part 36 : something between us 2

384 11 2
                                    

Dalam waktu singkat saja Valdo merasa ada yang berubah. Dia juga tak tau apa yang merasukinya. Jika dulu ia merupakan orang yang tertutup, sekarang kenapa ia bisa dengan entengnya menceritakan masalah-masalah kepada seseorang selain Adara. Tari membuat sesuatu dalam diri Valdo tersadar.

Valdo telah salah jika selama ini menilai Tari cewek yang berisik dan selalu ceria setiap saat. Dia salah, cewek itu juga punya luka yang sebenarnya terpampang jelas dari matanya. Namun Valdo menolak mengakui, jika punya luka yang sama dengan Tari. Entah kenapa setelah Adara dan Bunda, Valdo menemukan orang yang mampu mengertinya.

'Tari sama dengannya' kata-kata itu terus berdengung di kepala. Gadis di sampingnya ini mampu membuat Valdo begitu penasaran apa yang Tari pikirkan. Karena semenjak dari makam Bundanya, kepala Valdo berisi Tari dan bagaimana pandangan gadis itu terhadap dirinya, setelah tau semua masalah hidup yang selama ini Valdo sembunyikan. Yah, bukan di sembunyikan hanya saja Valdo merasa orang-orang tak perlu tau apa yang ia alami—itu saja. Dan kebetulan Tari di sampingnya saat ia mengadu—bercerita di depan makam bundanya.

Demi melihat gadis di sampingnya ini memejamkan mata dan menengadahkan tangannya—sedang berdo'a. Pertanyaan itu kembali menghampiri kepala Valdo kenapa Tari? orang yang kini ada di sampingnya saat Valdo merasa dunia sedang tak berpihak padanya. Lihatlah, wajah Tari begitu serius. Mulutnya sedikit berguman lantas tersenyum samar. Bagaikan mesin Fotocopy, otomatis Valdo tersenyum mengikuti. Sebuah suara kecil dalam hatinya menjawab pertanyaannya tadi.

Kenapa, Tari?

Kenapa, tidak?

Valdo rasa telah menceritakan masalahnya pada Tari bukanlah hal yang salah. Karena Valdo yakin gadis ini akan mengerti bukan menghakimi.

Kesiur angin sore terasa sejuk, membuat dedaunan kering dari pohon sekitar makam berguguran berserakan di tanah. Dan juga membuat anak rambut menar-nari di udara. Lihatlah, Tari masih saja fokus berdoa—meski beberapa daun kecil tersangkut di ujung rambutnya. Sudut bibir Valdo tertarik melihatnya.

Dalam hitungan detik mata Tari terbuka. Tangannya yang menengadah tadi ia usapkan ke wajahnya, Tari telah selesai berdo'a. Lantas menoleh pada Valdo yang masih setia menatapnya. Detik berikutnya pandangan mereka bertemu lantas terkunci menjadi satu. 

Deg, sesuatu menghantam dada Valdo. Dia telah tertangkap basah mengamati Tari dengan senyuman yang menghiasi muka. Senyuman yang kini perlahan memudar, namun tatapan mereka tak kunjung usai. Sunyi pemakan menjadi tema dalam kebungkaman, sedang semilir angin menjadi teman yang ikut hanyut dalam tatapan.

Tari yang lebih dulu memutuskan kontak diantara mereka. Dia berpaling menghadap sisi kanan, dimana wajah Valdo tak ia temukan. Valdo merasa ia melihat samar rona merah pada pipi Tari. Tapi ia tak yakin, cepat sekali Tari berpaling. Tapi yang ia yakin adalah semburat hangat pada wajahnya yang tak kunjung hilang.

"Ekhem..." Tari berdeham, memecah kecanggungan. "Makasih udah mau temenin gue ke makam ibu."

Valdo masih betah saja menatap Tari, meski yang ditatapnya kini berpaling. "Yah, gue juga," balas Valdo. Ingatan Valdo membawanya mundur kembali pada beberapa waktu yang lalu. Sesaat setelah Valdo mengadu panjang lebar, saat itulah Tari menatapnya dengan nanar. Valdo kira tatapan itu adalah tanda iba Tari atas masalah yang Valdo hadapi. Tapi lagi-lagi Valdo salah mengira. Saat Tari meminta diantarkan ke makan ibunya. Valdo sadar tatapan tadi, hanya basa-basi. Tari tidak dalam posisi untuk merasa iba padanya ketika gadis itu juga memiliki luka yang sama.

