Chapter 29 : Here, to Stay

23.9K 3.8K 765
                                    

Perasaan hancur kini menghantui Namjoon yang tengah terdiam dan merasakan remasan erat dari tangan Jihwan pada mantel hangatnya. Tangan-tangan kurus gadis itu seakan turut mewakili untuk meremas perih hatinya―mengacaukan pikirannya lalu Namjoon mendesah berat dalam sekian detik. Matanya berkaca-kaca selama menahan kekecewaan lantas mulai meraih pergelangan tangan Jihwan untuk digenggam erat, menyingkirkan namun tetap menahan sang gadis agar tetap berada dalam kuasanya. Dalam genggamannya, kemudian menatap intens.

Namjoon melihat air mata Jihwan mengalir deras di pipi―sukses membuatnya tersenyum kecut. Dalam sekejap bibirnya melumat milik Jihwan kelewat dalam―mencari titik ternyaman untuk menikmati rasa manis dari gadisnya sehingga membuat Jihwan melakukan perlawanan dengan memberi pukulan keras pada dada. Jihwan gemetar, menangis, ketakutan saat Namjoon mengungkung seluruh tubuhnya tepat di atas sofa. "Tidak, kumohon―jangan begini," lirih Jihwan. Suaranya berubah parau ketika Namjoon menjatuhkan air mata di pipinya, "Joonie―"

"Hwanie, aku mencintaimu," bisik Namjoon memejam, "aku tidak bisa―tidak sanggup melepaskanmu," sambungnya lagi tanpa mampu menatap ke arah Jihwan yang kini tengah terisak. Jihwan menggeleng begitu menyadari tangan-tangan Namjoon telah bergerak perlahan guna membuka satu-persatu kancing blusnya.

"Ini bukan cinta, Namjoon." Jihwan menangis deras hingga rasa sakit semakin gencar menjalari kerongkongan. Jari-jari lentiknya bergerak menghentikan tangan Namjoon untuk yang kesekian kali―menangkap adanya perasaan bersalah yang kini tersirat dari tatapan mata sang lawan. Namjoon memejam sambil menyemburkan napasnya berat, lalu menyadari bahwa ketegangan dalam tubuhnya mendadak lenyap. "Kau―dibutakan oleh obsesi. Aku harusnya memberitahumu sejak lama."

"Aku takut kehilangan dirimu. Aku menyakitimu agar kau tidak memiliki keberanian untuk berlari ke manapun."

"Aku akan berlari. Aku akan melarikan diri jika memang aku menginginkannya. Bahkan sekalipun kau bersikap baik padaku. Aku akan mengikuti kata hatiku, tidak ingin diperdaya oleh rasa takut selamanya. Jadi―tolong dengarkan aku, Joonie―" Jihwan mengembuskan napasnya gemetar sambil memejamkan mata, "aku ingin ini semua berakhir. Aku tidak ingin bertemu denganmu lagi, aku―menolak lamaranmu, untuk yang pertama dan terakhir kalinya."

....

Jihwan menatap kosong ke arah cermin―lalu sambil memejam sebentar ia mulai menenangkan pikiran. Kemudian meringis hingga rungunya sendiri dapat mendengar jelas, sementara rasa pilu mulai menjalar mencapai pusat pikirannya. Sayatan tipis di tangannya perlahan-lahan mulai mengeluarkan darah, dari setitik kecil lalu berubah menjadi setetes dan mengucur ke dalam wastafel. Jihwan ingin mengalihkan rasa sakit di hatinya dengan cara seperti ini. Sekalipun mengerti bahwa cara tersebut salah―Jihwan tetap saja melakukannya tanpa pikir panjang. Melukai diri sendiri seperti telah menjadi adiksi baginya. Hingga satu sayatan kembali membelai kulit pucatnya―memejamkan mata rapat-rapat lalu menggigit bibir bawah sambil mengerang. Perih dan ngilu yang menyiksa telah membuatnya kehilangan bayang-bayang Namjoon.

Jihwan terbayang akan darahnya yang kini mengalir ke dalam lubang pembuangan setelah air keran dihidupkan kemudian jatuh terduduk karena tungkainya terasa melemah. Silet yang ia gunakan untuk melukai diri kini telah jatuh tergeletak di permukaan marmer. Tubuhnya menggigil kedinginan tatkala rasa sejuk berlebihan mulai menjalar dari telapak kaki yang telanjang. Sambil meringkuk dan memeluk kedua kakinya, Jihwan mulai menyembunyikan wajah di antara kedua lutut, menangis di sana tanpa berniat menghentikan pendarahan pada pergelangan tangan.

Punggungnya bergetar hebat di sela tangisan. Sekali lagi merasa sakit saat pergelangan tangannya tanpa sengaja telah menyenggol bahan blus yang ia kenakan lalu menggigit bibir guna menelan bulat-bulat isakannya. "Maaf, maaf―" bisiknya gemetar.

Kesedihan di wajah Namjoon mulai tergambar samar dalam kepalanya. Melihat pria itu seakan tersiksa batinnya sedikit banyak telah menggoreskan luka pula di hati Jihwan. Rasanya sangat menyebalkan ketika kau mengetahui bahwa seseorang telah merasa tersakiti karenamu. Maka saat ini hal itulah yang tengah Jihwan rasakan sehingga ia memilih opsi salah untuk mengalihkan rasa sakit di batinnya. Hanya untuk sesaat, baginya cara seperti itu cukup mujarab, namun tak berlangsung lama―ingatan beberapa saat lalu pasti akan kembali menghantui. Bersama rasa perih serta ngilu yang menjalari tangan itu pula―Jihwan segera meremas kepalanya erat-erat sembari menggeleng cepat. "Aku salah. Seharusnya tidak boleh begini―seharusnya―" rahangnya langsung menegang dalam sekian detik, murka pada diri sendiri dan menyalahkan kelemahannya.

Young LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang