarang secara tiba tiba ia datang menemui Lisa.

Bagaimana kalau Jisoo ngelihat?

Harus ngasih penjelasan gimana lagi pada Jisoo?

Bukannya merasa tersindir lelaki itu malah tertawa renyah "Galak amat mbak, aku kesini cuma buat ngingetin kamu jam 1 nanti ada rapat bem, jangan sampe kamu absen lagi"

"Oke? sampai jumpa nanti"

Lisa benwr benar lupa, faktanya dia adalah salah satu anggota bem dikampusnya, spertinya sudah belasan kali ia absen dalam rapat.

Lisa menatap lelaki yang baru pergi itu hingga tak terlihat lagi. Ia lupa selain senior dan assisten dosen lelaki itu juga wakil ketua bem di kampusnya.

Terlalu banyak kemungkinan mereka bisa bertemu dan semakin sulit juga menjelaskan pada Jisoo nanti.

Dan pada akhirnya disinilah Lisa, sudah berada tiga jam diruang rapat. Bahkan rapat yang seharusnya dimulai jam satu molor menjadi jam dua.

Bukan hanya molor jam dimulainya tetapi adu argumen dari sang ketua dan wakil bem itu juga tak pernah ada habisnya hingga waktu tiga jam yang mereka habiskan disini hanya berisi dengan argumen mereka berdua saja.

Seperti sekarang ini.

"Bagaimana kalau dana amal yang akan kita galang disalurkan panti asuhan diperbatasan kota?"

"Beberapa nya bisa kita berikan kepada anak anak penderita kanker di rumah sakit yang berada diperbatasan kota"

"Akan lebih praktis kalau kita serahkan ke satu pihak saja, toh sama sama membantukan?"

"Praktis?" Hanbin tersenyum miring. Ia mendecih

"...untuk kegiatan amal begini kamu masih mikirin praktis?

Hanbin mengulang kalimatnya, ia berharap pendengarannya lah yang salah menangkap kalimat dari sang ketua.

Lelaki yang duduk didepannya itu mengangguk mantab "Iya...prak..tis"

"Jadi kita tidak akan direpotkan dengan hal seperti itu" sambungnya lagi.

Hanbin merapatkan giginya, wajahnya sudah benar benar memerah.

Ia marah.

Tepat sebelum satu pukulan kencang sampai ke wajah sang ketua beberapa lelaki yang sudah melihat gelagat Hanbin sudah memegang tangannya untuk menahannya.

"Bobby Andronio, Bisa - bisanya membantu orang kamu bilang merepotkann? Dimana otakmu?!!" Triak Hanbin kesal.

Nafasnya memburu wajahnya bernar benar memerah.

Ia tak habis fikir bagaimana bisa sang ketua bisa berkata serendah itu dengan santai.

Ingin rasanya ia memberi pelajaran pada sang ketua angkuh ini andai saja tidak ada anggota lain yang menahannya.

Sang ketua, Bobby hanya tersenyum sinis. Ia memainkan jari - jarinya.

Bobby tak memusingkannya dan bahkan ia masih duduk dengan tenang.

"Penggalangan sudah bisa kita mulai dari besok, kita akan mengumpulkan dana nya selama seminggu..." ucapnya tegas.

Bobby memandang satu persatu anggotanya dan matanya berhenti pada satu sosok lelaki yang masih menatapnya tajam.

Bobby mendecih pelan.

"Semua orang harus terlibat....bahkan meski dia assisten dosen yang sangat sibuk sekalipun" sambung Bobby kembali yang hampir mendapat terkaman dari Hanbin lagi seandainya tak ada yang menghalangi nya

Lagi.

Jelas saja memang Bobby menyindir Hanbin secara terang terangan karena hanya Hanbin lah assisten dosen disini.

Bobby tersenyum sinis "Rapat selesai"

Itulah Bobby Andronio, memang tipe ketua yang seenaknya dan memerintah semua orang. Tidak menerima kesalahan apalagi penolakan.

Satu sisi yang tidak semua orang tahu, Bobby adalah seorang anak korban broken home. Sebenarnya pada saat diluar dia seorang yang pendiam dan lebih sering mengasingkan dirinya sendiri.

Namun ia akan berubah menjadi keras kepala dan mengintimidasi saat dalam organisasi.

Seperti tadi.

Hanbin menatap kepergian Bobby hingga lelaki itu  menghilang dari pandangannya.

Hanbin dan Bobby, mereka memang selalu bertengkar.

Tidka perduli dimanapun dan kapanpu.

Sudah menjadi kewajiban tak tertulis bagi siapa saja yang melihat mereka berdekatan paling tidak berjarak 5 meter harus segera menjauhkan salah satunya.

Jika tidak pasti ada saja masalah yang akan diributkan.

Meski begitu siapa yang akan mengira bahkan sebenarnya dulu Bobby dan Hanbin adalah sahabat dekat.

Bahkan sangat dekat sampai beberapa tahun lalu.

***

Seorang lelaki berdiri di rooftop sebuah rumah sakit.

Matanya menatap hamparan atap gedung maupun rumah didepannya. Sebenarnya hanya keliatannya saja ia menatap serius padahal aslinya tatapannya kosong, fikirannya juga sedang tidak disana.

Sepuluh menit bergulat dengan fikirannya, lelaki itu menghela nafas pelan. Ia tersadar dan berjalan masuk kedalam rumah sakit.

"Dok?"

Lelaki yang sedang memakai kemeja cokelat muda dengan lengan baju yang sedikit digulung itu pun menatap keasal suara.

Kearah perempuan cantik yang menggunakan seragam putih khas.

Lelaki itu tak bergeming, ia hanya diam namun tanpa dia bersuara semua orang sudah tahu jelas ia sedang menunggu sambungan kalimat sang pemanggil itu.

"Terima kasih makanannya..."

"

Rasanya sangat enak, dokter ternyata jago memasak ya?woaahh" gadis yang memanggilnya itu tersenyum manis wajahnya memerah.

Hening

Lelaki itu masih diam menatap lurus kearah gadis berseragam putih itu.

Merasa ada yang salah dengan kalimatnya gadis itu menutup mulutnya dan menunduk menghindari tatapan dingin lelaki itu "Maaf dok.."

"Makanannya enak dan terima kasih sekali lagi..." ulangnya lagi dan berjalan meninggalkan lelaki yang masih diam di tempatnya.

Lelaki itu menatap sang gadis yang meninggalkannya dengan terburu - buru.

"...enak?"

ICE BOY [PP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang