"Ma'am?" seorang pelayan memanggilnya bingung karena Inanna menangis.
"Aku tak apa... Di sini sangat dingin makanya aku menangis."
"Maafkan kami jika makanannya kurang enak. Kami bisa mengambilkan—"
"Kenapa di luar salju turun deras..."
"Inanna?"
Inanna tidak mempedulikan pelayan itu. Ia hanya menatap pantulan wajahnya di dinding kaca hingga panggilan namanya kembali terdengar.
"Inanna!"
Inanna tersentak. Mengerjapkan matanya berkali-kali sebelum menatap pantulan wajahnya di cermin besar di depannya.
Sial! Kenapa bisa masa lalu menghampirinya?!
"Kau melamun?"
Inanna melirik wanita dengan rambut pirang ombre yang baru selesai mendandani dirinya lewat pantulan cermin. Ia tersenyum kaku sebelum kembali menatap dirinya di cermin.
"Dan berkeringat. Oh great! Aku harus menambah bedakmu."
Inanna mencoba tertawa dengan gurauan wanita itu. Hari demi hari berlalu dengan Inanna yang mempelajari tentang football walau hanya garis besarnya saja. Dan akhirnya ia bertemu dengan Minggu malam. Menurut Inanna, ia sudah menyiapkan dirinya dari jauh-jauh hari. Tapi tetap saja ia masih gugup.
"Kau pernah mewawancarai Pallas, ingat? Tapi kau sangat gugup sekarang. Well, aku tahu bagaimana pesona Christian McKale. Dengan otot-ototnya yang keras—"
"Thanks, Ruby." Inanna memotong pujian Ruby yang langsung mendengus lalu tersenyum.
"15 menit lagi waktumu. Nikmatilah." Ruby meninggalkan Inanna sendiri di ruang rias.
Sepeninggalan Ruby, Inanna kembali melamun seraya memainkan cincinnya. Entah berapa lama Inanna memainkan cincin di jari manisnya. Itulah yang dilakukannya jika kegugupan melanda dirinya. Inanna mendesah lalu menumpukan dahi di ujung jarinya yang bertumpu pada siku. Entah berapa kali Inanna mendesah dan menghela nafas, berharap bisa menghilangkan kegundahan hatinya. Ia belum siap dan sama sekali tidak ingin bertemu dengan Christian.
Saat ia kembali menatap cermin depannya ia langsung terkejut. Dengan cepat Inanna berdiri lalu membalikkan badannya, menatap pria yang sedari tadi hanya diam bersandar di kusen pintu tengah memperhatikannya.
"Long time no see, Pumpkin."
Mata hijaunya. Rambut hitam sebahunya, bibir merah mudanya. Dan sikap gugupnya... Tidak ada yang berubah. Masih Inanna dulu. Mata Christian sedikit menghangat. Tapi saat melihat sebuah benda dijari manis wanita itu, perlahan tatapannya menjadi dingin.
Inanna hanya terdiam di tempat dengan gugup tanpa niat ingin menjawab. Dan pria itu menyadari hal tersebut saat melihat Inanna masih menggeluti cincin asing di jari manisnya. Bukan cincin pemberiannya dulu karena Inanna sudah meninggalkan cincin itu di meja makan restoran.
"Kau sangat baik tidak mengabari hal bahagiamu."
Inanna berdeham dan refleks menyembunyikan tangannya di belakang tubuhnya. "Apa yang Anda lakukan di sini, Mr. McKale?"
Setelah bertanya, Inanna sedikit mengerutkan dahinya. Kenapa dia menyembunyikan jarinya? Bukankah ini yang ia inginkan?
Christian tersenyum sinis. Ia maju beberapa langkah membuat Inanna mundur dengan gelagapan.
"Sir—" Bokong Inanna sudah menyentuh meja rias di belakangnya. Dan hal itu semakin membuat Inanna panik melihat Christian tetap berjalan.
"Kita harus ke studio sekarang..." Inanna semakin panik saat Christian tidak bersuara. Pria itu hanya tetap berjalan lambat menuju Inanna seperti singa dominan yang lapar. Inanna melirik ke segala arah hingga ia merasakan aroma dan hembusan nafas Christian. Aroma yang ia rindukan... "Christian!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CLEVER VENUS [#3 VENUS SERIES]
RomanceThe third book of Venus Series [21+] Beberapa chapter di private. Follow aku dulu untuk baca chapter lengkapnya. Mulanya Inanna Paparizou merasa keluarga kecil yang ia ciptakan akan baik-baik saja, tentu saja dirinya dan kedua anaknya. Tap...