Siang ini Jungkook mengunjungi rumah Jihwan dan mengatakan bahwa Ai mencarinya. Sebenarnya Jungkook sempat merasa canggung harus meminta bantuan pada gadis itu, tapi ia tidak punya pilihan lain demi si bungsu. Terlebih Ai sedang dalam mode manja dan hal tersebut kerap terjadi ketika tubuhnya dalam kondisi tak baik.
Bocah itu masih tampak lemah saat Jihwan berkunjung, tapi sudah bisa tersenyum dan bicara pada Jihwan. Sudah dua jam lamanya gadis itu menemani Ai sambil menunggu Jungkook yang harus menjemput Yui pulang sekolah.
Yang Jihwan tahu, hari ini Jungkook tidak bekerja karena harus mengurus dua buntalan kesayangannya. Biasanya pria itu akan meminta bantuan pada Lizzie, kakak iparnya. Tapi hari ini Lizzie sangat sibuk karena harus mempersiapkan brand-nya untuk launching pakaian bulan depan sementara Seokjin harus bersiap-siap untuk pergi ke luar kota; lagi-lagi urusan pekerjaan.
Tangan Jihwan dengan telaten menyuapi Ai yang terus menatapnya bahagia. Sesekali ia menanggapi Ai yang menggumam atau mengajaknya bicara dan ia belum pernah sekali pun merasa bosan ketika harus menghadapi anak-anak, sebab ia memang menyukainya.
"Hwanie, apakah Hwanie senang bisa bersama Ai?" mendengar itu Jihwan langsung mengalihkan pandangan dari semangkuk bubur di atas pangkuannya. Lalu tersenyum manis sebelum salah satu tangannya terulur ke depan, mengusap puncak kepala bocah lucu itu dengan lembut.
"Tentu saja. Selalu merasa senang bisa bersama-sama dengan Ai dan Yui," jawabnya tulus.
Ai mengerucutkan bibir sekejap. "Kalau bersama Daddy?"
Untuk pertanyaan yang satu itu tampaknya Jihwan masih harus berpikir. Ia tidak mungkin mengutarakan perasaannya terhadap Jungkook pada bocah seperti Ai. Tapi Jihwan tidak sabaran untuk menyulam senyuman, memutuskan untuk mengecup puncak kepala buntalan kesayangannya itu lalu kembali menyuapinya. "Kita akan tahu itu, nanti. Kurasa―segera. Kalau aku sudah merasa yakin."
"Yakin untuk apa, Hwanie?" tanya Ai susah payah sembari mengunyah bubur dalam mulutnya.
Padahal bubur tersebut jelas-jelas sudah lembut dan bisa langsung ditelan. Tapi rasanya sangat hambar ketika seseorang makan hanya dengan tinggal menelannya saja. Ada sensasi yang berbeda ketika biasanya seseorang tersebut harus mengunyah makanan lebih dulu sebelum langsung ditelan. Sama seperti sebuah proses, masing-masing memiliki tahapan―daripada instan tetapi hasilnya tidak maksimal.
Jihwan mengeratkan genggamannya pada sendok, tersenyum. "Yakin untuk memiliki Yui dan Ai seutuhnya," katanya diselingi tawa pelan.
"Ai tidak mengerti artinya, Hwanie. Apa mungkin akan ada pernikahan? Seutuhnya? Apa Ai akan menikah dengan Hwanie?" pertanyaan itu membuat Jihwan tertawa—nyaris kehilangan kendali dan terpaksa menutup mulutnya dengan telapak tangan. Bocah manis yang menggemaskan.
"Ai mau menikah denganku, hm?"
Si bocah langsung menyulam senyuman begitu lebar dengan kelopak mata menyipit. "Sangat ingin! Tapi Ai takut tidak bisa mencium pipi Hwanie di hari pernikahan nanti. Ai terlalu pendek," keluhnya dengan bibir mengerucut. Jihwan tidak bisa berhenti tertawa karenanya. Astaga, anak dan ayah sama saja. Sama-sama ulung dalam menuai rayuan semanis madu.
"Manis, kita akan menyewa kursi tinggi atau Ai bisa meminta Daddy untuk menggendong selama kita berada di altar."
Ai mendadak menyatukan kedua alisnya; sebal dengan bibir mengerucut tinggi. "Tidak boleh! Nanti Daddy malah melempar Ai jauh-jauh lalu menculik Hwanie. Lalu Hwanie tidak jadi menikah dengan Ai." Jihwan menahan tawanya, merasa geli. Ia dibuat merinding oleh seorang bocah. Ai punya fantasi liar sekelas anak-anak rupanya. Sederhana tapi mengguncang isi perut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Lady
Fiksi PenggemarJeon Jungkook; single parent, tampan, mapan, kaya. Duda muda yang mumpuni menjaga kedua buah hatinya itu akhirnya harus mencari belahan jiwa kembali, untuk menjadi pengasuh bagi putra-putrinya yang masih harus mendapat perlakuan khusus dari seorang...