HR CHINGU❤
••••••
"Aulia?" panggil Ray membuyarkan lamunannya.
Untung saja Jihan memakai jaket jadi pria itu tidak melihat name tag miliknya.
"I-iya, Om?"
"Panggil abang aja."
Jihan mengangguk kaku.
"Malam ini ketemu orang tua abang, ya?"
Jihan terbatuk mendengar itu.
Ketemu orangtua nya?
Ray tertawa geli melihat reaksi Jihan dan menurunkan kacanya sedikit.
"Bercanda, dek."
Jihan menghela nafas lega.
"Lagian kalau abang bawa kamu ketemu orangtua abang nanti istri abang marah." Ucapnya lagi membuat mata Jihan melebar.
Istri?
"Om punya istri?"
"Abang. Bukan Om." Ray mengingatkan.
Jihan mengangguk paham, "abang punya istri?"
Ray mengangguk, "punya."
Jihan terdiam.
Ini maksudnya gimana? Dia menjadi bingung.
Dan dia bakal jadi pembantu dimana juga kalau takut ketahuan istrinya?
"Pasti kamu bingung."
Jihan mengangguk kaku.
"Nanti kalau istri abang tahu, gimana?" tanya Jihan was-was.
Dia juga takut jika nanti disebut remaja gatal mendekati suami orang ---ralat menjadi pembantu suami orang.
"Tenang." Ucapnya seraya mengusap puncak kepala Jihan. "Istri abang masih ada diluar negri."
Jihan meneguk saliva nya dengan susah payah dan menurunkan tangan Ray dengan pelan agar tidak tersinggung.
Ray tersenyum tipis.
"Kamu sudah punya pacar?"
Jihan langsung tertawa mendengar pertanyaan Ray barusan membuat Ray menatapanya heran.
"Kok ketawa?" tanyanya.
"Nggak punya, bang. Malah nggak pernah pacaran."
Ray mengangguk dan memutar stir nya untuk memotong jalan.
"Jadi masih perawan?"
Jihan melebarkan matanya tak percaya membuat Ray kembali terkikik geli.
"Jadi, kamu memang benar masih perawan?" tanyanya lagi.
Jihan berdeham, "jangan bertanya seperti itu, bang."
"Kenapa?" tanya Ray dengan air wajah yang polos.
"Itu bikin kaum perempuan tersinggung."
Ray berdeham lalu mengangguk paham.
"Kok kamu bisa kenal dengan Febi?" tanya Ray penasaran.
Ya, sikap Febi dan Jihan benar-benar jauh berbeda.
Bagaimana bisa perempuan itu berteman dengan Febi yang kehidupannya bisa disebut liar?
Bahkan bisa dibilang rata-rata Febi bergaul dengan pria tua seperti Ray.
Well, Ray tahu remaja seperti Febi juga mendekati pria sepertinya karena suatu hal.
"Sekelas, Om."
"Abang. A-b-a-n-g." Ucap Ray mengingatkan dan mengejanya.
Jihan kembali mengangguk kaku.
Jujur saja ia ingin meminta Ray menurunkan nya ditengah jalan, tetapi ia takut jika tiba-tiba Ray marah dan meminta ganti rugi uang yang sudah ia berikan.
••••••••
Ini sudah hampir menunjukkan pukul enam, mereka baru saja sampai di rumah milik Ray yang bisa dibilang cukup besar.
Jihan jadi bertanya-tanya, sebenarnya pekerjaan Ray itu apa?
"Ayo, masuk." Ajak Ray setelah membuka pintu rumahnya membuat lamunan Jihan buyar.
Jihan mengedarkan pandangannya.
Semua interior disana benar-benar bagus tetapi suasana disana begitu sunyi.
"Ini nggak ada yang tinggal selain, abang?" tanya Jihan dan mengikuti Ray yang menuntunnya untuk duduk diatas sofa yang cukup besar.
Ray menggeleng, "nggak ada. Istri abang belum pulang."
Jihan mengangguk.
Sebenarnya ia belum terbiasa memanggil orang lain dengan sebutan 'abang'.
Ia juga mulai was-was karena tadi Ray bertanya tentang kehormatannya.
Hell.
Memangnya berapa banyak remaja yang sudah pria itu rusak hingga bertanya tentang hal itu seperti meragukan kesucian remaja zaman sekarang?
Jihan kembali mengedarkan pandangan nya meneliti setiap sudut ruangan yang ada disana.
Tidak ada pembantu yang lain.
Ia jadi ragu bisa membersihkan rumah itu setiap harinya.
Tunggu.
Ia lupa menanyakan satu hal.
"Berapa lama saya jadi pembantu, abang?" tanya Jihan lagi.
Ya, ia harus memastikan tentang hal itu.
Yang benar saja ia harus menjadi seumur hidupnya disana?
"Sampai istri abang pulang."
Jihan bergeming.
"Cuman buatin makanan untuk saya saja kok. Tidak perlu membersihkan rumah." Ujar Ray lagi membuat mata Jihan berbinar.
Ia pikir ia akan menjadi pembantu di bagian kebersihan.
Tetapi setidaknya ia bersyukur karena tidak harus melakukan itu lantaran rumah itu cukup besar.
"Kenapa begitu, bang?" tanya Jihan basa basi.
"Sudah ada pembantu yang bagian membersihkan rumah setiap minggu."
Jihan mengangguk dengan perasaan bahagia.
Tugasnya tidak terlalu repot.
Ia masih bisa belajar setiap malam nya dan hanya perlu menjadi koki pribadi pria itu.
"Kamu bisa masak, kan?"
Jihan tersenyum canggung menampilkan deretan gigi putih nya lalu menggelengkan kepalanya.
Ray menghela nafas pelan lalu bangkit dari sofa.
"Ikut aku." Titah Ray berjalan duluan.
Jihan langsung bangkit dari sana dan mengikuti Ray dari belakang.
Ternyata Ray membawa nya menuju dapur.
Pria itu mengambil sebuah buku yang ada di dalam laci dapur dan memberikannya pada Jihan.
"Itu panduan memasak milik istriku."
Seakan mengerti, Jihan langsung mengangguk paham.
Ya, pria itu memintanya belajar masak dari buku itu.
"Tapi ... kalau masakannya nggak enak gimana?" tanya Jihan yang kembali mengekori Ray yang ingin keluar dari sana.
"Berarti kamu harus dihukum."
Jihan terdiam dan menghentikan langkahnya.
Ray membalikkan badannya saat tak mendengar langkah kaki Jihan yang mengikutinya lagi.
"Oh iya. Malam ini kamu tidur disini."
TBC