D u a p u l u h t u j u h

67 8 0
                                    

Jika selama ini aku berpihak pada kebahagiaan. Akankah kebahagiaan juga akan berpihak padaku?

.
.
.

Mata dengan bulu mata lentik itu perlahan membuka. Bola mata hijau itu terlihat indah. Namun, mengapa gelap. Setelah membuka mata, gadis yang sedang berbaring di bankar rumah sakit ini hanya melihat kegelapan.

Tangannya meraba ke seluruh penjuru dan mendapatkan ruang kosong di sekitar. Gadis itu menggosok matanya dan kembali membuka, tetapi hasilnya tetap gelap.

"Bunda? Dara? Papa? Kenapa gelap?" Tamara. Gadis yang baru saja bangun dari masa kritisnya selama beberapa hari itu mencoba bangun dari tidurnya dan mendapat serangan menusuk pada kepalanya.

"Bundaaaa Ara takut!!" Teriak gadis itu semakin menjadi. Suaranya bergetar. Tangannya terus saja bergerak di udara berharap menggapai sesuatu. Gadis itu ketakutan. Semuanya gelap dan tidak ada tanda-tanda seseorang di dekatnya.

Hingga suara pintu membuka terdengar dan langkah kaki mendekat. "Dokter, pasiennya sudah sadar. " Ucap seorang wanita. Ara tak mengenali suara itu.

"Bunda?" Tanya Ara. Kepalanya menoleh ke segala arah berharap dapat melihat sesuatu.

"Saya suster sayang. Tidak apa-apa sebentar lagi dokter akan datang. Tenang yaa." Suara lembut wanita yang ternyata suster itu terdengar lagi lalu sentuhan lembut terasa di tangan Tara yang tadi meraba-raba uadara hampa.

"Su-suster... Gelap. Ara nggak bisa lihat apa-apa. " Tara sangat takut. Kenapa suster yang datang? Apa Bunda marah karena Ara bertingkah ceroboh?

"Tenang sayang. Sebentar lagi dokter akan periksa kamu. "

Kemudian terdengar lagi langkah kaki. Itu dokter. Dokter itu segera memeriksa keadaan Tamara. Setelah semuanya selesai, dokter kembali merebahkan badan Tamara.

"Dimana orangtua kamu sayang?" Tanya dokter tersebut yang ternyata adalah wanita.

Tamara hanya menggeleng.

Dokter tersebut tersenyum simpul. "Dokter minta maaf. Ara... Nggak bisa melihat karena benturan kuat yang menyerang Ara membuat saraf mata Ara terserang. Ara...buta. "

Tamara terkejut. Apalagi ini? Dimana Bunda? Tamara butuh Bunda. Tamara takut gelap. Tamara takut sendirian. Tamara sangat ketakutan saat ini.

Gadis itu menangis dalam diam. Kenapa tidak ada yang peduli padanya? Ini rumah sakit bukan?

"Dokter? Ini dimana?" Tanya Tara untuk memastikan.

"Rumah sakit sayang. Kamu tidak sadarkan diri selama seminggu. " Jawab dokter tersebut sembari mengusap rambut Tara.

Air mata Tara turun. Gadis itu menangis namun, tak terdengar suara isakan maupun teriakan. Gadis itu menangis dalam diam sembari menutup mata dan mencengkeram sprei bankar dengan kuat.

"Ara yang sabar. Ah iya! Nama dokter Riana. Selama orangtua Ara tidak ada, dokter akan merawat Ara. "

Tara hanya mengangguk lemah. Terus menangis. Hingga sebuah pertanyaan keluar dari bibir merah mudanya. "Siapa.. Yang bawa Tara kesini?"

Dokter Riana melihat ke arah suster dan sang suster mengangguk. Riana menggenggam tangan Tara menyalurkan kekuatan.

"Ara dibawa kesini oleh warga. Korban kecelakaan dan Ara... Tidak sendirian. " Riana mengambil jeda sebentar.

"Ara bersama korban lainnya. " Lanjut Riana dengan ragu.

Ara kembali duduk. Menggelengkan kepalanya dengan gerakan cepat. Semakin kuat mencengkeram sprei dan air matanya kembali menderas. "Itu nggak mungkin Bunda Ara. Itu nggak mungkin. " Tamara terus merapal kata itu dengan gelengan kepala. Dokter Riana mencoba menenangkan Tamara dengan menepuk pundak gadis tersebut.

STAY [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang