"Tari buruan, ada temen lo jemput nih."
Teriakan Abangnya tadi membuat Tari terkesiap. Telinganya tak salah dengarkan? Tari punya teman yang rela mau menjemputnya? Ok, dia berlebihan. Tari tau temannya Dewi dan Gita akan sangat rela menjemput Tari pagi-pagi buta. Tapi saat ini sudah bukan pagi buta lagi, lihatlah mentari sudah terik-sudah bisa membuat orang kesal setengah mati. Lagian juga jika orang itu Dewi dan Gita mustahil rasanya, karena rumah Dewi berbeda arah. Sedangkan Gita, dia satu dua dengan Tari. Setiap hari Gita berjuang agar tak telat. Tak seperti Tari yang di buntuti kesialan, Gita masih memiliki keberuntungan dengan datang tepat pada waktunya. Jadi mustahil rasanya ia menjemput Tari agar bisa datang telat dan dihukum bersama. Tapi siapakah orangnya? Apakah Yuda? Jawaban kali ini lebih mustahil adanya.
"Ya Allah Tari, adek Abang yang gak cantik-cantik amat. Lo lagi ngapain sih?" Tiba-tiba saja Abangnya Bimo muncul dalam kamar Tari. Membuat Tari terkesiap untuk kedua kalinya.
"Astaga Abang, gunanya pintu tuh biar di ketok dulu. Jan maen masuk ajah. Kan udah Tari bilangin."
"Lagian lu lama bener dandannya, kan Abang jadi curiga. Jangan-jangan adek Abang lagi baca jampi-jampi biar tambah laris."
"Abang...!" Tari yang geram, melemparkan seongok bantal pada Abangnya.
"Gak kena, udah ah dandannya jangan cantik-cantik. Mentang-mentang yang jemput laki jadi lama banget bersemedi di depan kacanya," ucap Bimo, membuat Tari menyerngit heran. "Abang tunggu dibawah ya, takut dedemit penunggu ni rumah ganggu tuh bocah."
Ingin sekali Tari mencegah Abangnya pergi, namun apa daya Abangnya itu kelewat cepat kayak seorang shinobi. Jika begini Tari bisa mati muda karena penasaran.
Lupakan. Hal berbau drama tadi. Terlepas dari rasa penasarannya, Tari bergegas. Tanggannya dengan cepat memasukan satu buku yang masih tergeletak di atas meja, lalu dengan asal mencepol rambutnya. Dia sedikit berlari saat menuruni tangga bukan karena rasa penasaran tadi, tapi terlabih karena ia sudah kesiangan tak mau telat lagi.
"Jadi lo sekelas ama Tari?"
"Iya bang."
Cukup dua kata Tari bisa menebak si pemilik suara. Seketika dia terdiam karena bingung dengan situasi yang ada. Terlebih kini ada dua pasang mata yang menatapnya meneliti. Dan lebih lagi, netranya terkunci pada netra gelap Valdo yang juga nampak tak bisa mengalihkan pandangannya terhadap Tari.
Harusnya Tari bisa menebak jika orang itu Valdo. Setelah semalam mengantarkan Tari pulang, maka otomatis Valdo mengetahui alamat rumah Tari. Ya, kenapa kepalanya tak bisa menyangka jika itu Valdo. Dan kenapa lagi dia sampai mau menjemputnya, Mengapa?
"Turun juga, Abang udah nyiapin sarapan Tar, Anu-siapa tadi? Lo juga boleh ikut sarapan," ucap Bimo sambil menggaruk kepalanya mencoba mengingat nama Valdo.
"Valdo bang," jawab Valdo sopan.
"Oh iya Valdo. Tari ajak temen lo sarapan gih."
Tari kembali beranjak. "Gak Bang, udah telat nih." Dia menghampiri Valdo yang masih duduk santai. "Ayok," ajak gadis itu.
Valdo ikut berdiri, tepat berada di samping Tari. "Lo yakin gak mau sarapan dulu? Nanti bisa pingsa-"
Tari tak mau Valdo menyelesaikan ucapannya. Tentu saja Abangnya Bimo tak boleh mendengarnya. Jadi, buru-buru Tari menarik lengan Valdo, membawa cowok itu keluar Rumah. Sudah ada motor besar merah kebanggan Valdo yang menunggu di depan Rumah Tari. Valdo mengampirinya, lantas menyerahkan satu helm kepada Tari.
