"Kamu..."
"Siapa?"
"Ah tidak, aku rasa kita tidak saling kenal. Aku hanya tanpa sengaja melihat kaki mu dan dari pertama aku melihat caramu berjalan sangat jelas kaki mu itu memar" ucapnya sembari menunjuk ke arah kaki Lisa sebelah kanan.
Lisa mengeryitkan dahi "Benarkah? Tapi suara mu sangat familiar" tanya Lisa lagi yang masih yakin bahwa pendapatnya itu benar.
"Hmm bisakah kita memabahas luka mu dahulu baru berdebat setelahnya?" Lelaki itu berjalan mendekati Lisa untuk melihat luka memarnya lebih dekat "Aku tidak tahan melihat warnanya, apa kau sudah memberi pertolongan pertama? Misalnya dengan mengompresnya?"
Lisa tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum dengan polosnya "Ah sepertinya aku lupa" ucap Lisa setelah mengingat ia hanya membasuhnya ketika mandi tidak mengompresnya.
"Apa itu penting?" Tanya Lisa polos.
"Seseorang juga nenyarankan ku untuk mengompresnya sesaat setelah aku mendapatkan memar ini" sambung Lisa melirik kearah kaki kanannya.
"Dan kau tidak mengikuti sarannya? Ck! Aku memang tidak berhak mengaturmu aku hanya memberi saran, saat sampai dirumah bersih kan tubuhmu dan jangan lupa kompres kaki kanan mu"
'Bersihkan tubuh mu saat sampai rumah dan jangan lupa kompres kaki kanan mu'
Deg!!
Lisa membulatkan matanya, meskipun ingatannya terkadang buruk tetapi Lisa sangat yakin ingatannya saat ini tisak salah. "Nah kan benar! Kita pasti sudah pernah bertemu! Bahkan kalimatnya pun sama!" Seru Lisa yang membuat lelaki di depannya bingung.
Lelaki itu menggeleng pelan "Ah aku tidak yakin"
"Ah tapi, kenapa rasanya sakit sekali? Apa aku perlu periksa ke dokter?" Ringis Lisa berjongkok menatap kaki kanannya.
Sebenarnya memang dari semalam kakinya terasa sakit bahkan dia berusaha menahannya saat ia berada di panti asuhan tadi agar tidak membuat yang lainnya khawatir.
Lelaki itu tampak berfikir "Kau bisa ikut aku sebentar?"
Lisa mengalihkan pandangannya ke arah lelaki berkemaja biru tua itu "Kemana?"
"Aku memiliki obat pereda rasa nyeri, mungkin bisa mengurangi sakit mu?" Tawar lelaki yang masih menatap memar Lisa.
Lelaki itu masih menatap memar Lisa dengan intens, bahkan membuat Lisa yang notabene sebagai pemilik kaki menjadi malu. Pria itu bahkan lebih banyak menatap memarnya ketimbang wajah Lisa.
Lisa masih diam menimbang - nimbang untuk menerima atau menolak ajakan pria di depannya ini.
Lisa sama sekali tidak mengenal lelaki di depannya, apkah dia bisa di percaya dan lagi menurutnya apa ini tidak berlebihan hanya untuk sebuah luka memar?
"Apa kau dokter?" Akhirnya setelah menimbang kalimat itulah yang terlontar oleh Lisa yang dijawab dengan anggukan lelaki tersebut.
"Mungkin bisa di bilang seperti itu, apa sekarang kau mau ikut? Karena setelah ini ada yang harus aku kerjakan" jawabnya yang memang beberapa kali melirik kearah jam tangannya.
Lisa lalu mengangguk yang kemudian mengekori lelaki berkemeja biru tua itu menuju ke sebuah ruangan.
"Tunggu di sini sebentar, aku akan kembali"
Lisa hanya mengangguk dan menatap Lelaki itu hingga hilang di balik pintu. Lisa kembali mengedarkan pandangannya menatap sekelilingnya. Menatap ruangan dengan dominasi warna putih di dalamnya.
Tak banyak barang diruangan ini. Hanya satu meja, tiga kursi, satu ranjang khas rumah sakit dan sebuah rak yang berisi banyak kertas serta map - map tersusun rapi di sana. Khas ruangan dokter pada umumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ICE BOY [PP]
Teen Fiction[Beberapa part sudah dihapus untuk kepentingan penerbitan] "Dia adalah pria dingin yang berbicara dengan mulut pedasnya" "Dia adalah pria dingin yang membentengi diri dengan ekpresi datarnya" "Dia adalah pria dingin yang tertidur diruang kerja hanya...