part 11 : MANTAN

729 28 0
                                    

Happy reading guys....
Buru aja baca...

Bimo baru saja pulang, dia sedang mendorong Tongki memasuki pelataran rumahnya. seperti biasa, Tongki kembali kumat, berhenti tepat saat Bimo baru saja memasuki kawasan kompleks rumahnya.

Baju Bimo bahkan sampai basah oleh keringat karena mendorong Tongki. Wajahnya pun sama, keringat mengucur deras di sana. Tapi dia tak peduli dengan itu semua, karena di pikirannya hanya ada Tari. Dia sangat khawatir dengan keadaan adiknya, karena saat tadi menjemput Tari di sekolah. Tari tak kunjung muncul. Bahkan ponselnya tak bisa dihubungi. Tak seperti Tari seperti biasanya.

Tapi ada kemungkinan Tari sudah sampai rumah. Jadi Bimo buru-buru memasuki rumah. Setibanya di dalam, mata Bimo menggeledahi seluruh sudut rumah. Dia menghembuskan napas lega saat matanya menangkap Tas Tari yang tergeletak di atas sofa. Jadi dia memutuskan menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di dekatnya.

Tak lama kemudian sosok Tari muncul dari arah dapur. Dia masih memakai seragam sekolahnya. Yang lalu ikut duduk di depan Bimo. "Abang dari mana?" Tanyanya sesaat ikut duduk.

"Abang yang harusnya nanya, Tar." Bimo menghembuskan napasnya. "Lo kemana aja sih, Tar. Abang nungguin di depan sekolah lo. Tapi lo gak nongol - nongol," cerocos Bimo.

Tari sedikit menyunggingkan senyuman melihat Bimo yang begitu mengkhawatirkannya. "Anu Bang, Tari di anterin temen."

"Enak banget lo, Abang udah cape-capean nungguin lo. Mana si Tongki kumat lagi."

"Alah, biasanya juga Tari yang nungguin Abang mulu. Tari cape jadi duluan deh, Lagian juga Tari di anterin naik mobil gak usah panas-panasan, apalagi mogok kaya Tongki," jelas Tari panjang lebar.

"lo mah liat yang bagus dikit, Tongki ditinggalin. pantesan aja si Riyan gak betah sama...." Bimo sengaja tak menyelesaikan kalimatnya. Karena dia tau itu salah. Jadi dia buru-buru melirik Tari yang raut mukanya berubah. "Tar, Abang gak bermaksud," ucap Bimo lirih.

Tari hanya diam. Matanya mulai berkaca - kaca. Lalu sedetik kemudian dia bangkit dan pergi dari sana.

Melihat Tari meninggalkannya, Bimo hendak mengejarnya. Tapi dia sadar, dia telah melukai hati Tari. yang pasti akan membuat Tari tak mau mendengarkannya. Dan tak bisa dibujuk dengan candaan seperti biasanya saat Tari merajuk karena dia telat menjemput Tari. Jadi kali ini dia membiarkan Tari sendiri sampai suasana hatinya membaik.

***

Tari sedang duduk di atas ranjangnya sambil memeluk boneka beruang cokelat pemberian ibunya. Hadiah ulang tahun saat Tari berumur 12 tahun. Bukan hanya ibunya yang pernah memberikan Tari boneka beruang, Riyan juga pernah memberikan Boneka beruang besar berwarna biru muda.

Lagi-lagi nama Riyan muncul di kepala Tari, entah mengapa bila mengingatnya membuat Tari meneteskan air mata. Mengingat bagaimana perlakuan dia kepada Tari. Riyan pernah menjadi orang yang istimewa bagi Tari. Karena Riyan Tari dapat melupakan kesedihannya akibat kepergian Ibunya untuk selama-lamanya.

Tapi saat ini, Riyan lah yang menjadi alasan Tari untuk bersedih. Karena Tari takan melupakan apa yang telah Riyan lakukan kepadanya. Mengapa pula Abangnya Bimo menyebut-nyebut nama Riyan kembali. Padahal Abangnya itu tau apa yang terjadi diantara dirinya dan Riyan.