Saat kebungkaman kembali menyelinap diantara mereka, Valdo sadar hari semakin petang saja. "Dah sore," ucapnya.

"Kita pulang," balas Tari, masih menatap lekat makam Ibunya. "Tari pulang ya Bu, lain kali Tari ke sini bareng Abang."

Mereka beranjak, berdiri lantas pergi. Valdo melangkah lebih dulu, sengaja meninggalkan Tari di belakang. Dalam sunyi pemakaman, keduanya saling diam. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Dering telepon Tari lah yang menjadi pemecah kesunyian.

*****

Canggung. Itulah suasana yang bisa Adara jelaskan dari acara makan malam ini. Di mana hanya ada suara dentang garpu dan sendok yang saling beradu. Ini kali pertama ia ikut malam keluarga Adinara tanpa kehadiran Papah Mamahnya. Sebelumnya, Adara sudah membayangkan seperti apa situasi makan malam ini, namun yang terjadi malah melebihi ekspektasi. Dia mengira yang akan bungkam hanyalah  Yuda. Tapi lihat, bahkan Tan—Mamah Clarista ikut tak bersuara. Jika begini, Adara tak tau harus berbuat apa. Jika ada kehadiran Papah dan Mamahnya, om Darwin dan Mamah Clarista pasti antusias, mereka akan membahas apa saja terlebih lagi urusan bisnis yang hanya Papah dan om Darwin yang mengerti.

Makan malam ini hanya berlangsung lima belas menit, tak lebih. Yuda lah yang lebih dulu menyelesaikan makannya. Di susul om darwin yang pergi tanpa kata. Adara sedikit bisa bernapas lega. Karena diantara suasana canggung itu waktu berjalan cukup lama, meski hanya lima belas menit saja.

"Maaf ya Adara, makan malamnya jadi seperti ini. Om darwin gak terlalu suka ngobrol saat makan," ucapnya.

Adara kira hanya ia saja yang merasa kecanggungan. Rupanya Mamah Clarista juga merasa demikian. Tapi Adara tau, apa yang Mamah Clarista katakan ialah sebuah kebohongan. Karena alasan tersebut tak bisa diterima begitu saja oleh kepala Adara. Yang Adara tau, ada masalah yang terjadi di dalam keluarga ini. Dan tentu Adara tak berhak mencampuri.

"Iya, gak apa-apa kok Tan—eh Mamah."

"Kamu belum terbiasa panggil mamah rupanya. Tapi gak apa-apa kok, bentar lagi juga terbiasa." Mamah Clarista berdiri. "Kamu tunggu di ruang tamu ya, Mamah mau nyiapin mobil dulu buat anterin kamu."

Adara menggangguk sopan sambil menatap kepergian Mamah Clarista. Dia menurut, lalu pergi ke ruang tamu seperti yang sudah di perintahkan. Dia memilih duduk di soffa. Terdiam. Tiba-tiba pikirannya terbang menuju Valdo. Dimana cowok itu sekarang? Apa mungkin dia sudah pulang ke rumah? Keinginanya untuk mengajak Valdo makan malam bersama pupus sudah saat maghrib tadi, Adara kembali ke rumah Valdo. Dan bi Inah mengatakan jika Valdo belum juga pulang. Membuat Adara mengkhawatirkan keadaanya.

Adara menghembuskan napasnya. Lantas mendongak menatap langit-langit rumah Yuda yang bercat kuning keemasan. Ia merasa lelah dengan kehidupan ini, dengan perjodohan yang dipaksaan ini. Padahal belum ada seminggu ia di jodohkan dengan Yuda. Tapi Adara merasa ingin segera mengakhirinya. Andaikan ia bisa menentang keluarganya.

"Lo gak mau pulang?"

Suara itu, seketika membawa pikiran Adara kembali ketempatnya. Juga membuat Adara memalingkan kepala. Lantas matanya mendapati sosok Yuda. Cowok itu berdiri tak jauh darinya, dengan serot tajam yang menghiasi mata.

"Ayok," kata Yuda sambil berlalu. "Gue anter lo pulang."

Perangai cowok itu masih tak berubah, masih bersikap dingin padanya. Membuat Adara sedikit merasa sedih, karena orang yang dulu begitu dekat dengannya kini sudah tak lagi sama—mereka Valdo dan juga Yuda.

*****
@

nienitasarii19

Trouble Boy & Trouble GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang