Definisi bahagia bagi seorang Jeon Jungkook itu cukup sederhana; menemani Yui dan Ai dalam durasi waktu yang lama lalu mencari cara untuk membuat keduanya tertawa riang, hal itu sudah sangat berarti―membuatnya sedikit banyak merasa bangga telah menjadi seorang ayah yang bertanggung jawab. Setidaknya, walau ia kerap melimpahkan tanggung jawab pada kakak iparnya juga―Jungkook masih dapat membagi waktu meski akhir-akhir ini terasa makin sulit terlebih lagi ketika ia mendapat banyak tawaran menggiurkan dalam pekerjaannya.
Jika boleh jujur, perbandingan cinta antara kedua buah hati serta pekerjaannya hanyalah sedikit. Ia menaruh sepuluh persen lebihnya pada Yui dan Ai―bisa terhitung berapa besar cintanya terhadap pekerjaannya kini; hanya dibatasi sepuluh persen saja. Karena itu Jungkook merasa bahwa sesuatu makin mendesaknya. Terlebih lagi, Lizzie Nam―mulai sibuk mengurusi butiknya dan tak cukup waktu jika harus merawat putra-putri Jungkook.
Jungkook sendiri pernah beberapa kali menerka, mengenai misteri di balik hambarnya rumah tangga Seokjin dan Lizzie yang belum dikaruniai seorang anak pun―ia pikir Tuhan belum dapat memercayakan kehadiran bayi mungil di tengah-tengah kesibukan pasangan itu, kelewat workaholic menurutnya, padahal Jungkook sendiri merasa sama. Tapi setidaknya, ia tak merasakan kehidupan yang teramat hambar dengan hadirnya Yui dan Ai; anugerah terindah yang telah Tuhan percayakan padanya.
Sejam lalu ia telah menidurkan Yui dan Ai, ya―meski pun agak kesusahan karena harus menidurkan satu persatu sebab kamar keduanya kini berada di ruangan berbeda padahal sebelumnya kedua bocah itu terbiasa tidur bersama. Ia masih harus menata beberapa barang, mungkin besok―bertepatan dengan hari libur.
Harusnya esok ia bisa bersantai, berselonjor sambil membaca satu dari ratusan koleksi buku di perpustakaan kecilnya―menemani dua bocah kesayangannya bermain game sambil menikmati sereal atau mungkin bermain piano di ruangan khusus yang ia sediakan. Sayangnya Jungkook hanya bisa menghela napas, mengubur keinginannya tersebut sedalam mungkin.
Pukul sembilan tiga puluh, ia hadir di balkon kamar dengan secangkir kopi seduhannya sendiri―disambut embusan angin yang cukup membuatnya menggigil. Perlahan ia mengusap lengannya yang berbalut turtleneck sweater berwarna hitam lalu menghela napas. Selang beberapa menit kemudian―saat bibir pria itu telah bercumbu dengan pinggiran cangkir, hendak menyesap kafein hitam favoritnya, tiba-tiba saja suara tawa cukup memekakkan dari dua orang gadis berhasil menyita perhatian.
Tangan kiri pria itu menggantung di udara dengan memegangi tangkai cangkir, menyangga dagu dengan tangan kanan yang bertumpu pada pagar balkon lalu maniknya memandang asyik dua orang gadis yang masih mengobrol nyaman di atas Maserati dengan atap terbuka yang mereka tumpangi. Suara mereka memecah keheningan malam dan seisi gang bisa saja mendengarnya.
Gadis dengan mantel hangat berwarna cokelat turun dari kendaraan roda empat itu, tersenyum begitu lebar sembari melantunkan ucapan terima kasih.
"Kurasa besok pacarmu yang harus menjemput," seru si pengemudi dan gadis yang telah turun di depan pagar putih sebuah rumah bertingkat sederhana nampak mengerucutkan bibir―berganti jadi sebuah senyuman paksa.
"Entahlah. Jika kau tidak menjemputku pulang, aku bisa naik bus besok."
Dari sudut yang tak terpantau kedua gadis itu, Jungkook diam-diam menyimak obrolan―seakan merasa ada sebuah medan magnet tengah menarik dirinya untuk ikut dalam alur perbincangan yang biasa para gadis lontarkan seperti cicitan anak burung; heboh, seru atau mungkin―mengguncang. Yang jelas berbeda sekali dengan pria pekerja seumuran Jeon Jungkook―bicara seadanya, memegang teguh mengenai prinsip waktu adalah uang kecuali demi putra-putrinya.
Seohee, si gadis yang mengemudikan mobil nampak menghela napas sejenak. "Sebaiknya kau bicarakan lagi soal hubunganmu dengannya. Mungkin kalian masih bisa menemukan titik terang―"
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Lady
FanficJeon Jungkook; single parent, tampan, mapan, kaya. Duda muda yang mumpuni menjaga kedua buah hatinya itu akhirnya harus mencari belahan jiwa kembali, untuk menjadi pengasuh bagi putra-putrinya yang masih harus mendapat perlakuan khusus dari seorang...