Tari mengelap air mata yang tersisa di pipi dengan punggung tangannya. Lalu dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dia mencoba memejamkan matanya meski air matanya masih menetes. Tapi sedetik kemudian dia terlelap. Melupakan luka lamanya yang tak sengaja tersentuh kembali.

***

Suara dering telepon terus bergema di kamar Tari. Mungkin sekitar 15 kali tanda sambungan terputus terdengar. Tari masih terlelap, dia tak mendengar bunyi ponselnya yang terus menjerit-jerit. Tapi saat ke-16 kali, teleponnya kembali berbunyi dan Tari mulai membuka matanya, mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

Tari mengerjap. Mengucek-ucek matanya. Dia mencoba membaca siapa yang meneleponnya. Tapi tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya. Sambil menekan warna hijau di layar Tari menyerngit heran. "Halo," ucapnya dengan suara serak.

"Hi Tari, kamu baru bangun ya?" Sapa lawan bicara Tari.

Tari mencoba duduk dan bersandar di kepala ranjangnya. "Ini siapa ya?" Tanyanya kemudian.

"Oh iya, gue lupa. Gue, Yuda."

Mendengar Nama itu mata Tari berbinar. "Yuda?" Seru Tari gembira.

"Lo lupa ya, tadi siang lo ngasih nomer lo."

Sambil nyengir Tari memukul jidatnya. Dia lupa. "Oh iya, Gue lupa. Maaf ya."

"Gimana ya? Gue tipe orang yang gak langsung memaafkan," ucap Yuda yang membuat Tari mengangkat alisnya. "Kecuali ada syaratnya."

"Syaratnya apa?"

"Syaratnya... Mau gak malam ini temenin gue cari makan."

"Malam ini?" Tanya Tari.

"Iya malam ini?"

"Mmm, gimana ya...?" Tari berpikir sejenak. Dia teringat dengan kakaknya yang pasti melarangnya pergi. Tapi dia ingin pergi sekali. Ini kesempatan langka, Yuda mengajaknya jalan. Masa dia akan menolaknya.

Tak apa Tari akan mencari caranya, lagi pula hanya untuk satu malam.

"Gimana?" Tanya Yuda kembali.

"Oke."

"Yes," seru Yuda di sana. "Oke, jam 8 gue jemput."

"Tunggu, lo jemput di depan kompleks aja ya."

"Kenapa? Tapi gak apa-apa lah. Oke see you." Yuda menutup panggilannya.

Tari melirik jam dinding. sekarang masih jam setengah delapan. Hanya terisa waktu setengah jam untuknya bersiap-siap. Dia segera berlari memasuki kamar mandi lalu keluar dari kamar mandi 10 menit kemudian lengkap dengan kaos putih kesukaannya dan jeans berwarna biru navy. Dia langsung menghadap cermin, menempelkan bedak tipis di wajahnya. Rambutnya hanya di kuncir seperti biasa yang selalu ia lakukan saat akan pergi ke sekolah. Dia kembali melirik pantulan dirinya di dalam cermin. Sudah seperti apa yang diharapkannya. Dandanannya tak terlalu mencolok. Tari menyambar sebuah Jaket dan menjinjit sepatunya. Lalu dia berjalan pelan ke arah jendela.

Kakaknya pasti tidak akan mengijinkan Tari keluar. Dan kalaupun dia keluar tanpa suara mustahil kakaknya tak akan mengetahuinya. Jadi dia memilih keluar lewat jendela. Ini satu-satunya jalan terbaik menghindari kakaknya. Tari sedikit bersyukur, letak jendelanya tak jauh dari tanah. Jadi saat Tari turun tak akan menimbulkan suara dan juga rasa sakit yang mungkin akan dirasakannya.

Dengan pelan-pelan Tari membuka jendela kamarnya, lalu menaikinya dan akhirnya dia berhasil mendarat mulus di halaman rumahnya.

***

Trouble Boy & Trouble GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang