Happy Reading!
••••
"Dek..." Panggil Bastian lembut sembari terus mengusap kepala Axel yang sedang tertidur dipangkuannya. Suara pria itu terdengar sendu.
Lisa yang sedaritadi sedang berbaring dan menatap Bastian yang sedang mengusap kepala anak itu langsung mendongakkan kepalanya menatap Bastian yang kini juga ikut menatapnya.
"Kenapa?"
"Ngeliat Axel begini, aku jadi takut." Ungkapnya jujur.
Ya, jujur saja akhir-akhir ini ia takut jika ia akan berada di posisi Theo seperti saat ini. Ia takut jika ia harus kehilangan istrinya itu yang saat ini sudah mengandung selama 7 bulan.
"Nggak usah ngomong sembarangan!" Ketusnya seakan-akan sudah mengetahui apa yang sedang dipikirkan suaminya itu.
"Iya, tapi aku takut, dek." Jawab Bastian cepat tanpa merubah air wajahnya yang terlihat murung karena pikiran-pikiran gilanya.
Ia takut karena usia Lisa juga masih dibilang muda. Ia tak mau jika terjadi sesuatu pada istrinya itu jika tiba waktunya saat sang buah hatinya hendak keluar.
"Udah, ah! Nggak usah ngomong sembarangan!" Sahutnya lagi dengan nada tak suka.
Bastian langsung menghembuskan nafas panjang dan bersamaan dengan itu juga suara bell rumah mereka berbunyi.
"Pasti Theo." Tebak Lisa cepat sembari melirik jam pada ponsel nya.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam dan Theo sudah berjanji akan menjemput Axel ketika sudah pulang bekerja.
Well, Axel belum memiliki pengasuh mengingat bayi itu selalu saja menangis jika bersama orang asing sehingga membuat Theo berfikir jika membayar pengasuh adalah hal yang percuma mengingat ia juga selalu menitipkan anaknya itu pada sahabatnya.
Lisa langsung bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar yang diikuti oleh Bastian yang mulai berjalan dibelakangnya sembari menggendong Axel yang tertidur pulas.
Wanita itu langsung membuka pintu dan melihat sosok Theo yang sedang dirangkul oleh seorang wanita.
"Bianca?" Ucap Bastian tanpa sadar membuat Lisa menoleh sekilas dan mengingat-ngingat sesuatu.
Ia langsung berdeham pelan saat mengingat curahan hati Rosita kala masih hidup tentang mantan kekasih Theo.
"Dia kenapa?" Tanya Bastian lagi membuat Lisa memintanya untuk memberikan Axel kepelukannya agar tak terbangun karena suaranya yang cukup nyaring.
"Dia mabuk, Bas. Dia manggil nama Ita terus." Jawab Bianca jujur.
"Ta...." Panggil Theo dengan suara sendu. Rambut pria itu terlihat sedikit berantakan dengan baju dokter yang masih melekat ditubuhnya.
Bastian segera memberi kode pada Bianca untuk membiarkan dirinya yang merangkul Theo untuk dibawa kedalam.
"Kok lo bisa sama dia?" Tanya Lisa pelan pada Bianca saat Bastian membawa Theo ke sofa.
Wanita itu yang sedang memperhatikan Theo langsung menoleh.
"Ketemu di club dan gue lupa dimana rumahnya jadi gue bawa kesini aja."
Lisa mengangguk dan tak ingin bertanya lebih lanjut lagi mengenai bagaimana wanita itu juga mengetahui dimana dirinya dan Bastian tinggal.
"Ita..." Theo kembali berceracau dan bersamaan dengan itu juga Axel terbangun membuat Lisa langsung menepuk pelan bokong anak itu agar tertidur kembali.
Bukannya kembali tertidur, anak itu mulai menangis membuat Bastian menoleh dan langsung mendekati Lisa untuk membantu membuat anak itu diam.
Bianca yang melihat itu hanya bergeming. Ini adalah pertama kalinya ia melihat langsung anak dari mantan kekasihnya itu.
Ia kembali melirik Theo yang terlihat begitu kacau.
Ah! Ia menjadi iba pada pria itu.
Kenapa takdir begitu kejam padanya?
"Lo nggak pergi kuliah?" Tanya Lisa pada Jihan yang baru saja datang kerumahnya. Mata wanita itu terlihat sembab.
Jihan menggeleng pelan dan langsung melenggangkan kakinya masuk kedalam rumah Lisa.
"Om Theo tidur disini?" Tanya Jihan saat melihat sosok Theo yang masih tidur diatas sofa dengan berbalutkan selimut.
Lisa mengangguk pelan.
"Semalam dia kumat lagi, mabuk. Jadi manggil-manggil nama Ita." Jelasnya membuat Jihan menggeleng tak percaya.
"Terus Axel mana?"
"Axel tidur dikamar. Bastian juga sudah pergi kerja." Jihan mengangguk paham dan memilih duduk disisi lain sofa yang kosong.
"Lo kenapa?" Tanya Lisa sembari mengusap perutnya.
"Gue lagi malas pergi kuliah aja."
Well, Rayhan dan Jihan sepakat untuk tak memiliki momongan terlebih dahulu karena Rayhan juga ingin Jihan melanjutkan pendidikannya.
"Yakin lo? Terus mata lo kenapa sembab gitu? Om Ray tau nggak kalau lo nggak pergi---"
"Gue lagi kecewa Lis." Potong Jihan cepat sembari mengusap matanya yang mengeluarkan bulir bening yang sedari tadi ia tahan. "Mantan istri Ray baru aja melahirkan."
"Terus? Yang mana yang bikin lo kecewa?"
"Kemarin bang Ray bakal lembur jadi nggak pulang. Tapi, gue dapat info kalau dia itu ke rumah sakit buat nemanin mantan istrinya itu." Jelas Jihan dengan mellow membuat Lisa terkejut hingga tak tahu harus berkata apa.
"Dan lebih parahnya lagi..." Jihan menggantungkan ucapannya. Dari wajah wanita itu menunjukkan bahwa ia ragu untuk mengatakan hal yang ingin ia katakan.
"Apa yang parah?" Tanya Lisa dengan nada serius.
Ia menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya.
Ah, dadanya terasa sesak.
"Itu anaknya bang Ray."
"M-maksud lo?"
"Anak yang dilahirkan itu anaknya bang Ray..."
Tbc