part 41 : Masih tentang Adara

40 4 0
                                    

Semalam ini Valdo belum juga mengantuk. Kalung dengan bandul bunga kecil yang masih cantik di dalam kotaknya itu menyita penuh perhatiannya. Jika malam-malam kemarin Valdo memikirkan kado apa yang akan ia berikan kepada Adara, kini pikiran bagaimana cara ia akan memberikan kalung itu, memenuhi kepalanya.

Hubungannya dengan Adara tak mendukung agar ia bisa ber basa-basi lalu menyerahkan kalung itu begitu saja.  Masalahnya, beberapa hari ini terlalu pelik. Banyak kejadian yang membuat Valdo semakin jauh dari Adara. Perjodohan itu masalah besarnya. Dia juga menyadari, sikapnya kepada gadis itu amatlah jahat. Tak menutup kemungkinan kini Adara membencinya. Terlebih lagi kehadiran Tari yang tak bisa Valdo hindari. Tunggu, kenapa ia harus membawa Tari?

Valdo mengusap rambutnya pelan. Selain Adara, entah sejak kapan Tari selalu menyelinap di malam-malam Valdo. Seringkali Valdo mendapati dirinya memikirkan cewek itu lalu tersadar mencoba mengusir gambaran Tari dari benaknya yang hanya berujung sia-sia.

Seperti malam ini.

Balkon merupakan tempat pelarian terbaik dari ruang kamar yang menyesakan. Udara malam itu tak terlalu dingin. Angin yang berhembus begitu menyegarkan mengingat sore tadi telah turun hujan. Dan dengan mudahnya, angin itu membawa Valdo kembali ke sore hari dimana dia dan Tari terjebak hujan. Sehebat apapun Valdo mengusir Tari dari kepalanya, nyatanya hal sederhana membawa cewek itu kembali untuk menguasai pikiran Valdo. Aneh, seulas senyum muncul. Valdo tak pernah menyangka ada sedikit bahagia terbit di hatinya hanya dengan memikirkan Tari, meski kenangan sore itu juga membawa rasa lain berupa kecewa.

Valdo tau, tak seharusnya ia membawa nama Yuda, tak seharusnya ia tau mengenai perasaan Tari terhadap saudara tirinya. Namun hati kecilnya menaruh rasa penasaran, dan sedikit keberanian itu menghasilkan rasa kecewa. Ada sesuatu yang tak bisa Valdo jelaskan. Nyatanya Tari yang merupakan bukan siapa-siapa baginya makin membingungkan keadaan.

Valdo tak pernah mengerti rasa apa yang sedang dialaminya ini.

***

Tari dan lamunan bukanlah hal aneh yang tak biasa di temui pada pagi hari. Ya, jika tak langganan telat, maka cewek itu akan ditemukan melamun atau ngebut menyalin PR matematika Dewi. Hanya matematika, tak lebih. Otak Tari masih bisa berpikir sedikit dengan pelajaran lainnya, tapi Matematika tidak. Dan biasanya Dewi juga cuek-cuek saja, mau Tari melamun atau menyalin PR, biarlah sebahagia Tari saja.

Namun, beda Dewi beda Gita. Dengan ganas cewek itu akan menggebrak meja jika menemui ada yang melamun diantara Circle mereka. Seperti pagi ini. Untung kelas itu sepi. Jadi tidak ada yang tau betapa ganasnya Gita atau tau betapa kocaknya wajah kaget Tari.

"Bener-bener Lo ya Git, gak bisa liat gue anteng dikit."

"Lagian suka banget ngelamun. Kenapa Lo? Putus cinta Lo?" Gita dengan santai menarik kursi terdekat lalu duduk di atasnya.

"Tau ajah Lo."

"Hah!"

Hanya dengan begitu Tari dipelototi dua pasang mata. Dewi yang semula acuh membaca Novel, kini menaruh perhatian penuh pada Tari.

"Lo punya gebetan sejak kapan? Kok gak cerita. Sih," omel Dewi.

"Tau nih diem-diem bae."

Terlanjur membuka mulutnya, mau tak mau Tari harus menceritakan apa yang sedang mengganjal hatinya. Ini kesempatan baginya karena Adara belum nampak kehadirannya. Bukan apa-apa, adanya sosok Adara membuat Tari segan untuk bercerita.

Mengesampingkan soal gebetan yang jelas tak Tari miliki—lima belas menit sebelum pelajaran pertama itu diisi dengan curhatan isi hati Tari. Perlu digaris bawahi ini bukan ghibahan, meski Adara yang jadi topik utamanya, Tari tekankan lagi ini bukan ghibah.

