part 21 : Asisten, Babu & Sopir

597 24 0
                                    

Suara dering alarm membuat tidur Tari terusik, dia menyibakan selimut yang membungkus badannya lalu segera mematikan alarm yang terus menjerit-jerit membangunkan pemiliknya. Ini hari minggu, tak biasa-biasanya dia bangun sepagi ini. Kalau bukan karena tugasnya menjadi asisten Valdo, pasti dia masih tidur.

Tari menguap lebar lalu merentangkan tangannya. Sial. Menjadi asisten Valdo berarti dia harus bangun lebih pagi setiap harinya. Mengingat dia harus jadi sopir Valdo selama dua minggu ini. Kepalanya kembali menerawang kejadian di mobil kemarin. Saat Valdo se-enaknya mengutus Tari menjadi sopirnya.

Saat itu...

"Lo akan jadi sopir gue," ucap cowok itu penuh penekanan tapi matanya tak melirik Tari sedikitpun.

"Lo gila ya?" Teriak Tari dalam mobil itu.

"Panggil gue bos," ucap Valdo memperingati. "Lo asisten gue," lanjutnya.

Di depan, mang Didin tertawa melihat Tari kesal. "Emang kenapa non? Kan enak tiap hari non bisa ketemu den Valdo," ucapnya sambil terkekeh.

Tari dengan kesal melototi mang Didin melalui kaca spion dalam mobil. Dia tak terima itu, justru fakta karena tiap hari akan bertemu Valdo yang membuatnya kesal. "Gue gak bisa nyetir," ketusnya beralih menatap kembali Valdo.

"Gue punya motor," balas Valdo santai.

"Gue gak bisa naik motor."

"Lo cuma alasan aja kan?"

"Gue beneran gak bisa naik motor. Motor lo kan mot-"

"Gue punya motor matic."

Tari terdiam, dia tak bisa berbohong. Karena dia bisa mengendarai motor matic. Dia hanya pasrah saja. Jadi sepanjang perjalanan pulang dia hanya diam memendam kesalnya.

Bahkan sampai pagi ini, kesalnya belum hilang juga. Saat ini dia sedang turun ke bawah, dia akan sarapan lebih dulu sebelum pergi ke rumah Valdo. Dia tak bisa pergi tanpa sarapan atau hal yang tak di inginkan akan terjadi lagi.

Dengan sigap Tari mengoles rotinya dengan selai coklat kesukaannya. Lalu mengunyahnya dengan kesal karena ia kembali teringat dengan Valdo.

"Pagi," sapa Bimo baru memasuki dapur.

"Pagi bang," sapa Tari dengan mulut penuh.

Bimo lalu berjalan mendekatinya, dia berhenti tepat di depan Tari. Lalu memandangi Tari dengan wajah berkerut. "Tumben lo, pagi-pagi udah bangun," celetuknya berpaling menuangkan susu ke gelas.

"Iya, gue, ada urusan."

"Eh ini kan hari minggu, pasti abis kenyang lo tidur lagi kan?"

"Sok tau banget sih bang," ujar Tari sewot.

"Oke Tari jangan marah dong, abang kan cuma becanda." Bimo mengacak-ngacak rambut Tari dengan gemas.

"Ih abang, udah rapi juga."

"Jangan-jangan lo mau jalan sama cowok ya...? Dia kan yang suka jemput sama anterin lo, kalo gak salah namanya Gaga kan?" tebak Bimo sambil membelalakan matanya. "Lo udah move on, Tar?"

"Siapa juga yang mau jalan, lagian tuh anak namanya Yuda. Kita cuma temenan kok," ucapnya, matanya tak beralih dari roti di depannya. "Abang kok kepo gitu sih, bukan urusan abang juga," lanjutnya sedikit sewot.

"Ye, kok gitu sih? Lagi pms ya? Abangkan cuma mau tau Tari."

"Gak, Tari mau main ke rumah temen." Tari menjawab malas.

Bimo makin tajam menatap Tari, tangannya menopang dagu. Menirukan gaya detektif yang sedang menanyai tersangka. Abang satu-satunya ini memang sangat lebay. "Yakin?" tanyanya kemudian.

"Iya Abang Bimo yang paling ganteng."

Bimo terkekeh pelan, dia sepertinya sudah merasa menang berdebat dengan Tari. Jika saja Tari tak terburu-buru sekarang maka dia bisa meladeni Bimo selama seharian penuh.

Kini sarapannya sudah tandas, hanya menyisakan piring dengan bekas selai di atasnya. Tari melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Kini sudah waktunya untuk pergi. "Abang Tari berangkat dulu ya..."

Dengan sigap Bimo ikut berdiri, dia sepertinya sedang bergegas mau pergi juga. "Mau abang anterin?" tawarnya.

Tari menggeleng. "Gak usah, Tari naik angkot aja. Lagian juga nanti telat lagi."

"Lah, abangkan naik motor, gak bakalan telat lah."

"Telat, kalo naik si Tongki."

Bimo nyengir, dia menggaruk tengkuknya. Tak bisa membalas perkataan Tari tadi. "Oke, kalo gitu hati-hati ya. Telepon abang kalo ada apa-apa."

Tari mendekati abangnya, lalu menyalami tangan kakak laki-lakinya itu. Inilah abangnya. Meski sering membuat Tari jengkel akan sikapnya, tapi tetap saja dia adalah sosok kakak idaman bagi semua adik. Dia selalu ada untuk dirinya, ada di saat kedua orang tuanya tak bisa berada di sisi Tari. Tuhan memang adil, di saat Tari sudah tak lagi bisa bersama ibunya dan juga ayahnya yang tak bisa ada di sisinya-abangnya ada menjadi sosok ayah dan ibu sekaligus bagi Tari. Tari bangga akan kakaknya itu.

"Awas ya jangan kecentilan ama abang angkot, mentang-mentang lo jomblo jadi duduknya di depan bareng abangnya." Bimo terkekeh sambil mengelus rambut Tari.

Tari mengangkat tangannya, bergaya layaknya tentara yang memberi hormat pada komandannya. "Siap."

Lalu dia berbalik, buru-buru berlari keluar rumah. Meski harinya enggan menapaki rumah Valdo lagi, tapi bagaimana lagi. Dia tak mau mendapati kemarahan Bos barunya nanti. Entah apa yang akan dihadapinya setelah tiba di sana.

***

Tbc...

Trouble Boy & Trouble GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang