Sider?
HR chingu❤
••••
"One martini, please."
Ray memesan minuman pada bartender setelah menjauh dari teman-temannya.
Ya, teman-temannya itu membahas betapa mempesona-nya daun muda.
Tidak, mereka bukan membahas tentang daun yang masih muda tetapi membahas remaja-remaja yang bisa mereka goda.
Well, bukan Ray ingin bersikap munafik menjauh dari teman-temannya saat membahas hal seperti itu.
Hanya saja ia trauma karena pernah seorang remaja mendatangi kantor-nya lalu memaksa untuk dinikahi.
"Sendirian?" tanya seorang perempuan yang baru saja menghampiri Ray disana.
Ray menggeleng dan menunjuk teman-temannya dengan dagu-nya.
Perempuan itu mengangguk paham dan kembali mengedarkan pandangannya.
"Om..." panggilnya membuat Ray menoleh.
"Kenapa, Feb?"
"Teman gue lagi butuh uang, Om."
Ray menaikkan alisnya sebelah menatap remaja disebelahnya itu seraya meneguk martini-nya hingga habis.
"Bisa bantu teman gue nggak, Om?" lanjut perempuan yang dipanggil 'Feb' itu.
Ray tersenyum tipis.
"Memangnya butuh berapa?" tanyanya lagi lalu melirik temannya-Sebastian baru saja datang.
"Bahas apaan? Ada daun muda baru nggak, Feb?" tanya Sebastian dan ikut bergabung duduk disebelah perempuan itu.
Ray mendecak.
Masalah daun muda pasti pria itu bersemangat.
"Ada!" balas perempuan itu dengan semangat.
"Bisa dipake, nggak?"
Ray mencibir mendengar itu, "waktunya kawin. Umur lo sudah tua nggak usah main-main lagi." Sahutnya membuat mereka tertawa.
"Kawin mah sudah sering," sahut Sebastian tidak mau kalah lalu memesan minuman disana.
"Jadi, daun muda yang gimana lagi sekarang?" tanya Ray lagi membuat Sebastian ikut tertarik.
"Ada fotonya, nggak?" kini Sebastian yang bertanya.
Perempuan itu mengangguk lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto teman-nya itu pada Sebastian terlebih dahulu lalu Ray.
"Bening!" seru Sebastian langsung.
Ray hanya diam karena dia belum tertarik untuk melepaskan hasratnya pada daun muda lagi.
"Namanya siapa, Feb?" tanya Sebastian lebih lanjut.
"Putri, Om."
Sebastian mengangguk.
"Lagi butuh uang atau gimana dia? Cantik temen lo, dek." Sebastian berujar.
Febi atau biasa dipanggil Feb itu berdeham. "Butuh uang."
Sebastian mengangguk.
"Boleh, deh. Bisa dipake, nggak?" tanya Sebastian mengulang pertanyaan nya yang tadi karena Febi tidak merespon-nya.
Febi terdiam seperti berfikir sebentar.
"Dia masih perawan, Om. Gue nggak tau bisa dipake atau nggak."
"Widih perawan? Boleh, deh."
"Serius mau, Om?"
Sebastian mengangguk.
"Bawa kesini aja besok."
••••••
Kelas 12 IPS 3 mulai ricuh lantaran ada maling dikelasnya.
Geez!
Jihan yang biasanya pendiam sekarang malah mengumpat liar.
"Bangsat yang ambil uang gue!" umpatnya kesal dan menendang kursi dengan tak santai.
Ia langsung duduk diatas kursinya dan menenggelamkan kepalanya dalam kedua lipatan tangannya lalu menangis.
"Duh! Jangan nangis dong, Han." Ucap Lisa mencoba menenangkan.
Wanita itu mengangkat wajahnya.
"Ya Tuhan! Uang SPP gue hilang! gimana gue nggak nangis coba?!" balasnya kesal dengan air mata yang terus mengalir dari matanya.
Lisa menatap Febi yang juga tampak bingung.
Mereka bertiga juga kehilangan cuman Jihan saja yang paling parah hilangnya karena membawa uang SPP yang belum dibayar beberapa bulan ini.
Bukannya mau berlebihan atau gimana, Jihan juga merantau di Jakarta dan tinggal di kost. Jadi nggak mungkin lagi ia harus mengadu pada Ibunya tentang uang SPP-nya hilang.
Mau cari kerja? Dia juga masih sekolah dan pasti sulit mengatur waktu mengingat sekarang kelas tiga dan harus bersiap untuk menghadapi ujian.
Kalau Lisa hanya kehilangan uang saku-nya dan Febi hanya kehilangan kotak pensil nya.
Geez! Maling-nya benar-benar niat.
Jihan mengusap wajahnya kasar lalu melirik kedua temannya itu.
"Lo mau gue kenalin sama om-om, nggak?" celetuk Febi mencoba memberi tawaran meski bisa dibilang benar-benar tak lazim.
"Om-om? Heh! Gue masih perawan bego!" sahut Jihan kesal lalu mendorong kepala Febi pelan membuat wanita itu mengumpat pelan.
"Anjir ya! Nggak semua om-om minta teman tidur." Elak Febi seakan-akan sudah berpengalaman.
Lisa yang mendengar itu menjadi mendengus mengkhawatirkan nasibnya nanti.
Ia bahkan meminta bantuan Febi karena harus mengganti rugi mobil orang yang ditabrak beberapa hari lalu.
"Coba aja dulu, Han." Kini Lisa bersuara.
Jihan mendecak.
"Instan loh dapat uang-nya." Sahut Febi lagi yang mendapat cubitan dilengannya oleh Jihan.
"Sesat njir." Cibirnya.
Perempuan itu sudah tidak menangis tetapi terlihat mulai berfikir.
Kalau ia bicara pada Ibunya otomatis ia disuruh pulang saja daripada merantau dan menghabiskan uang.
"Tapi gue nggak mau yang sampe tidur bareng gitu." Ucap Jihan kemudian.
Febi tersenyum tipis.
"Ntar gue cariin deh dan gue pastikan lo nggak dapat yang terlalu tua." Balasnya membuat Jihan mengangguk ragu.
"Oh iya, Lis. Om Sebastian pengen ketemu lo malam ini." Ucap Febi menatap Lisa.
"Sebastian?"
Febi mengangguk, "dia tertarik sama lo."
"Tapi lo nggak nyebutin nama asli gue, kan?"
Febi tersenyum, "tenang. Gue cuman pake nama belakang lo kok."
BUGH!
Febi mengelus kepalanya yang mendapat jitakan dari kedua temannya itu.
"Sama aja bego!" sahut mereka berdua membuat Febi cengengesan.
"Nanti malam lo ikut juga ya, Han." Ucap Febi membuat Jihan mengangguk pelan.
Semoga ia tidak kenapa-kenapa, pikirnya.
ΠΠΠΠΠCOMING SOONΠΠΠΠΠΠ