Tari mengangkat kedua alisnya, bingung. Bukan karena helm itu mirip seperti helm motor abu-abu yang biasa dipakainya—ya mungkin memang itu helmnya bukan hanya mirip. Tapi kebingungan Tari terlebih karena sikap Valdo. Bukankah ini salah? Bukankah ini aneh. Oh iya, Tari lupa Valdo memanglah aneh dari sana.
"Lo lagi gak kesambet kan?" Tak kunjung menerima helm, Tari memilih bertanya.
Valdo terlihat seperti biasanya, cuek. Mengabaikan pertanyaan Tari. Tangan cowok itu terulur menarik tangan Tari, yang entah mengapa membawa angin dingin di pagi yang mulai terik ini. Perasaan dingin itu menyebar dari tangan hingga hati. Eh, kenapa bisa sampai hati? Yang Tari tau, dadanya berdebar ria. Merasakan perasan yang penuh euforia. Ada gemuruh kecil di dalam perutnya, juga ada sedikit semburat hangat yang menyerang muka.
Rupanya Valdo sekadar membalikkan tangan Tari, agar gadis itu mau menggengam helm itu. Lalu seperti biasa pula, Valdo meninggalkan Tari dalam kebungkaman yang masih setia ada. Dia menaiki si merah lalu memakai helm fullface nya.
"Lo gak mau telat, kan?"
Perkataan Valdo membuat Tari tersadar. Dia benar. Dia ikut menaiki si merah, sedikit kesulitan karena roknya yang kependekan. Saat itulah, Valdo mengulurkan tangan, menaruh telapak tangan Tari di pundaknya. Tari tau maksud dari Valdo. Dengan berpegangan di pundak Valdo Tari jadi lebih mudah menaiki motor itu.
Motor itu melaju, membawa dua orang yang hanyut dalam bisu. Tari tak tau harus berkata apa, alasannya karena gejolak dalam dada. Sebenarnya mulutnya gatal ingin banyak bertanya, namun Tari takut gejolak itu menahan suaranya. Mungkin bungkam menjadi pilihan yang ada.
Dalam keadaan ngebut, mereka sampai. Sepertinya keberuntungan sedang berdamai dengannya, mereka datang tepat waktu. Tepat setelah mereka turun dari motor, bel berbunyi.
"U-udah bel, lari yuk." Tari menatap Valdo, membuat kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa berat.
"Tunggu," ucap Valdo. Cowok itu menyerahkan sebungkus roti. "Makan dulu sebelum masuk."
Berbeda dengan sebelumnya, kini Tari menerima roti tersebut. Menatap penuh ragu roti itu. Bukan karena ragu dengan niat Valdo, tetapi lebih karena pikirannya yang berkecamuk dalam kepala dan tak bisa Tari jelaskan dengan kata-kata. Yang jelas ada rasa bahagia di dalamnya, tapi dengan sekuat tenaga Tari menahan senyumannya agar tidak merekah.
"Sama-sama," ucap Valdo lalu beranjak pergi ke kelasnya.
Senyum yang sejak tadi tertahan, akhirnya melengkung juga. Tari kini tak bisa menahan senyumnya. Entah sejak kapan, bersama Valdo bisa seperti ini. Dengannya ada rasa yang bergejolak dalam dada. Dan kepala Tari terus berkata 'IYA'-perasaan ini nyata adanya.
Dia mengejar Valdo, lalu mensejajarkan langkahnya. "Makasih," ucapnya masih dengan senyuman.
Tanpa mereka sadari, di belakang mereka ada dua orang sedang berdiri memperhatikan. Adara menghembuskan napasnya, rasa sesak dalam dadanya membuatnya tak bisa menahannya agar tak mendesah. Sementara Yuda di sampingnya mengepalkan tangannya. Dua orang yang sedang memandang ke arah yang sama, dan juga sama-sama memiliki luka.
*****
Huaaa akhirnya update juga... Part ini tuh sesuatu banget. Tulis-hapus-tulis lagi gtu ajah terus. Sebenarnya gue masih mau nambahin adegan TARI-VALDO. Tapi takutnya nanti panjang dan lebar sekali. Jadi disingkat deh. Dan jadilah part ini. Mohon maaf ya kalo ceritanya makin absurd:(
Love you
TariIg: @nienitasrii19

KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble Boy & Trouble Girl
Teen FictionStory by : Nita sari Di balik keterlambatannya ke sekolah Mentari Anjani bertemu dengan sosok malaikat. Dia adalah Yuda seorang ketua osis. Yang mampu mencuri hati Tari. Tapi semuanya berubah saat dia bertemu dengan seorang Rivaldo Adinara. Seorang...