Satu persatu penghuni kelas datang, dan Tari selesai dengan ceritanya. Lihatlah, wajah kedua sahabatnya itu tak jauh beda dengan wajah Tari kemaren sore bersama Valdo. Jelas mereka akan kaget.

"Kalian jangan bilang siapa-siapa ya?" Kata Tari mengulangi janji sebelum mulai bercerita tadi.

"Gue gak nyangka."

"Sama."

"Jangan keras-keras, kalian gak bakal ngasih tau siapa-siapa kan? Kalian udah janji."

"Janji apa?"

Satu suara berat mengagetkan ketiga gadis itu. Dan malangnya pemilik suara itu Valdo.

Demi melihat wajah sangar Valdo pagi-pagi, tenggorokan Tari tiba-tiba mengering seperti sawah saat musim paceklik. "Mampus, Rupanya gue harus gulung tikar nih."

***

Satu, yang amat tak Tari sukai, yakni jadi pusat perhatian—terlebih di kantin. Ini bukanlah kali pertama hal ini terjadi, tapi mau beberapa kali pun Tari takan menyukai ataupun terbiasa dengan orang-orang yang memandanginya lalu berbisik kemudian. Berbeda dengan Valdo yang selalu mengacuhkan orang-orang di sekelilingnya. Ya, Valdo selalu menjadi alasan utama mengapa Tari diperlakukan demikian. Kehadiran pentolan satu itu nampak membuat warga kantin geger, karena tak biasa-biasanya Valdo menampakan muka. Ditambah sedang duduk berhadapan dengan cewek pula.

Meski bukan pemandangan yang tak biasa bagi warga sekolah melihat Tari dan Valdo bersama. Nyatanya Tari masih menemukan beberapa orang yang  bereaksi heboh, dan yang lainnya memandang tak suka.

Pasti gosip Tari pacaran sama Valdo semakin kuat adanya, karena sebelumnya gosip-gosip itu sudah tersebar luas semenjak Valdo memboncengnya tempo hari.

Tari tersenyum kecut sambil memandang teman-temannya di meja sebelah. Dewi hanya tersenyum saja sedangkan Gita melambaikan tangan dengan mulut penuh makanan, hanya Adara yang fokus pada makanannya. Wajah cewek itu terlihat murung. Tari harap mulut Dewi dan Gita tak sampai bocor membeberkan percakapan mereka pagi tadi.

"Kenapa gak dimakan?"

Suara itu menyadarkan kembali pada kenyataan ia sedang bersama biang masalah.

"Cuekin ajah."

Tari menaikan kedua alisnya tatkala melihat Valdo dengan asik menyedot es teh manis. Cowok itu kelewat santai saat kehadirannya menjadi pusat perhatian.

"Lo kenapa sih? Kalo mau ngomong kan bisa ngga di sini."

Dia cukup tau apa yang cowok itu ingin katakan. Dan kantin bukan tempat yang tepat bagi Tari mendapatkan amarah Yuda karena telah membeberkan rahasia cowok itu begitu saja.

"Gue mau di sini." Masih gerakan santai, Valdo menghabiskan es teh manis tersebut hingga hanya menyisakan es batunya saja. "Bantuin gue kasih nih kalung ke Adara."

Sedikit menarik napas lega, dia kira nyawanya dalam bahaya. Ternyata Valdo tak mengungkit kejadian pagi tadi, atau mungkin sebenarnya cowok itu tak mendengar percakapan tersebut. Namun, dengan begini Tari kembali mengangkat kedua alisnya. "Kenapa harus gue?" Tunjuk nya pada diri sendiri.

"Gak mau?"

Tari melipat kedua lengannya, sedikit bersikap santai setelahnya. "Gue kan udah bantu milih tuh kalung. Kalo urusan kasih ke Adara tinggal usaha Lo sendiri kali. Tinggal kasih ajah kan."

"Gak sederhana itu," ucap Valdo lirih.

Tari menangkap air muka Valdo berubah seketika. Hanya sebentar, karena detik berikutnya Valdo bersikap seperti sedia kala. Tari menarik kesimpulan, Valdo selalu sering menyembunyikan perasaanya.

"Gue bantu nemuin Lo sama Adara aja deh."

Valdo tak menjawab. Dengan ekspresi tak terbaca, Valdo bangkit dan berlalu begitu saja tanpa kata atau penjelasan lainnya. Meninggalkan Tari dengan semangkok batagor yang sama sekali belum disentuhnya.

Tapi tanpa diketahui Tari, Valdo pergi hanya karena melihat Yuda datang menghampiri. Sebab pantang baginya satu tempat dengan Yuda, apalagi harus bertatap muka.

***

Maaf lama update
Gimana part ini?
Komen sama vote yah

Salam dari Tari:)

Trouble Boy & Trouble GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang