T i g a p u l u h s e m b i l a n

66 6 0
                                    


Kau selalu benar Tuhan. Takdir mu adalah yang terbaik bagi setiap hamba-Mu. Namun mengapa Tuhan? kau memberikan aku cobaan bertubi-tubi yang aku sendiri tidak tahu cara menghadapinya.

-TamaraSekala

.
.
.
.

Tara berjalan dengan langkah-langkah besar agar cepat. Ia harus bertemu Akmal atau Veranda. Sejujurnya ada rasa sesak yang terus mengalir di dadanya. Ia hanya mendengar dari oranglain belum dari cerita aslinya.

Ada rasa sesak dan perih yang menelusup di dadanya namun juga sesuatu yang kurang jelas memenuhi pikirannya. Langkahnya terus bertambah kecepatan, ia harus segera bertemu Akmal atau Veranda atau boleh jika dua-duanya.

Tara berhenti. Ia berdiri menyangga tubuhnya pada dinding pembatas. Tara mengatur nafasnya. Koridor lantai dua ini sepi karena semua anak pasti ada di lapangan atau tidak di aula. Tara menoleh ke arah kiri.

Gadis itu kembali tegak lagi. Ia melihat ke arah sebuah celah menjorok yang digunakan sebagai gudang. Ia mengenal siluet tubuh pemuda yang berdiri membelakanginya dan menempelkan handphone di telinganya.

Tara mendekat. Terdengar samar suara Akmal ketika tubuh Tara semakin dekat. Hingga Tara berhenti saat mendengar kalimat jelas dari bibir Akmal.

"Akmal dekat sama Tara karena Tara mengingatkan Akmal ke Damara. Ayah nggak perlu khawatir. Akmal hanya melakukan seperti yang Damara minta. Sampai Tara benar-benar bisa bangkit dan bahagia, Akmal bakal pergi. "

Deg

Seakan saat itu juga Tara ditembak dua peluru sekaligus tepat pada dadanya. Tara bergeming di tempat. Apa yang sebenarnya terjadi disini? Ia terlanjur menaruh kepercayaan dan hatinya pada pemuda yang masih membelakanginya. Lagi-lagi Tara merasa tersisihkan karena kembarannya.

Ternyata pengaruh lo besar Dar.

Tanpa ingin tau bagaimana Akmal mengenal Damara. Tara mengumpat pelan dan akhirnya berlari menjauh.

Tara tak ingin lemah perihal cinta. Tara tak pernah suka terlihat lemah, tetapi lagi-lagi tubuhnya mengkhianati hatinya. Tara berlari keluar area sekolahan tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap ke arahnya. Tara tidak peduli tidak pernah peduli.

Saat itu juga petir menyambar, hujan turun seketika. Tara mengganti langkah cepatnya dengan berjalan di trotoar. Membiarkan tubuhnya dibasahi air hujan yang jatuh bertubi-tubi. Dengan itu, air mata Tara akan tersamarkan dengan air hujan yang menimpa wajahnya.

Telepon Tara berbunyi. Di bawah rinai hujan, Tara mengangkat teleponnya.

"Halo. "

Ketika sebuah suara di seberang sana menyahut, saat itu juga Tara merasa seluruh tubuhnya lemas. Tidak peduli pada handphonenya yang sudah terbanting jatuh di jalanan trotoar.

Tara mengusap wajahnya dan kembali berlari menembus hujan.

🔥

Langkahnya masih belum berhenti. Gadis itu tidak terasa lelah walau telah berlari dalam waktu yang lama. Seakan ia tidak pernah berlari dan tidak terguyur hujan. Kenyataan perih yang lagi-lagi didapatkannya. Gadis itu tetap berlari melewati orang-orang berlalu lalang yang memusatkan perhatian padanya saat ia melintas.

Tara tidak peduli pada keadaannya yang basah. Gadis itu tetap berlari melewati berbagai ruangan bernuansa putih. Hingga gadis itu menghentikan langkahnya saat melihat wanita kesayangannya duduk di bangku panjang bersama Bi Ina.

Tara berjalan perlahan mendekati sang Mama. Dari tempat Tara, Tara bisa melihat bahu Mamanya naik-turun serta Bi Ina yang terus mengusap punggung majikannya sambil sesekali mengusap matanya menggunakan tisu.

"Bilang ke Tara kalau ini nggak bener. " Tara berhasil berdiri dihadapan Mamanya.

Mama Tara mendongakkan wajahnya. Wajah cantik wanita yang selalu Tara lihat berganti dengan wajah menyedihkan yang tidak pernah ingin Tara lihat. Air mata masih setia turun dari mata indah Mamanya.

"BILANG KE TARA INI SEMUA BOHONG MA!" Pertahanan Tara runtuh. Gadis itu jatuh terduduk dilantai. Dihadapan Mamanya. Gadis itu tidak peduli akan orang yang melihat aneh ke arahnya. Ia tidak peduli bahwa pakaiannya sudah basah kuyub.

Air matanya jatuh. Bersamaan dengan tangannya yang memegang lutut Mamanya. Mencari jawaban atas semua yang menyiksanya.

"I-ini semua ng-nggak bener kan Ma. Jawab Tara Maaa... Kenapa Mama gak bisa jawab Tara?! Mama bohong 'kan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Tara. Mama Tara semakin terisak. Beliau menutup wajahnya memendam tangisnya.
"Bi, jelasin ke Tara Bi! Ini bohong 'kan? Kenapa Tuhan nggak pernah adil?"

Tara menangis sejadi-jadinya. Ia tak perlu jawaban. Raut muka Mamanya, tatapan bersalah Bi Ina dan juga ruangan yang tertempel jelas tulisannya.

Ruang jenazah.

Tara menggeleng. Tidak mungkin. Tidak mungkin Papanya pergi meninggalkannya seperti Bunda dan Damara. Tara tidak sanggup mengalaminya lagi. Tara tidak akan pernah sanggup.

Tara bangkit. Memaksa masuk ke dalam ruang jenazah namun ditahan oleh Mang Ujang yang berdiri di depan pintu.

"Papa masih sehat waktu Tara tinggal! Seharusnya Tara nggak usah dateng ke acara bodoh itu! Seharusnya Tara ada disamping Papa! Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Tara terus menyalahkan dirinya sendiri. Mengusap kasar air mata yang terus mengalir melalui pipinya.

Mama Tara mendekat. Mengusap pelan bahu Tara. Namun, Tara menepis. Menjauh. "Jangan dekat-dekat Tara! Tara pembawa sial! Tara nggak mau lihat Mama ikut pergi ninggalin Tara!"

"Enggak sayang.. Mama disini untuk kamu. "

"Mama bohong! Bunda juga pernah bicara hal yang sama tapi apa jadinya?! Bunda meninggal saat nolongin Tara! Dara meninggal hanya untuk mendonorkan matanya! Sekarang karena mengingat Tara, Tuhan juga ambil Papa! Apa Mama mau seperti mereka karena dekat dengan Tara?! Mama mau mati ditangan Tara?! " Tara benar-benar kalap. Rasanya sakit. Antara percaya namun egonya mengatakan bahwa hal itu tidak terjadi.

Plakk.

"Kamu benar! Ini semua salah kamu! Kalau kamu bisa menjadi yang seperti Papa inginkan. Kalau kamu mau menjadi Damara dan tidak menantang Papa, penyakitnya tidak akan kambuh! Semua salah kamu!" Mama Tara kehilangan kendali. Bi Ina langsung merangkul bahu majikannya lalu mendudukkan Mama Tara kembali.

Mendengar hal tersebut langsung membuat Tara terkejut. Mamanya benar. Tara memang pembawa sial. Gadis itu terdiam menatap Mama nya yang terisak sebelum akhirnya memutuskan pergi dari tempat itu.

Tara pikir kebahagiaan itu mudah untuk dipertahankan. Tara pikir setelah kebahagiaan yang diberikan Tuhan tidak akan ada lagi kesedihan. Tara terlalu bahagia hingga lupa bahwa hidup akan selalu berputar. Kadang di atas dan kadang di bawah.

Seminggu rasanya Tara sangat bahagia bisa memiliki Papanya seutuhnya. Tara mendapatkan kembali senyumnya, tawanya, bahagianya. Namun dalam sekejap, keadaan seakan menjungkir balikkan Tara. Menghantam Tara hingga gadis itu jatuh dan tersungkur tanpa tau caranya bangkit kembali. Tara merasa prihatin pada dirinya sendiri. Takdir seakan mempermainkan dan mengolok-olok tepat dihadapan Tara.

Ujung bibir Tara terangkat sebelah. Menertawakan betapa sedihnya kehidupan yang dimilikinya. Kali ini Tara tidak akan percaya kebahagiaan.

-S T A Y-



Every life’s a movie
We got different stars and stories
We got different nights and mornings

-Reflection by RM

STAY [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang